"Saya akan tetap menjaga
hati walau kamu
bukan jodoh saya nanti."
°
°
°
Muhammad Alvan Hanwi
Hari pertama sekolah di kelas IX - IPA 8 langsung berhadapan dengan Alvan yang mengajar mapel bahasa Arab.
"Ya, salah satu alasan kenapa saya memilih untuk ngajar di kelas kalian adalah untuk menambah pengalaman saya ngajar-mengajar sebelum nantinya saya harus kembali kuliah di Madinah." Kalimat itu berhasil membuat seluruh anggota kelas XI IPA 8 terdiam membisu.
Hal itu memang menjadi alasan mengapa Alvan memilih untuk mengajar di kelas XI IPA 8,tapivada alasan yang lebih utama, karena dia ingin sering bertemu dengan Ara sebelum nantinya dia harus kembali kuliah di Madinah.
Alvan memang sempat berkuliah di Madinah sebelum Ara mengenalnya, sekitaran satu setengah tahun lalu, atau lebih tepatnya sebelum dia trending di medsos. Setelah dua tahun di Madinah, Alvan memilih untuk berhenti kuliah sejenak dan memilih pulang ke Indonesia. Dan di saat itulah dakwahnya trending di Indonesia.
Sementara Ara termangu mendengar ucapan gusnya. Ara benar-benar tidak pernah tahu tentang hal ini.
"Gus, nanti dakwahnya gimana?" Ara mengangkat tangan memberi pertanyaan. Hatinya tidak tenang. Alvan senang mendengar Ara menanyakan dirinya.
"Untuk itu, saya terpaksa berhenti berdakwah atau sedikit jarang meng-upload video dakwah." Raut wajah sedih kembali terukir di wajah Ara.
***
Sepanjang jalan pulang menuju asrama, Ara tampak lesu tak bergeming. Esha dan Deba dapat melihat jelas kesedihan di wajah sahabat mereka.
"Ara, sebenarnya kamu suka Kak Farhan atau Gus Alvan sih?" Deba langsung menanyakan hal yang selama ini menjanggal di hatinya.
"Aku?" tanya Ara, telunjuknya mengarah ke wajah cantiknya sendiri. Deba mengangguk dengan serius.
"Jelas-jelas Kak Farhan lah, kamu kira aku sasimo? mana mungkin aku suka dua cowok sekaligis." Sanggah Ara cemberut. Ia merasa Deba menuduhnya sasimo.
"Terus kenapa kamu sedih banget kalau Gus Alvan bakalan kembali ke Madinah?" sekarang Esha yang bertanya.
"Memang kalian nggak sedih gitu? nanti nggak ada video dakwah lagi." Ara menyimpangi.
"Benar juga sih, sekarang aku juga ikutan sedih."
***
D
i ndalem Ara dan Ifada sibuk membantu Nyai Hanya seperti biasanya, tapi kaki ini lebih diperbanyak dengan curhatan dan saling tukar pendapat.
"Hubungan kamu sama Kak Farhan gimana? lancar nggak?" tanya Ifada.
"Lancar bangettt! Bunda juga udah kasih lampu hijau untuk Kak Farhan." Seru Ara dengan senang.
"Serius?" tanya Ifada terkejut.
"Iya serius nggak bohong. Bunda bilang kalau Ara udah selesai sekolah Kak Farhan boleh-boleh aja datang ke rumah untuk ngelamar Ara. Cuma Ka Farhan yang nyuruh Ara untuk tetap kuliah."
"Kamu mau nikah muda?"
"Kalau Ara nikah sama Kak Farhan, Ara yakin 100% hidup Ara akan terjamin karena Kak Farhan memang laki-laki yang paham agama." Ifada mengangguk sambil tersenyum melihat kebahagiaan Ara.
Tanpa mereka sadari pembicaraan itu terdengar oleh Alvan. Sepertinya jantung laki-laki yang sudah menginjak usia 20 tahun itu seakan-akan berhenti berdetak. Ada sesuatu yang terasa retak tapi rasanya begitu menyakitkan.
Mungkin Alvan merasakan rasa yang pernah menimpa Ali bin Abi Thalib saat tahu Sayyidah Fatimahtuz Zahra akan dilamar oleh Umar bin Khattab.
*saya tidak tahu apa yang akan terjadi selama saya berada di Madinah nanti. Jika memang hal itu akan membuatmu bahagia, saya rela menerimanya. Saya tidak ingin memaksa takdir, tapi sampai akhir namamu akan tetap menjadi bagian dari do'a saya*
Tak ingin tahu lebih lanjut, takutnya akan lebih menyakitkan. Alvan memutuskan pergi ke kamarnya, walau harapan sudah di ujung kuku tapi Alvan tetap bersikukuh untuk menyebut nama Ara dalam do'anya.
Di lain sisi, Fitri semakin memuncak dendamnya pada Ara. Seandainya Ara tidak pernah hadir di pesantren Darul Mustafa, pasti ia yanga akan dekat dengan Farhan atau dengan Alvan. Terlebih-lebih lagi saat Ara mendapat juara kelas. tangannya mengepal, menahan emosi dan rasa iri dengan takdir indah yang selalu menyapa hari-hari Ara. Padahal Fitri tidak pernah tahu tragedi apa yang pernah menimpa Ara di masa lalu.
Malam ini adalah malam rabu, dimana Ara harus ikut pengajian di balai 4 bersama Ustadz Zainal. Mata gadis itu berulang kali mengerjap menahan kantuk, sampai akhirnya kesadarannya hilang. Kepala Ara sampai menyentuh lantai balai.
[ anggap aja gitu tidurnya :) ]
PLAKK!
Kayu rotan melayang tepat mengenai kepala Ara. Bukan Ustadz Zainal yang melempar kayu rotan itu, karena beliau terkenal sangat lembut dan sabar dengan santriwati.
Dengan tampang garang dan murka Ustazah Kalian naik ke balai dan mengambil rotan yang sempat melayang ke arah Ara. Semua santriwati di balai itu terdiam. Ara tersentak kaget, ia memegang bagian dadanya yang terasa lemas dengan lemparan reflek itu.
"Kamu! nggak ada sopan santun di depan guru. Berani-beraninya kamu tidur. Besok malam sekalian bawa kasur dan bantal untuk tidur." Murka Ustazah Jalia membanjiri Ada dengan kritikan pedas, Ara menundukkan kepalanya. Setelahnya Ustazah Jalia turun dari balai dan perlahan menghilang dari pandangan. Kegiatan pengajian itu juga kembali berlanjut.
Entahlah, Ara juga tidak tahu mengapa hari ini ia begitu mengantuk. Matanya tidak mampu terbuka dengan lama. Setelah segala kegiatan selesai, Ara menghempaskan tubuhnya ke kasur. Tak tunggu lama ia langsung terlelap.
Walau kamar Yaman 07 itu masih ribut dengan muluk-muluk santri kamar yang belum tertidur, tapi itu tidak menjadi masalah baginya. Keributan semakin terdengar, bahkan Ustazah Aila sebagai wali kamar sudah berulang kali mengetuk pintu kamar dengan rotan agar semua diam. Namun hasilnya tetap sama, santri hanya diam selama beberapa menit, setelahnya mereka kembali ribut.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARA DUA DO'A (TERBIT)
Teen Fiction⚠️SEBELUM BACA WAJIB FOLLOW AKUN INI!⚠️ " Ara gak suka jatuh hati sama yang enggak bisa Ara miliki"