26. Pergi

15 4 0
                                    

Kehilangan, "dua kali"



Tepat saat mendengar suara mobil yang mendekat, Alan langsung mendorong Zara guna mempercepat agar Zara tidak terkena imbas dari apa yang akan terjadi.

Begitu pintar aksi penjahat ini, ia sengaja tidak menghidupkan lampu LED agar tidak menyilaukan serta membuat Zara dan Alan sadar akan keberadaannya.

Sepersekian detik selanjutnya, tubuh Alan langsung terpental agak jauh dari tempat ia menyebrang bersama Zara tadi, tubuhnya luka-luka, lecet, dengan kepala yang terus berdenyut nyeri, dapat ia rasakan juga bau amis serta rasa basah mengaliri dari kepala hingga tangan.

Dapat ia dengar keramaian sekitar yang semakin ribut, sakit, telinganya berdenging, membuatnya sedikit mengernyitkan alis sembari memejam paksa. Keramaian dari para warga yang penasaran, beberapa hanya sekedar melihat dan mulai merekam dengan kamera ponsel mereka.

Dapat ia rasakan juga, dua tangan yang meraih lengannya turut merasakan khawatir, ingin rasanya Alan raih dua pergelangan itu, namun, rasanya tak berdaya. Alan terbatuk hebat sembari meremat dadanya merasakan sesak yang kembali hadir, pandangannya memburam karena air mata, harus ia rasakan sakit yang teramat.

Rasanya, membuka mata pun sudah mulai ia kesulitan, air matanya sudah menetes satu demi satu, sayup-sayup ia dengar suara teriakan Zara yang dengan gemetar meminta bantuan untuk menelpon ambulan.

Zara mulai meletakkan kepala Alan di atas pangkuannya, persetan dengan darah yang turut mengalir ke bajunya, ia tepuk-tepuk pipi Alan agar terus sadar, dapat pula Alan rasakan tetes demi tetes air mata Zara berjatuhan.

Seketika, batinnya berkata, "ayah, Alan jahat ayah. Alan bikin cewe nangis"

Akan tetapi, tidak ada yang bisa dilakukan Alan selain mengusap pipi bersih Zara dengan satu tangannya sambil menunggu kedatangan ambulan untuk menjemputnya itu.

Alan usap lembut pipi Zara sembari tersenyum, namun, dengan air mata yang masih singgah di bola matanya, memberikan kesan senyum yang menyakitkan ditambah dengan kondisinya saat ini. Meski tetap merasakan rasa sakit dikepala yang benar-benar dahsyat Alan harus kuat, ia tahan.

Tetapi.. Sekuat apapun manusia jika Tuhan sudah menghendaki, maka apa yang bisa kita lakukan?

Untungnya terbesit dipikiran Zara untuk coba mencari ponsel Alan, seseorang tetap harus tahu keadaan Alan saat ini. Perlahan ia tarik benda pipih tersebut dari dalam saku kemeja milik Alan, ponsel yang sudah nampak tak layak dengan bentuk retak di sana sini, namun masih bisa menyala.

Dengan segera Zara berusaha mencari nomor dari ayah Alan, dengan kesulitan karena kepekaan sentuhan pada ponsel Alan sudah mulai berkurang, hingga ia menemukannya ia langsung sambungkan pada panggilan suara.

"Om.. B, bisa ke Alun-Alun Kidul, ngga?" ucap Zara tersendat-sendat karena tangis yang belum kunjung berhenti.

"Loh? Emang ada apa? Ini siapa?" jawab Chakra kebingungan dari seberang sana.

"Udah dateng aja, om!" Zara sedikit meninggikan suaranya sebelum mematikan panggilan tersebut secara sepihak, masih dengan tangis yang semakin lama semakin menderu.

Zara meletakkan ponsel Alan dengan agak dibanting, terasa sangat sulit menerima kenyataan ini, ucapnya terakhir kali untuk saat ini bukan selamanya, Tuhan terlalu serius menanggapi ucapan keduanya.

Tepat beberapa saat setelahnya Chakra datang ketika para perawat sudah mulai membawa tubuh Alan di atas brankar, melihat anaknya yang hanya terbaring lemas, Chakra langsung berlari menghampiri dan menanyakan, apa yang telah terjadi pada anaknya?

Melihat kehadiran Chakra, yang bisa dilakukan Zara hanya menangis, sembari meminta maaf kepada Chakra. Chakra antara bingung, panik, dan sendu hanya bisa menenangkan Zara.

"Saya, m, minta maaf, om. Saya minta m, maaf," ucap Zara dengan terbata-bata dengan tangis yang masih sepenuhnya luruh.

Zara yang awalnya menunduk hampir bersujud di depan Chakra, langsung ia tahan dan ia tenangkan, Chakra juga segera mengajak Zara untuk ikut menyusul mobil ambulan yang membawa tubuh anaknya.

Di rumah sakit dokter sedang berusaha untuk menyelamatkan kondisi Alan yang terlihat sangat memprihatinkan, dokter segera memasangkan nebulizer pada Alan tatkala melihat pernapasan nya yang begitu berantakan dan terasa berat. Terasa sangat tegang di dalam ICU, ditambah lagi dengan suara dari elektrokardiogram yang semakin lambat juga semakin menambah cemas pada dokter dan suster.

Sementara di ruang tunggu, masih terdapat Chakra yang berputar-putar di lorong dan Zara yang masih mencoba menetralkan napasnya.

Alan sudah benar-benar tak mampu lagi untuk membuka mata, bahkan saat dokter mulai memasangkan defibrilator.

Mulai terputar kembali kenangan-kenangan masa lalu yang telah ia alami, entah itu yang baik maupun buruk, semuanya muncul kembali, terutama Bunda.

Sejenak, dapat Alan dengar suara dari seorang wanita yang hampir tidak ia kenali, suara lembut yang dulu pernah menemaninya, yang tidak pernah ditinggikan, kini ia dengar lagi. Seakan merasakan mimpi, Alan sedikit terkejut.

"Alan.. Sini sama Bunda, sayang"

Yang terlihat disekeliling Alan hanyalah putih, putih bersih, segalanya putih! Hingga ia menatap ke depan. Ia lihat dengan begitu jelas menggunakan kedua bola matanya, itu sang ibu!

Masih sama, masih terlihat muda nan cantik, seperti di foto, seperti terakhir kali. Alan dengan muka terkejutnya dan air mata yang turun secara tiba-tiba, ia langsung berlari memeluk Callista, sembari ia tumpahkan seluruh tangis dan rindunya.

Callista, ia usap pipi anaknya yang kini basah dibanjiri air mata, ia cium pula keningnya, ia rasakan jua rindunya.

"Alan sudah tidak sakit, Alan sudah tidak lelah. Sekarang, pulang bersama Bunda," ujar Callista dengan lembutnya sembari menangkup pipi si anak.

Bersamaan dengan itu, layar monitor sudah mulai memunculkan dengingan panjang disertai garis lurus, yang ada di dalam sana sempat saling pandang sebelum akhirnya menutup wajah tenang Alan. Dokter sudah tidak bisa melakukan apa-apa selain terpaksa memberi kabar tak mengenakan tentang hal ini.

Dokter tersebut keluar, menghampiri Chakra dan juga Zara yang sudah tenang semenjak beberapa saat lalu. Chakra langsung saja memberi pertanyaan bertubi-tubi kepada sang dokter.

Dokter tersebut menundukkan, mengungkapkan perasaan sendu sebelum ia kembali mendongak dan menghadapi wajah Chakra, "maaf, namun, ananda Langit Alandra Lunando tidak selamat, dikarenakan gegar otak, kesehatan paru-paru yang semakin buruk serta kehabisan darah pasca kecelakaan. Saya turut berbela sungkawa, namun, saya harap bapak bisa tegar menghadapi hal ini. Saya mohon permisi"

Tepat setelahnya menyatakan kalimat panjang tersebut beberapa perawat keluar sembari mendorong ranjang milik Alan, yang tubuhnya sudah tertutup sempurna dengan kain.

Pak Chakra telah kehilangan dua kali.

Chakra melihat hal itu terasa dejavu, ia seperti melihat masa lalu kala mendiang istrinya telah terjemput maut, seketika badannya luruh, dadanya turut terasa sakit, tubuhnya lelah, bahkan menangis pun rasanya Chakra sudah tak sanggup.

Sementara, Zara ketika melihat ranjang milik Alan tersebut kembali menangis kencang dan kembali mengulang-ulang kata maaf di depan Chakra meski dengan terbata dan mulut yang bergetar.





Alhamdulillah, akhirnya tamat.

Bulan dan Rotasi [TAMAT]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang