54. ANTARA DUA DO'A

1.8K 111 1
                                    

"Wanita itu mahal, tidak
boleh sembarangan disentuh karena bukan barang murahan, jaga lah dirimu, karena tubuh indahmu pantas masuk surga, jangan engkau jatuhkan harga dirimu setelah sang baginda mengangkat derajatmu."
°
°
°
Hanan Azkadina Syahira

Namun suara bel rumah disertai salam, membuatnya terpaksa bangkit lalu membuka pintu, tidak lupa dengan hijab yang utuh menutupi auratnya.

"Wa'alaikumussalam." Jawab Adira seraya membuka pintu. Adira terpaku dengan sosok lelaki di hadapannya, sepertinya ia pernah melihat lelaki yang tengah mengulas senyumnya dengan santun itu.

Lama adira memandang dari ujung kaki sampai ujung peci yang laki-laki itu gunakan. Sampai akhirnya Adira berani bertanya.

"Ini Gus Alvan yang di pesantren anak saya ya?"

"Iya, Buk."

"Yasudah, masuk dulu!" titah Adira terlihat begitu antusias. Bahkan ia membuka pintu lebar-lebar. Alvan duduk di sofa ruang tamu rumah itu. Sementara Adira, ia sedang mengambilkan cemilan dan minuman.

Alvan memandang sebuah bingkai foto berukuran besar dengan potret gadis kecil, yang karenanya lah Alvan memberanikan diri untuk datang ke rumah itu.

"Ada masalah apa Gus, tumben-tumben datang ke sini. Anaka saya buat masalah ya?" tanya Adira yang mulai cemas. Alvan tersenyum mendengar hal itu, lalu dia menggeleng.

"Kedatangan saya ke sini bukan karena Ara buat masalah tapi karena ketertarikan saya kepada Ara. Saya ingin melamarnya." Tutur Alvan terlihat begitu serius. Adira terdiam, ia mengerjapkan matanya berkali-kali. Tidak percaya? Oh, tentu jelas.

"Anak saya? Hanan Azkadina Syahira?" tanya Adira, jantung Alvan berdetak tak karuan. Takut-takutnya ditolak.

"Iya, Bu." Lihatlah lelaki ini, begitu berani datang seorang diri demi melamar gadis yang ia cintai, tapi dibekali doa dari Nyai Hanzal.

"Bentar, saya panggil Ayah Ara dulu." Pinta Adira dan disetujui oleh Alvan.

***

"Kamu beneran serius ingin melamar anak saya?"

"Benar, Ayah." Yazid berpikir dengan keras.

"Kami merestuinya, tapi restu kami tergantung dengan ketersediaan anak kami, Ara." Jelas Yazid, terlihat begitu serius. Akhirnya Alvan bisa bernapas dengan lega.

"Nanti Bunda tanyakan sama dia, sekarang Ada lagi nggak ada di rumah. " Sahut Adira.

"Kalau Ara siap menerima, tolong kabari saya. InsyaAllah saya akan kembali bersama keluarga saya." Lalu Alvan  pamit dan meninggalkan beberapa bingkisan.

***

Keliatannya Ara sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, wajah gadis itu lebih ceria setelah ia pulang dari pantai. Selepas melaksanakan shalat maghrib berjama'ah, keluarga kecil itu berkumpul di meja makan. Adira terlihat sangat sumringah saat itu.

"Ara...." Panggil Yazid, Ara menoleh.

"Kenapa Yah?"

"Ayah sama Bunda mau menjodohkan kamu."

"Uhuk... Uhuk...." Ara tersedak mendengar hal itu.

"Tadi sore ada laki-laki yang datang je sini. Sendrian, dia minta ngelamar kamu."sambung Adira, wajahnya berseri-seri.

"Bunda yakin itu orang yang mau ngelamar Ara, atau orang gila?" tanya Ara santai sambil menenguk segelas Air.

"Kenapa malah jadi orang gila?"

"Dia kan datang sendiri."

Ra, laki-laki yang berani datang sendirian untuk ngelamar pujaan hatinya, itu namanya laki-laki gentleman!" jelas Adira, memamerkan lengannya yang sama sekali tidak berotot. Ara sama sekali tidak menghiraukan itu.

"Tapi Bund-"

"Bunda tahu kamu masih trauma, sayang. Tapi Bunda yakin laki-laki yang satu ini bisa buat kamu lebih bahagia dari pada saat kamu sama Farhan." Ara membisu mendengar nama Farhan disebut, apa yang dipikirkan bundanya? bagaimana ia bisa menikah sedang ia terikat dengan masa lalunya.

"Ara nggak bisa Bunda." Tolak Ara.

"Ra, kamu itu anak satu-satunya Bundda, cuma kamu harapan kami nak. Kamu udah dewasa dan kami sudah tua. Jadi Bunda mohon, Terima lamaran ini, Ra." Mohon Adira, sedangkan Ara terlihat menunduk. Ia bahkan tidak tahu laki-laki mana yang datang melamarnya.

"Percayalah sama pilihan kami." Ucap Yazid menatap dalam Ara.

"Ara tunda dulu jawabannya, Ara buruh waktu." Lirih Ara, lalu meninggalkan meja makan begitu saja. Menaiki tangga dengan lesu, tak lama kemudian terdengar pintu kamar yang ditutup.

Adira terlihat cemas dan takut. Yazid menggenggam tangan Adira, lalu mengusapnya perlahan, memberi sedikit ketenangan.


***


Genap tiga hari setelah Alvan datang untuk melamar Ara, dan akhirnya keputusan Ara membuat semua orang bernapas dengan lega.

"Ara setuju menikah dengan lelaki itu, Bund. Tapi boleh Ara tahu siapa calonnya?" Adira langsung tersenyum lebar mendengar keputusan Ara sesuai dengan keinginannya.

"Calonnya, rahasiaaaa...." Adira mencubit pelan hidung Ara.

"Lah, gimana mau nikah kalau calonnya aja kaga tahu?" elak Ara.

"Intinya kamu siap-siap aja karena malam ini dia datang lagi bareng orang tuanya." Ucap Asira berlalu menaiki tangga atas. Jantung Ara tiba-tiba saja berdetak kencang, malam ini calonnya akan datang kembali.

***

"Raa, ini dipakai baju yang dikasih Bunda tadi, lo udah shalat insya kan?" tanya Hilya, ikut duduk di tepi ranjang kasur Ara.

"Lo kenapa sih, ada masalah?" tanya Hilya seraya menyentuh baju Ara.

"Ara takut, Hil."

"Takut kenapa?"

"Ara masih nggak tahu siapa calonnya, kalau calonnya jelek, hitam, dekil, atau lebih parah dari itu dia nggak ngerti agama, hawa nafsunya lebih gede dari pada akalnya, kalau dia kakek-kakek, dia jarang shalat, ngajinya nggak lancar, kalau-" kecerewetan Ara terpotong.

"Shut..., Ra, nggak mungkin orang tua lo nerima laki-laki yang kayak gitu untuk lo. Jangan suudzon, siapa tahu calon lo kebalikan dari apa yang lo bayangkan?" nasehat Hilya.

"Hi kids, mana nih orang yang mau dilamar, sini biar gw make up." Pekik Fhatia yang tiba-tiba masuk ke kamar Ara.


ANTARA DUA DO'A (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang