Setelah acara pernikahan, Raya kira dirinya akan di bawa ke kediaman orang tua Danu. Tetapi pria itu malah membawanya ke sebuah apartemen yang cukup luas dan berada di lantai delapan. Tempat yang pas untuk sekedar menikmati pemandangan kota di malam hari.
Kini, pasangan pengantin baru itu tengah mengatur setiap sudut ruangan dengan berbagai macam miniatur dan pajangan-pajangan yang Raya yakini, Danuar dapatkan dari hasil pameran dan pelelangan.
Di sudut kiri, sudah terdapat rak-rak buku milik Danuar yang tak ia singkirkan posisinya. Itu sudah cukup cocok berada di sisi kiri televisi.
"Kamu lelah?" Danuar bertanya ketika selesai memasang sebuah lukisan yang baru datang tadi pagi. Pria itu masih tengah menaiki sebuah bangku.
Bukan tanpa sebab Danuar dan Raya merombak tata letak barang-barang Danuar. Tentu saja, karena Raya harus membawa setidaknya sedikit barang-barang Raya yang juga dapat di nikmati oleh suaminya. Contohnya, sebuah lukisan.
"Ini bukan apa-apa, aku masih memiliki energi," jawab Raya seraya tersenyum dengan begitu manis ke arah Danuar. Membuat pria itu dengan lekas menuruni bangku dan menghampiri Raya.
"Jangan cantik-cantik," ucap pria itu setelah memberikan satu kecupan di ujung bibir istrinya.
"Itu selalu membuatku berdebar, pretty." Maksud Danuar adalah, senyuman Raya selalu berhasil membuat dirinya berdebar.
Danuar tidak membual, hal itu memang kerap kali ia rasakan ketika bertatapan dengan Raya.
"Tapi sepertinya, aku sedang ingin sesuatu." Raya menaikkan sebelah alisnya mendengar Danuar berkata demikian. Gadis itu sedikit menaruh curiga rupanya.
"Jangan macam-macam, ini masih terang," ucap Raya lalu mengalihkan kemoceng pada genggaman suaminya.
Danuar terkekeh. "kenapa menghindar? Memangnya aku ingin apa?"
Raya menaikkan kedua bahunya lalu menatap Danuar dengan pandangan menyipit. "tidak tahu... Yang pasti, hal-hal kotor itulah yang selalu memenuhi isi kepalamu."
"Kamu tidak salah, sih. Haha... Tapi, aku benar-benar sedang ingin sesuatu, sayang..."
"Ah ayolah, aku ingin sesuatu!" rengekan Danuar setia mengikuti langkah Raya yang kesana kemari membawa buku-buku yang masih berserakan.
Danuar ini badannya besar, wajahnya terlihat tegas, sehingga tak pernah terlintas jika Danuar, suaminya itu dapat berlaku hal demikian.
Danuar merengek, membuntuti, dan menarik-narik ujung bajunya lalu memeluk dirinya dari belakang untuk mengunci pergerakan Raya ketika gadis itu masih tak ingin menanggapi suaminya.
"Sayang..." Raya menghela pasrah. Membiarkan tubuhnya di dekap oleh Danuar dengan sangat erat.
"Aku ingin sesuatu... Bisakah kamu mengabulkannya?" Danuar bertanya tanpa sedikit pun memberikan jarak ada tubuh mereka.
"Apa kamu tidak melihat? Matahari bahkan masih berada di atas kepalamu, Danu..."
Danuar terkekeh kecil lantas melepaskan pelukan pada istrinya. Dengan gerakan perlahan, pria itu membawa istrinya untuk berhadapan dengannya.
Danuar sedikit membungkuk untuk membuat tinggi tubuh mereka sejajar.
Di cubitnya hidung Bangir sang istri dengan cukup gemas. Kedua dimple yang ia milik, Danuar suguhkan tepat di hadapan istrinya.
Sungguh, senyuman Danuar adalah sebaik-baiknya lukisan tuhan yang nyaris sempurna.
"Kepala kecilmu ini... Harus di bersihkan." Katanya dengan cukup gemas seraya menaruh ujung telunjuknya tepat di atas kepala Raya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BLACK ROSE || Namjoon
Hayran KurguDanuar dan Raya bertemu dalam sebuah acara yang di adakan di Yogyakarta. Hingga pada akhirnya, mereka cukup dekat hanya sebagai teman. Sifat keduanya cukup berbanding terbalik. Hidup Danuar terlampau penuh kilau, sedangkan Raya tak menyukai sesuatu...