Bagian 8

1.3K 73 2
                                    

Tawa mereka mulai mereda, tinggal sisa cemilan dan gelas teh yang setengah habis. Satu per satu mulai rebahan di sofa, bean bag, bahkan lantai karpet, tenggelam dalam kenyamanan sore yang tenang.

Rony masih duduk di samping Salma, sesekali mengusap layar laptopnya. Tapi matanya nggak fokus. Ada raut bingung yang nggak biasa.

“Sal…” panggil Rony lirih, cukup hanya untuk mereka berdua.

Salma menoleh, “Hah, kenapa?”

“Lo dulu pernah sekolah musik, kan?” tanya Rony, agak ragu.

Salma mengangkat alis. “Iya… emang kenapa? Lo mau les gitar? Atau mau belajar nyanyi?”

“Woy enggak!” Rony langsung ngibasin tangan, malu-malu. “Gue tuh lagi nyusun proposal buat acara pensi jurusan. Tapi... ada bagian kolaborasi sama seni musik yang gue nggak ngerti. Bahasanya tuh kayak... ya ampun, kayak baca partitur alien.”

Salma tertawa pelan. “Sini coba gue liat.”

Rony menyerahkan laptopnya sambil duduk lebih dekat. “Gue udah lima kali ngedit bagian ini. Tapi tetep kayak tulisan tugas bocah TK yang sok estetik.”

Salma mulai membaca, bibirnya menggumam kecil, matanya fokus. “Oke… ini, ini bisa diganti. Terlalu teknis. Dan ini… kayaknya lo maksain istilah ‘harmony dynamics’, padahal maksud lo cuma mau bilang ‘gabungan nada-nada yang enak didengar’, ya kan?”

Rony melongo. “Iya, iya bener! Lah… kok lo ngerti banget sih?”

Salma nyengir, “Namanya juga jebolan sekolah musik. Dulu guru gue tuh cerewet banget soal pemilihan diksi.”

Beberapa menit berlalu dalam keheningan, hanya diisi suara ketikan dan celotehan kecil dari dapur. Rony memperhatikan Salma yang sedang fokus mengetik, senyumnya pelan-pelan muncul.

“Eh…” gumam Rony, “Makasih ya, Sal.”

Salma menoleh, “Apaan sih, baru juga bantu dikit.”

“Tapi dikit dari lo tuh, bikin banyak dari gue nggak kelihatan bego,” ucap Rony sambil tersenyum lebar, membuat Salma mendecak pelan tapi tersenyum juga.

“Tuh kan, mulai lagi gombalnya,” ujarnya.

“Gue serius, Sal,” ucap Rony, kali ini lebih pelan. “Lo bikin tempat ini... nggak sesepi yang gue kira.”

Salma menatap Rony sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus pada layar.

“Bantuin revisi dulu, baru boleh gombal.”

“Tapi Sal, lo tuh cocok banget jadi anak seni. Kok bisa-bisanya malah kuliah manajemen sih?” tanya Rony sambil heran.

Salma nyengir, “Tau nggak lo, waktu daftar kuliah tuh gue kayak abis disuruh milih antara cinta sama logika.”

“Dan lo pilih?”

“Logika. Duit. Masa depan. Ditekan bokap.”

Rony ngakak, “Fix. Lo anak seniman yang dikalahkan sama spreadsheet.”

Salma ikut tertawa, “Tapi ya... makanya kadang gue seneng kalau ada momen-momen kayak gini. Bisa ngerasain dikit lagi sentuhannya.”

"Apalagi momen nya sama gue?," ucap Rony tengil sambil menyisir rambutnya kebelakang.

Salma hanya memutar bola matanya malas, herannya selalu ada aja celah untuk Rony mengeluarkan celetukan celetukan kreatif.

***
haha kangen.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang