viii. puncaknya aku berhenti berjuang

724 115 173
                                    

N A R A S I
Lalu puncaknya, aku
menyerah, Tuhan. Hidupku
berakhir di umur delapan belas.

Sejak kejadian di atas rooftop malam kemarin, Halilintar tidak pernah pulang ke rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sejak kejadian di atas rooftop malam kemarin, Halilintar tidak pernah pulang ke rumahnya. Kaizo dengan senang hati membawanya untuk menginap di rumah sang psikolog, bermalam dengan carut-marut pikiran abstrak di kepala.

Dari malam sampai subuh, sebanyak itulah waktu yang di gunakan Kaizo hanya untuk mendekap Halilintar. Anak itu terus meracau di dalam tidurnya. Anak itu tidak pernah tenang dalam tidurnya. Hanya saat Kaizo berbaring di samping dan memeluknya, barulah Halilintar terdiam dalam tidurnya.

Kaizo tidak melihat langsung, tetapi dia bisa rasakan seberapa banyak rasa sakit yang menggunung dan menumpuk di relung hati Halilintar.

"Papa, Alin belum bangun?" Pintu terbuka sedikit hingga menampilkan putra sulungnya, Solar, yang tengah membawa nampan berisi obat. Sesuai dengan permintaan Kaizo.

"Belum. Biarkan saja." Tidak lama kemudian Kaizo dengan hati-hati bangkit, berusaha agar tidak mengusik barang sedikitpun tidur si merah. Lantas ketika sudah duduk di pinggir kasur, sang Ayah bertanya. "Kamu free hari ini?"

"Kenapa? Mau nyuruh Solar bobo bareng Alin? Free tiap detik Solar, mah!" Sahut Solar senang. Kapan lagi bisa tidur bermalas-malasan di samping Halilintar, kan?

Tetapi sayangnya Kaizo menggeleng, mematahkan ekspetasi si sulung. "Yang ada dia bangun. Kamu rajanya bikin onar, Solar. Kasur saja bisa jadi lapangan futsal saking tidak tenangnya kamu selama tidur." Oh, wah. Solar sedikit sakit hati. "Papa cuman mau minta tolong. Pengumuman hasil kompetisi piano keluar pagi ini. Hasilnya tidak bagus. Papa minta kamu jaga Alin supaya dia tidak tahu berita kurang mengenakkan ini." Lanjut sang Ayah.

Solar seketika merenggut kesal ketika teringat kejadian kemarin. "Juara satunya Gempa, kan? Udah ku duga! Lama-lama ku bacok juga tuh anak!"

"Solar." Sang Ayah memperingati. Manik segenap lautan itu melirik Halilintar yang sama sekali tidak terusik dengan ocehan Solar. Lantas kembali fokus pada si sulung dengan pelototan, "Jangan terbawa emosi. Sehabis ini Papa mau cari tahu kenapa lagu Alin bisa ada di tangan adiknya. Buktinya akan Papa kirim ke kamu. Jangan bertindak gegabah. Dengar, tidak?"

"Denger, Paduka raja." Sahut Solar malas.

"Jangan. Bertindak. Gegabah." Tekan sang Ayah sekali lagi. Jelas lagi nyata si sulung Solar sama sekali tidak mendengarkan. "Papa tidak mau mendengar kamu jadi kriminal karena emosi sesaat. Tidak lucu. Tidak keren juga."

"Dih, kok tau Solar mau jadi kriminal!?" Solar melotot, hampir berteriak jika tidak ingat ada sahabatnya yang terlelap di sana.

Narasi: Stay With Me [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang