46. ANTARA DUA DO'A

1.7K 103 0
                                    

"Cinta tidak hanya
mengajarkan keindahan tapi
juga mengajarkan
hebatnya keikhlasan."
°
°
°
Heera


"Jadi...." Sarah menceritakan awal sampai akhir kejadian. Ia meminta Alvan agar menjelaskan kepada Ustazah Jalia bahwa ini hanya kesalahan pahaman, mereka benar-benar tidak berkhalwat dengan seorang laki-laki pun. Alvan menyimak dengn seksama lalu mengangguk paham.

"Yaudah, berarti sekarang udah aman. Nanti saya akan coba jelaskan semuanya ke Ustazah Jalia." Alvan menanggapinya dengan baik.

"Sebenarnya Gus ada masalah yang lebih penting dari itu." Sambung Esha.

"Apa lagi?" tanya Alvan heran, alisnya menaut.

"Ara hilang Gus!" Alvan tersentak, apa kata Esha tadi?

"Ara hilang? gimana ceritanya?" sekarang Alvan yang panik, baru kali ini Sarah melihat gusnya ini panik luar biasa. Bahkan Alvan langsung buru-buru mencari keberadaan gadis itu.

***

Di tengah sunyi suasana gedung sekolah Tsanawiyah yang jauh dari kebisingan lomba, Ara mengendap-endap keluar dari salah satu toilet gedung itu. Ia sedang bersembunyi dari Ustazah Jalia yang sedang mencarinya perkara kesalahpahaman yang terjadi. Jantung gadis itu masih berdebar-debar.

Saat sedang berjalan untuk kembali ke bawah tenda penonton, Ara tersentak kaget dengan kehadiran Alvan di hadapannya. Mereka berdua tidak sengaja berpas-pasan, jarak mereka begitu dekat, hanya tinggal beberapa centi saja.

"Astaghfirullah! " Kaget Ara sambil mundur beberapa langkah.

"Gus bisa nggak sih kalau nggak kagetin Ara, lagian Gus ngapain ke sini?" cerewet Ara dengan suara yang sedikit ia kecilkan. Alvan menatapnya datar.

"Seharusnya saya yang nanya ngapain kamu ke sini?"

"Saya Gus?" tanya Ara polos, telunjuknya menunjuk dirinya sendiri.

"Iya Hanan Azkadina Syahira." Ara cengengesan, lalu ia menceritakan hal yang sama seperti yang telah Sarah ceritakan sebelumnya dan disertai alasan mengapa ia bisa hilang.

Lalu Alvan membawa Ara ke hadapan Sarah, Esha, dan Rahil yang sedang sibuk mencarinya. Alvan yang berjalan di depan dan Ara membuntutinya. Esha langsung memeluk gadis itu.

"Ya Allah, Ra. Kamu hilang kemana sih?" tanya Rahil khawatir.

"Ara nggak hilang, cuma sembunyi di toilet aja kok." Jelas Ara. Alvan hanya memandang ke empat gadis itu dengan tatapan mendalam. Akankah Allah menijabahkan do'anya tentang salah satu dari gadis-gadis itu?

"Gus, ma kasih ya, udah bantuin kita untuk cari Ara." Alvan mengangguk lalu pamit untuk kembali ke ndalem.

***

Farhan menghela napas berat. Setelah berkali-kali dia mencoba meminta restu untuk menikahi Ara dan berkali-kali itu juga Laila dan Hasbi menolak keinginannya.

Hari ini Farhan memiliki pertemuan dengan Devi, calon tunangannya. Sesampainya di cafe, tempat biasanya ia makan bersama Ara, Devi sudah menunggu kedatangan Farhan.

Gadis berkerudung syar'i itu mengulas senyum hangatnya tapi Farhan sama sekali tidak membalas senyuman itu, malahan Farhan memasang wajah datar.

Farhan duduk di kursi yang berhadapan dengan Devi, suasananya tidak canggung tapi lebih mengarah ke suasana yang menegangkan. Tanpa basa-basi Farhan langsung memulai topik permasalahan.

"Bisa nggak perjodohan ini dibatalkan?" tanya Farhan datar, hal itu tidak luput dari pendengaran Rahil dan Esha yang juga sedang sama-sama makan siang si cafe itu, hanya saja berbeda meja. Hampir saja Rahil menelan bulat-bulat bakso yang sedang ia makan saat mendengar perkataan Farhan tadi.

"Bisa, Kak. Devi juga nggak tahu kalau  Devi dijodohin sama Kak Farhan. Devi nggak mau tikung teman sendiri, dan Devi tahu betul kalau Ara cinta banget sama Kak Farhan. Nanti Devi bakalan bilang sama orang tau agar perjodohan ini dibatalkan." Tutur Devi dengan suara lembut. Walau sebenarnya ia tidak rela untuk melepaskan calon tunangannya tapi apapun itu semuanya demi keadaan yang memang tidak mendukung. Farhan tersenyum.

"Terima kasih. Kalau gitu saya pamit." Ucap Farhan hendak berlalu pergi.

"Nggak makan dulu kak?" cegat Devi tapi langsung ditolak oleh Farhan. Devi menghela napasnya.

***

Dua minggu sudah berlalu dan acara milad juga sudah selesai. Walau Ara tidak mendapat juara pada cabang lomba yang ia ikuti, tapi pengalaman yang ia dapat sudah cukup dan setara dengan juara yang didapatkan oleh orang lain.

Mungkin bukan keahliannya dalam bidang itu, tapi pasti ada hal lain yang telah Allah persiapkan untuknya nanti.

Setelah milad pesantren tibalah waktunya acara 17 Agustus. Awalnya Ara tidak ingin ikut, tapi Kyai Halim mewajibkan seluruh santriwan dan santriwati untuk berkumpul di lapangan dan mengikuti upacara bendera.

"Ra, buruan! nanti telat nggak ada barisan." Esha terlihat buru-buru sambil membenarkan posisi hijabnya.

"Iya-iya!" jawab Ara, ia sedang memakai ciput dan hendak memakai jilbab persegi empat. Khusus santri yang berkuliah tidak diwajibkan untuk memakai seragam.

Ara memakai tunik berwarna Maron dan rok yang berwarna cream soft, begitu juga dengan jilbab yang ia gunakan.

Setelah berjalan menuju lapangan tempat upacara bendera dilaksanakan. Benar saja, Ara dan Esha tidak mendapat barisan untuk melihat upacara 17 Agustus itu. Malahan mereka mendapat barisan paling belakang.

Saat paskibra dari santriwan mulai bergerak, hanya suara hentakan kaki  mereka yang Ara dengar dan hanya peci mereka yang bisa Ara lihat. Itulah resiko jika telat. Karena bosan dan suasana barisan yang sangat berdesak-desakan, Ara memilih keluar dari barisan dan duduk di kursi panjang yang berada di sekeliling lapangan.

ANTARA DUA DO'A (TERBIT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang