23. Gimana?

9 3 0
                                    

Layaknya bagasfora dan bentala kita adalah dua atma yang tidak di iizinkan semesta.





"Gimana? Udah siap ujian?" ucap Alan sedikit menyenggol bahu Zara.

"Siap nggak siap, sih"

"Yang nilainya lebih rendah ngalah daftar UGM," Alan menantang.

"Oh?! Nantangin?" keduanya tergelak, posisinya masih berada di depan kelas, persiapan diri menuju medan pertempuran yang sebenarnya, ujian kelulusan untuk menentukan seberapa cocok untuk lulus dan mencari hasil yang pantas untuk masuk ke kampus impian.

Lantasnya, sebelum masuk pasangan Adam dan Hawa itu melakukan jabat tangan untuk saling meyakinkan satu sama lain. Sampai akhirnya Zara masuk ke dalam kelas terlebih dahulu dipersilahkan oleh Alan yang mengikuti selanjutnya.

Seisi kelas terisi penuh oleh siswa-siswi yang sedang berusaha, dengan peluh keringat yang bercucuran dari pelipis mereka, dan beberapa kerutan dahi yang turut hadir mengisi.

Dengan mereka yang memegang dahi memperlihatkan betapa lelahnya mereka, dan pengawasan yang sangat ketat, karena selalu berkeliling dari bangku ke bangku untuk menghindari adanya kecurangan antarsiswa.

Justru mungkin itulah yang membuat beberapa siswa lebih cemas.

.

.

Bel istirahat berbunyi menyebabkan helaan panjang dari mulut para murid, beberapa helaan lega dan helaan yang sedikit frustasi.

Bising suara murid-murid yang keluar dari ruangan ujian masing-masing, suaranya bak berdengung seperti lebah, saling membahas soal-soal pertanyaan yang hadir pada kertas ujian sebelumnya.

Pembahasan mengenai hal mana yang benar melalui riset beberapa siswa dan beberapa kali muncul perdebatan karena perbedaan pandangan mengenai hasil akhir.

"He, yang terakhir tadi aku kok B," ujar Ana, "kamu opo, Nay?"

"Naya yo D karo aku," jawab Vio.

Di tengah-tengah perdiskusian tersebut Zara hanya menyandarkan kepalanya karena sudah lumayan lelah, energinya terpakai hanya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan pada empat lembar kertas ujian tadi.

Di kantin, suasana tersebut terpecahkan dengan Alan yang menawarkan beberapa botol mineral dingin yang terdapat beberapa bulir air di bagian luar kemasan, diikuti dengan Vano di belakang.

"Eh, Gio mana?" tanya Naya penasaran sembari melihat ke belakang Vano.

Reflek semuanya mengangkat bahu dan saling pandang satu sama lain, "jarang koar-koar, kalau pulang ya langsung pulang. Udah jarang nyapa," sambung Naya kembali.

"Jare bar di tolak, aku wae lagi ngerti nek nduweni gebetan," ujar Vano sembari mengapit sebatang rokok di mulutnya dan memantiknya dengan api.

Di tengah-tengah hisapan Vano pada batang rokoknya, sebuah derap langkah menghampiri lingkaran mereka, dimiliki oleh seorang gadis yang lantas langsung saja menyamankan diri dengan duduk di antara mereka, "eh, Alan, kamu nanti abis ujian sibuk, ngga?"

"Iya, aku sibuk sama Zara," ujar Alan yang langsung menepis rangkulan Julliete serta pergi meninggalkan lingkaran tersebut sembari terbatuk hebat dan memegang dada menuju toilet, tatkala rokok milik Vano sudah mulai mengepulkan asap yang lebih pekat.

——°•°——

Hari ini, adalah minggu dimana penderitaan itu usai, diganti dengan senang-senang santai.

Zara berlari dengan senyum terekah hebat sebelum retak esok, minggu pagi yang indah diawali oleh sang arunika. Ia sedang menunggu kehadiran yang sementara dengan menunggu di dekat pekarangan rumah Tuhan-nya, tak tau harus apa selain menunggu karena Zara satu-satunya yang berbeda di lingkup sana. Melihat beberapa mobil di parkiran, yang akan ia hitung berapa banyak untuk warna hitam dan putih, ia juga melihat di sana ada mobil berwarna silver dengan kaca terbuka.

Setelahnya ia mulai berkelana di alam khayal, memikirkan hal acak yang tidak bisa ditebak, Zara hampir masuk lebih dalam sampai seseorang memberi tepukan sadar, yang langsung menariknya ke dunia kembali.

"Bosen, ya, nungguin aku?" tanyanya mengawali percakapan.

"Lumayan"

"Jadi, mau ngapain kita?"

"Seperti biasa, abis ujian bingung, nggatau mau ngapain tapi pengen ngapa-ngapain, mending kita ngapa-ngapain"

Manusia dihadapannya tergelak, cukup receh sebenarnya manusia ini. Gelaknya mengundang Zara untuk ikut bergabung dalam harsa. Setelahnya ia sedikit mengusak kepala Zara-

"Heh!"

"Ya, maaf. Kamu lucu.. Dan cantik"

"Yeu, ngegembel"

"Gombal," katanya membenarkan.

Alan mengajak Zara ke tempat yang damai, dikelilingi oleh ilalang yang melambai-lambai terkena terpaan angin yang kuat, membawanya duduk dibawah naungan pohon besar yang telah hidup mewakili sekelilingnya selama puluhan tahun, pohon yang sudah mulai gapuk hampir runtuh.

Pohon gapuk yang mulai terbebani, namun tetap membawa memori, kami biasa menyebutnya 'Pohon Cerita', entahlah Alan yang menamainya. Tapi jika dari Zara lebih ke 'Pohon Teman' karena masalah apapun itu pohon selalu menemaninya, merenungkan masalahnya.

Mereka duduk berdampingan sejenak menikmati semuanya, jarak mereka tak terhitung jauh, hanya satu meter, untuk antisipasi agar tak saling sentuh. Disamping Zara, Alan mulai menuliskan bait-bait aksara pada lembaran itu, sedikit menahannya tatkala angin berusaha menyapu lembaran-lembaran nya. Ia menuliskan bait kata yang sulit Zara pahami.

Entah, mungkin Zara saja yang kurang menyelam jauh untuk memahami beberapa hal.

"Itu.. Apa?" tanya Zara dengan rasa penasaran yang mulai sedikit membludak. Alan hanya tersenyum, Zara berikan atensi penuh hingga aksara itu sudah selesai tergurat.

"Buat apa emang?" tanya Zara.

"Kamu tidak boleh tahu, selama aku masih di sini," jawabnya, dengan senyum yang tak luntur, senyum yang masih sama. Senyum yang menghangatkan suasana.

Kening Zara kembali mengkerut memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut Alan, apakah orang ini sedang bermain-main?

Zara masih menatapnya dari samping, melihat pahatan luar biasa tampan ciptaan Tuhan, tiba-tiba terukir senyum pada wajahnya, menimbulkan tanda tanya.

"Mungkin.. Kita emang ngga akan bersatu, pada akhirnya kita akan berpisah dengan cara sendiri.. Dengan cara yang bahagia tanpa rasa sakit yang terasa," kepalanya mulai tertoleh kepada Zara, masih setia membuat simpul senyum di wajahnya. Manis, sangat manis.

Hening menerjang di antara mereka, kembali. Setelahnya, nampak dari ekor mata Zara, Alan tutup bukunya, buku yang sempat Alan hindarkan dari dirinya. Selesai sudahkah cerita hari ini untuk bukunya?

Lalu, Alan memberi Zara kejut yang tiba-tiba saja memberikan buku itu padaku? 'Mengapa?' tanya Zara dengan raut wajah, sebelah alis yang terangkat dan menatapnya.

"Ambil. Hadiah," bertambah bingung Zara.

"Suatu saat aku juga bakal pergi, kalo kamu rindu, cerita sama bulan, bulan akan mengantarkan."

"Kita jauh bukan karna jarak, Za," sambungnya kembali.

Mulut Zara terbungkam, kata-katanya cukup mencabik-cabik hatinya. Meruntuhkan raganya, perlukah di perjelas?

"Kamu mau kemana?"

"Tidak sekarang, tapi nanti"

Bulan dan Rotasi [TAMAT]✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang