"Fitrah cinta tak usah
dicari sebab Allah
akan memberinya nanti"
°
°
°
HeeraWalau kamar Yaman 07 itu masih ribut dengan muluk-muluk santri kamar yang belum tertidur, tapi itu tidak menjadi masalah baginya. Keributan semakin terdengar, bahkan Ustazah Aila sebagai wali kamar sudah berulang kali mengetuk pintu kamar dengan rotan agar semua diam. Namun hasilnya tetap sama, santri hanya diam selama beberapa menit, setelahnya mereka kembali ribut.
"KALIAN! udah dibilangin jangan ribut. Masih tetap aja ngobek. Sebagai hukuman, sekarang semuanya ke lapangan di depan asrama!" Perintah Ustazah Aila, rotannya melayang tinggi-tinggi. Semua santri di kamar itu mau tidak mau harus menerima hukuman, bahkan Ara yang sudah tertidur terpaksa dibangunkan oleh Esha dan Deba.
Aarkhhh!
Menyebalkan sekali rasanya. Baru saja Ara tertidur lelap tapi harus kembali terbangun.
Jam menunjukkan pukul 11.3p malam. Halaman pesantren sydah sepi karena tidak ada santriwati yang berlalu lalang lagi.
Di lapangan putri, seluruh anggota kamar Yaman 07 berbaris dengan rapi. Tidak lupa Ustazah Aila menyuruh mereka membawa Al-Quran.
"Buka surah Yasin, terus baca sampai 6 kali!"
"6 KALI! SERIUSAN USTAZAH?" serempak semua bertanya dengan kaget. Sedangkan Ustazah Aila mengangguk dengan santai. Wajahnya tampak datar.
***
Bukan berganti bulan, sudah tiba saatnya bagi Alvan untuk kembali melanjutkan kuliahnya di Madinah. Sebelum mengantar kepergian Alvan, Kyai Halim membuat sedikit syukuran di malam hari sebelum Alvan berangkat esok pagi dan dihadiri oleh beberapa orang tamu. Ara dan Ifada termasuk tamu yang diundang karena mereka akan membantu-bantu di bagian dapur nantinya.
Ara sibuk mondar-mandir membawa kapan berisi beberapa cangkir teh, ia sibuk membagi-bagikan jamuan untuk para tamu. Selama itu pula pandangan Alvan tidak pernah lepas dari gadis itu, walau dia sedang duduk di kerumunan tamu.
Pasti nantinya dia akan sangat merindukan Ara. Sedangkan Ifada, ia sibuk mencuci piring dan gelas di dapur.
"Ini Gus, monggo diminum." Tawar Ara sambil menghidangkan secangkir teh.
"Ara," tanpa sadar Alvan memanggil nama gadis di hadapannya. Ara segara mendongakkan kepalanya.
"Kenapa Gus? ada yang perlu Ara bantu?" mata bertemu mata, Ara mendapati kesedihan di lubuk mata gusnya itu. Mata elang dan begitu hitam legam, seperti ada rahasia besar di sana, tapi Ara tidak tahu itu.
"Tidak ada, saya cuma mau bilang. Jangan terlalu sibuk sampai lupa istirahat." Alvan benar-benar tidak tenang untuk meninggalkan Ara walau sama sekali tidak ada hubungan dengan kehidupannya.
"Iya, Gus. Pasti kok." Ara mengalihkan pandangan dari Alvan. Kemudian ia buru-buru melangkahkan kakinya ke dapur.
***
Sebelum tidur Alvan mengemasi barang-barangnya. Dia membuka lemari dan memasukkan satu persatu bajunya ke dalam dua koper yang tergeletak di atas kasurnya.
Tiba-tiba tangannya terhenti saat melihat paper bag yang diberikan Ara. Alvan menghela nafas berat. Dia berjanji agar selalu menjaga hati, walau Ara buka jodohnya nanti. Kain ridha itu masih tersimpan rapi, Alvan tidak berniat untuk memakainya sdi sini. Mungkin dia akan membawa kain ridha itu ke Madinah sebagai obat penawar rindunya pada Ara.
***
Nyai Hanzal begitu sibuk pagi ini, ia memasak begitu banyak masakan untuk terakhir kalinya bagi Alvan, sebelum anak sulungnya kembali ke jazirah Arab.
Alvan sudah siap dengan jubah hitam dan peci berwarna putih, terlihat begitu menawan. Selepas makan siang, baik santriwati maupun santriwan turut mengantar Alvan sampai ke pintu gerbang.
"Abah, Umma. Alvan pamit dulu ya, do'ain Alvan sukses dan bisa cepat-cepat pulang ke Indonesia." Pinta Alvan sambil memeluk ummatnya. Nyai Hanzal bahkan sudah berlumuran air mata, ibu mana yang tidak sedih karena berpisah dengan anaknya. Tidak lupa dengan Noval, Alvan memeluk erat adiknya itu.
"Baik-baik sama Umma ya, jangan nyusahin Umma selama abang gak ada." Ucap Alvab sambil mencium wajah Noval berkali-kali.
Sebelum Alvan melangkah masuk ke mobil, mata elangnya menyelidik, mencari seorang gadis di tengah kerumunan santriwati itu. Gadis yang berhasil meluluhkan hatinya.
Ara melambaikan tangannya pelan saat ia terlihat oleh Alvan tapi lelaki itu tidak membalasnya dengan lambain tangan melainkan hanya sebatas senyuman singkat. Dan perlahan mobil itu melaju kemudian menghilang ditelan bengkolan jalan yang berliku.
"Enak ya, jadi Gus Alvan ntar kalau mau umrah atau haji tinggal serong kanan serong kiri langsung dapet." Titah Deba setelah kumpulan santriwati-santriwati itu bubar.
"Nggak gitu juga konsepnya Deb...." Jawab Ara dan Esha serentak.
"BTW, besok kamis pembina ekskulnya Kak Farhan bukan sih?" Ara bertanya, matanya berbinar senang.
"Caelah! ada yang makin bucin aja nih!" ledek Deba dan langsung mendapat cubitan keras dari Ara. Membuatnya meringis kesakitan. Esha hanya cekikikan melihat tingkah laku dua sahabatnya itu yang selalu bertengkar layaknya kucing dan tikus.
"Teh Ara! ada yang kirimin paket tuh di pos!" jerit Sarah sambil melambaikan tangannya.
*siapa yang ngirimin paket? perasaan gak ada janjian sama Bunda untuk ngirimin paket."
Ara meraih sekantong plastik putih yang sepertinya isi dari plastik itu adalah snack dan minuman. Araemutar balikkan plastik itu. Mata Ara membulat dengan sempurna, sekaligus berbinar dengan indah. Bibir Ara juga ikut tergerak untuk mengukir seuntai senyuman yang jelita.
![](https://img.wattpad.com/cover/358874329-288-k238353.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
ANTARA DUA DO'A (TERBIT)
Fiksi Remaja⚠️SEBELUM BACA WAJIB FOLLOW AKUN INI!⚠️ " Ara gak suka jatuh hati sama yang enggak bisa Ara miliki"