ii. Tuhan, narasi ini akan sampai, kan?

730 110 57
                                    

N A R A S I
Tuhan, aku kalah, ya?

Sejak awal, Halilintar paling menyukai aroma minyak telon yang menguar dari adik-adiknya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sejak awal, Halilintar paling menyukai aroma minyak telon yang menguar dari adik-adiknya. Mereka rentan, kecil, juga bersemu merah dari dalam box transparan. Di umur empat tahun ini, Halilintar putuskan untuk menjadi Kakak untuk kedua adiknya.

"Ma, Hali mau jadi Kakak, boleh?" Tanya si kecil usai turun dari kursi yang dia gunakan untuk melihat kedua adiknya. Mata merah itu tatap langsung sang Ibu yang berbaring di atas kasur rumah sakit.

"Boleh." Sahut Mara lembut.

"Hali mau gendong adek, boleh?" Namun kali ini sang Ibu menggeleng lemah. Membuat si kecil Halilintar merenggut kesal. Lantas kembali bertanya, "Kenapa? Hali mau pegang adek, Ma. Mau cium pipinya."

"Nanti, ya?" Tiba-tiba sang Ayah datang dan menyahut. Kedua tangan besar itu mengangkat tubuh kecil Halilintar lalu di bawa ke dalam dekapan hangatnya. Amato mengerling sembari mencubit hidung kecil si sulung. "Kalau sudah waktunya, Hali boleh, kok gendong adeknya."

"Kenapa?"

"Adek sakit." Sahutan Ayah membuat Halilintar mau tidak mau mengernyit khawatir. Matanya segera beralih pada box, menatap dua bayi yang mendekam di dalam hangatnya benda kotak itu. Sakit? Kasihan sekali, pikir Halilintar.

"Kapan sembuhnya?" Sekali lagi Halilintar bertanya. Tidak bosan si kecil melontar tanya perihal adiknya yang baru lahir beberapa jam yang lalu.

"Nggak tahu, doain aja, ya?"

Lantas tubuh kecil berbalut jaket merah marun itu condong ke depan, membuat tubuhnya makin menjorok ke arah box adik-adiknya. "Cepet sembuh, Taufan, Gempa. Hali jaga kalian dari jauh aja, ya? Soalnya nggak bisa sering-sering ke sini. Dokternya galak."

Itu tulus. Itu murni. Itu suci. Saat itu, Halilintar benar-benar menyayangi kedua adiknya.

Sampai akhirnya tahun demi tahun berlalu, tetapi rumah sakit tetap menjadi rumah bagi kedua adik-adiknya. Halilintar di buat keheranan. Di buat khawatir karena Taufan maupun Gempa tidak pernah keluar dari ruangan penuh aroma obat-obatan pahit.

"Mereka sakit apa, sih?" Sampai akhirnya, di umur tujuh tahun, Halilintar bertanya dengan nada sedikit kesal. Matanya tertuju langsung pada bayi yang terbaring di atas keranjang bayi, tubuh mereka penuh dengan alat-alat yang tersambung setiap detiknya.

"Adek lemah, Hali. Prematur."

Halilintar mengangguk, "Bisa sembuh, nggak?"

"Bisa. Tapi butuh waktu." Sang Ayah terlihat menerawang jauh, menatap kedua anaknya yang terbaring lemah. Sudah berapa tahun? Sepertinya baru tiga tahun. "Hali mandiri, ya? Ayah mau nginep di sini, mau jaga adek kamu."

Tiap tahun berlalu, semakin besar, semakin dewasa, di saat itulah Halilintar tersadar bahwa dirinya sendirian. Rumah begitu kosong. Rumah begitu dingin. Halilintar sering terbangun dalam keadaan sendirian, sedangkan Ayah dan Ibunya terus berada di rumah sakit.

Narasi: Stay With Me [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang