vii. rasa sakitnya tidak pernah usai

829 123 70
                                    

N A R A S I
Saya benci diri saya
sendiri, Pak.

Saat itu, Halilintar hanya mampu bergeming seperti orang bodoh di balik tirai panggung

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Saat itu, Halilintar hanya mampu bergeming seperti orang bodoh di balik tirai panggung. Matanya menerawang jauh, menetap kerumunan yang bersorak bersama tepuk tangan keras untuk sosok Gempa yang baru saja membawakan lagu buatannya sendiri.

Semua orang menangis terharu. Bunga-bunga mawar yang harum semerbak di lemparkan ke atas panggung sebagai apresiasi.

"Tidak salah saya mendidik langsung kamu," suara lembut yang di perjelas dengan mikrofon terdengar, Miss Alena memuji dengan binar mata yang terang. "Baik. Untuk peserta selanjutnya, kita hadirkan Halilintar!"

Kerumunan diam. Lampu sorot menyorot panggung yang kosong. Hingga akhirnya sosoknya terlihat muncul dari balik tirai. Matanya memerah kentara, menyorotkan keputusasaan mendalam bagi semua orang yang menatap.

Lagunya telah di ambil.

"Halilintar, kami persilahkan tempat dan waktunya untuk mu."

Tetapi Halilintar masih bergeming. Matanya menyorot sosok Solar yang menangis dengan wajah marah. Menyorot Kaizo yang menatap dengan sama terlukanya seperti Halilintar. Dan menyorot sang Istri yang telah menangis tertahan di pelukan sang suami.

Lagu ku telah di renggut, Tuhan. Semua usaha, tangis, tawa, serta dukungan yang mengiringi telah luntur tanpa arti.

Setetes air mata tanpa sadar mengalir, jatuh ke atas panggung, mencipta hening yang tidak mengenakkan. Bagaimana ini? Lagu apa yang akan dia bawakan?

"ALINN!" Solar berteriak, membuat semua orang tersentak kaget hingga menoleh pada remaja yang tengah menangis itu. "MASIH ADA SATU LAGU! YOU HAVEN'T LOST YET!" Teriaknya lagi.

Orang-orang jelas tidak mengerti. Untuk apa teriakan, tangis, serta gejolak amarah yang mengudara di dalam ruangan ini? Benar-benar berlebihan, pikir semua orang.

Tetapi Halilintar lah yang sangat mengerti. Lagunya tidak hanya satu. Masih ada lagi. Tetapi tidak sesempurna lagu yang telah di ambil.

Kakinya mengayun, melangkah menuju piano, duduk di sana dengan mata terpejam. Hening masih mengisi. Gejolak emosinya naik hingga membuat sekujur tubuhnya panas dingin.

Tidak lama kemudian jari jemari ramping itu menekan tuts. Mengantarkan lagu yang belum rumpang dengan segenap hati. Menggambarkan keputusasaan prajurit di medan perang, kesepiannya malam tanpa siang, tangis air pasang laut yang melalap habis daratan, dan tawa bayi yang baru menyambut dunia. Semuanya Halilintar gambarkan dalam lagunya.

"..."

Sampai ketika lagi telah habis, orang-orang masih bergeming. Tidak bereaksi sampai akhirnya gemuruh tepuk tangan mengiringi air matanya yang makin menganak sungai di pipi. Halilintar menunduk, mengesat kasar air matanya lalu berbalik pergi ke belakang tirai tanpa menunggu komentar Miss Alena.

Narasi: Stay With Me [ Halilintar ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang