Bagian 6

1.7K 77 0
                                    


Paul menghela napas, lama. Matanya masih menatap pria itu—sosok yang dulu ia sebut "Papa" dengan kebanggaan, tapi sekarang cuma jadi nama yang berat untuk diucap.

Tanpa banyak kata lagi, Paul melangkah mundur.

"Pauli..." panggil ayahnya, hampir seperti bisikan.

Paul tak menoleh. Ia hanya berkata,

"Jangan panggil nama gue dulu. Gue butuh waktu."

Langkahnya makin cepat saat keluar dari panti, suara langkah sepatunya menggema samar di lorong. Di luar, angin sore menyapu wajahnya, tapi tidak menyejukkan.

Di parkiran, Rony yang sedang duduk di kap mobil langsung berdiri saat melihat Paul.

"Ul, lo kenapa?"

"Gue pergi dulu, pinjem motor lu Neyl." jawab Paul cepat.

"Mau ke mana?"

"Mana aja yang jauh dari dia."

Paul menyalakan motornya, helm masih digenggam. Matanya kosong, tapi napasnya berat.

"Ul, lo yakin nggak mau cerita dulu?" tanya Rony pelan.

Paul menatap sahabatnya, lalu tersenyum miris.

"Gue takut kalau gue cerita sekarang, gue malah balik lagi ke masa lalu itu. Gue cuma... mau napas, Ron."

Rony mengangguk, walau berat. "Hati-hati. Jangan ilangin diri lo sendiri, ya."

Paul hanya menatap lurus ke depan.

"Gue bakal balik. Tapi bukan sebagai anaknya lagi."

Lalu ia melaju, membelah senja, meninggalkan suara mesin motor yang tak kalah berat dari isi kepalanya.

_____

"Dia pergi ya?" tanya Salma lirih, menatap arah motor Neyl yang sudah tak terlihat.

Rony masih berdiri di tempat, tangan dimasukkan ke saku jaket, diam.

"Kayaknya dia cuma butuh sendiri dulu," jawab Rony akhirnya, suaranya tenang tapi rautnya menyimpan cemas.

Salma mendekat, berdiri tepat di sebelahnya.

"Lo juga harus jaga dia dari jauh, Ron. Walaupun lo nggak bisa ikut, lo tetap bisa jadi rumah buat dia."

Rony menoleh, menatap Salma lama.

"Kalau gue jadi rumah buat dia..." Ia mendekat, nada suaranya berubah jadi setengah bercanda. "Lo mau jadi terasnya nggak? Biar gue betah pulang."

Salma mengangkat alis. "Nggak usah modus di tengah adegan mellow gini deh. Lagi sedih, bukan audisi FTV."

Mereka tertawa kecil. Tapi ada jeda manis di antara tatapan mereka berdua—tenang, diam-diam saling jaga.

Di belakang mereka, suara gaduh mulai terdengar.

"Edo! Lu nyolong es krim anak panti buat lo sendiri ya, dasar nggak punya malu!" bentak Syarla sambil mengejar Edo yang berlari sambil tertawa.

"Eh bukan nyolong! Itu strategi bertahan hidup, Syar! Es krim pertama rebutan, es krim kedua gue amankan."

"Ada-ada aja lu," celetuk Danil sambil geleng-geleng kepala. "Nanti kalo Paul balik, lu yang dijadiin es krim. Dicuekin sampe meleleh."

Neyl masuk ke obrolan, sambil ngelap tangan dari bekas susu. "Gue masih shock sih, tadi Rony ngasih makanan ke Aksa tanpa nanya expired date-nya dulu. Itu bukan Rony yang gue kenal."

Rony menjawab santai, "Gue berubah demi Aksa, men. Gue udah jadi ayah-ayah vibes sekarang."

"Fix, abis nanti ganti nama jadi Ron-daddy," celetuk Nabila.

"Maminya, tau lah ya ..." Lanjut Nabila dengan menaik turunkan alisnya menggoda.

Mereka semua tertawa. Suasana mulai cair, meski masih ada sisa kekhawatiran tentang Paul.

Tapi mereka tahu, sahabatnya bukan lari. Hanya menjauh sebentar untuk kembali lebih kuat.

Dan mereka akan tetap di sini, menunggu, dengan canda, tawa, dan sedikit peluk hangat untuk ketika Paul butuh pulang.

Ruang TemuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang