v. kapan narasi ini akan berakhir?

833 118 44
                                    

N A R A S I
Ayah, jika saja aku punya
kesempatan, aku tidak ingin
menjadi seperti ini.

"Ayah," Halilintar membuka matanya yang memberat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ayah," Halilintar membuka matanya yang memberat. Tubuhnya menggigil kedinginan akibat tubuh basah kuyup di tambah dengan air keran yang membasahi lantai kamar mandi. "... Masih marah?" Dan tanyanya itu hanya di jawab sunyi.

Jam berapa ini? Hari keberapa ini? Malam, atau siang? Halilintar tidak tahu pasti. Tubuhnya meringkuk di atas lantai basah sembari meringis kesakitan. Pingsan, lalu bangun lagi karena rasa sakit yang menerjang.

Beberapa jam yang lalu──entahlah, yang pasti sudah lama, Pria itu pulang ke rumah dengan amarah yang berkobar. Kedua hasta pria itu terkepal, siap melepas tonjokan keras di sekujur tubuh putra sulungnya tanpa aba-aba.

"ANAK SIALAN! LIHAT! GEMPA KRITIS! ADIK KAMU HAMPIR MATI!" Pria itu terekam jelas seperti setan yang membabi-buta saat memukuli Halilintar.

Iya, Halilintar akui dirinya salah. Tidak seharusnya membentak kasar Gempa──tetapi, jika boleh mencari pembenaran, Gempa kritis bukan karena sepenuhnya salah Halilintar, kan? Kondisi anak nomor tiga itu memang buruk sejak awal.

Lantas Halilintar meringkuk, meringis, lalu merintih di sela-sela melindungi tubuhnya dari terjangan sang Ayah. Sia-sia memang.

Tidak ada yang mau mencegah, seolah-olah semua orang membenarkan tindakannya Ayahnya. Tidak berselang lama, dengan kesadaran yang tipis, Halilintar di seret menuju kamar mandi.

"Ayah kecewa, Hali! Ini yang namanya saudara!? Harusnya kamu lindungi Gempa, sayangi dia! Jangan keasikan mikirin diri sendiri!"  Tutur pria itu usai melempar putranya ke atas lantai kamar mandi. Keran segera di pulas, memenuhi bak mandi hingga meluber kemana-mana. "Sehabis ini, jangan pernah mikir buat keluar dari sini sebelum saya sendiri yang ngebukain."

BYUR

Luar biasa. Air dingin mengguyur sekujur tubuh dalam sekejap mata, membasahi luka-luka memar hingga menciptakan mati rasa. Halilintar terbatuk pelan, mulutnya tersengal-sengal saat mencoba mencari nafas di sela-sela guyuran air dingin yang tidak ada habisnya.

"... A──ayah," dengan sekuat tenaga tangan Halilintar mencoba menggapai kaki Amato, berusaha meminta pengampunan. "──maaf." Dan tubuhnya jatuh ke lantai. Lemah. Dirinya terlalu lemah. Bahkan untuk menggapai kaki sang Ayah saja tidak bisa.

Setelahnya semua mulai berubah gelap, membuat Halilintar hanya ingat Amato pergi dari kamar mandi seraya membanting pintu dengan amat kencang. Membiarkannya sendirian dengan belenggu rasa sakit yang nyata.

Beralih ke masa sekarang, Halilintar bersusah payah beranjak duduk, menyenderkan tubuhnya ke dinding keramik yang dingin sembari memegangi bahunya yang ngilu. Sumpah, sakitnya ada dimana-mana. Menyerang tanpa kenal waktu. Lambungnya, sekujur tubuhnya, bahkan hatinya di rajai sakit.

Narasi: Stay With Me [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang