"Terkadang kesendirian itu
membawa kita kepada kesadaran bukan keheningan."
°
°
°
Heera"Hi kids, mana nih orang yang mau dilamar, sini biar gw make up." Pekik Fhatia yang tiba-tiba masuk ke kamar Ara.
Ara hanya diam membisu saat Fhatia mulai meriasinya dengan make up yang tipis. Pikirannya dipenuhi rasa takut dengan lelaki yang akan melamarnya itu. Gadis itu tidak bisa ber-positif thinking.
Setelah dirias selama beberapa menit, akhirnya riasan itu jadi. Ara terlihat begitu cantik, bahkan sangat cantik. Tidak menor namun terlihat begitu anggun.
(Kira-kira begitulah:)
"Cantiknya ya Allah...." Puji Fhatia yang bahkan kagum dengan hasil make up yang terlipihkan di wajah Ara.
"Masyallah, lo beneran cantik Ra. Pasti yang ngelamar kamu suka banget." Sahut Hilya yang tak kalah takjub dengan kecantikan Ara.
"BTW, gue belum tau nih siapa yang ngelamar lo, Ra." Ucap Fhatia.
"Ya sama, aku juga nggak tahu." Jawab Ara bete.
"Lah, gimana ceritanya lo nggak tahu cowok yang ngelamar lo." Ara terlihat cemberut.
"Shutt, udah jangan cemberut song, ntar cantiknya ilang. Tenang aja Ra, pasti cowok yang ngelamar kamu itu tipe kamu banget deh." Bujuk Hilya sambil menyungging senyumannya.
"Emang kamu udah tahu siapa yang bakalan ngelamar aku?" tanya Ara yang heran dengan sifat Hilya yang sepertinya terlihat begitu santai.
"Nggak juga sih." Jawab Hilya lebih santai dari apa yang dibayangkan Ara sebelumnya. Ara hanya memutar bola matanya malas.
Ingin sekali rasanya ia menghilang dari bumi, atau lebih baik diculik oleh mafia daripada harus mengikuti lamaran ini. Tapi, jika dilihat-lihat, apa yang dikatakan Hilya dan Fhatia ada benarnya juga. Ara sendiri terpesona dengan kecantikan yang berseri-seri saat ia melihat dirinya di pantulan cermin.
Sementara itu, di ruang tamu. Semua orang sudah sibuk dengan kedatangan keluarga Alvan. Saudara-saudari jauh Ara bahkan ikut hadir di acara itu. Alvan tidak hanya membawa keluarga kecilnya, tapi juga membawa keluarga besar.
Orang-orang menuntun Alvan agar duduk di tempat yang telah dipersiapkan. Dia duduk di ruang tamu yang beralaskan karpet mewah itu. Jantungnya berdetak tak karuan, walau acaranya belum dimulai tapi mata hatinya terus saja ingin melihat Ara.
***
Setelah sekian lamanya Ara duduk bosan di depan cermin. Tiba-tiba Adira masuk ke kamar dengan wajah antusiasnya.
"Nak, yuk turun ke bawah. Keluarga calon tunangan kamu udah tiba. Semua orang udah nungguin kamu di bawah. Hilya, Fhatia tolong tuntun Ara ya." Pinta Adira. Lalu kembali turun ke ruang tamu.
Jantung Ara semakin berdegup kencang. Seluruh tubuhnya terasa lemas sekarang. Mau tidak mau ia harus yakin apa yang diberikan Allah adalah hal terbaik.
"Ra, lo udah siap kan?" tanya Hilya dengan senyum hangatnya. Memastikan Ara agar tetap baik-baik saja. Ara mengangguk kaku.
"Tunggu! bentar, kurang rapi nih hijabnya." Sanggah Fhatia sembari merapikan hijab Ara agar terlihat lebih elegan.
"Nah! sekarang makin cuantikk deh." Timpal Fhatia lagi.
Ara bangkit dari duduknya, dengan perlahan berjalan ke arah pintu kamar. Menghirup nafasnya dalam-dalam, agar lebih rileks dan tenang.
Fhatia menuntun di sebelah kirinya sedangkan Hilya menuntun di sebelah kanannya. Ara menundukkan pandangan, tidak berani melihat siapa lelaki yang akan menjadi calon suaminya.
Saat semakin dekat dengan hadapan Alvan. Fhatia dan Hilya tersentak, apakah mereka sedang bermimpi? apakah benar yang di hadapan mereka adalah Gus Muhammad Alvan Hamwi? Gus itu melamar sahabatnya?
sekarang malah Fhatia dan Hilya yang ingin pingsan. Sedangkan Ara, ia masih tetap bertahan dengan pandangannya yang menunduk.
"Ra, lihat dulu siapa yang ngelamar lo!" bisik Fhatia sambil menarik-narik gamis yang Ara gunakan. Ara menggeleng dengan cepat. Alvan yang melihat itu terkekeh geli dengan tingkah Ara yang seperti anak kecil.
"Iya Ra, lihat dulu. Pasti lo nggak percaya." Sahut Hilya dengan nada berbisik.
"Nggak mau!" Ara kembali menggeleng.
"Ish! lihat dulu atuh." Gereget Fhatia, dan langsung mengangkat dagu Ara.
Deg!
*Gus Alvan??? *
Mata bertemu dengan mata. Alvan tersenyum tipis ke arahnya. Ara tidak mampu berkata-kata dengan apa yang sedang ia lihat sekarang. Tubuhnya tiba-tiba saja mematung. Perlahan Ara melirik Adira yang duduk di samping Nyai Hanzal.
Adira tersenyum sumringah lalu mengacungkan dua jempolnya. Inikah alasan mengapa bundanya tidak mengatakan siapa lelaki yang akan menjadi calon tunangannya?
Fhatia dan Hilya kembali menuntun Ara agar duduk di tempat yang telah disiapkan. Ara duduk tepat di hadapan Alvan, yang kini tengah memandangnya dengan tatapan cinta. Gusnya itu terlihat begitu bahagia. Jelas dari manik mata Alvan yang sebelumnya terlihat redup, namun kini terlihat bersinar dengan pantulan Ara di manik matanya.
Ara masih tidak bisa percaya dengan semua kejutan ini. Lagi-lagi ia kembali melirik Adira lalu Nyai Hanzal lalu Alvan. Ketiga orang itu hanya menanggapinya dengan senyum kebahagiaan.
Jangan lupakan Esha dan Deba, yang ntah sejak kapan mereka hadir di acara itu dengan wajah yang berseri-seri dengan kebahagiaan.
"Karena kedua putra putri kita sudah ada di sini maka kita mulai saja acaranya." Ucap Pak Ustadz yang memimpin acara itu.
Setelah membahas segala keperluan dan kesepakatan. Akhirnya diputuskan bahwa mereka akan menikah 2 minggu setelah acara ini. Awalnya Ara sempat shok tapi dengan enteng Adira mengatakan 'lebih cepat kan lebih baik.' Ara hanya manggut-manggut saja dengan keputusan itu. Acara ini adalah acara musyawarah, dimana semuanya disepakati bersama.
***
Jujur author nggak tahu mau jelasin itu acara apa😭, semoga kalian ngerti ya🥲👍
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARA DUA DO'A (TERBIT)
Teen Fiction⚠️SEBELUM BACA WAJIB FOLLOW AKUN INI!⚠️ " Ara gak suka jatuh hati sama yang enggak bisa Ara miliki"