112. Tanggung Jawab Dillian

1K 202 39
                                    

Perpustakaan Kota Velicia.

Itulah yang tertulis sebagai identitas dari sebuah bangunan usang yang menampilkan kesan horor. Walaupun memang tidak bisa dikatakan sebagai bangunan yang kecil, tetapi aura yang dihasilkan bangunan ini membuatku meneguk ludah secara insting.

Kesan pertamaku saat berdiri di depan gedung ini seolah aku sedang masuk secara sukarela ke dalam lokasi uji nyali. Kotor, usang, berdebu, bangunan bertema gothic yang kaca jendelanya berdebu tebal seolah memang tak pernah sempat untuk dibersihkan. Saat pintu didorong, bunyi derit mengerikan langsung bergema. Di dalam ruangan yang menjulang tinggi terasa sepi dan sunyi, tampak agak gelap dalam visi.

Ada beberapa bagian atapnya yang memiliki lubang kecil, dan dinding batunya terasa lembab, pun dipenuhi lumut di sela-sela retakan. Aroma lembap dan apek menyelimuti ruangan, menciptakan suasana yang tegang sekaligus misterius. Cahaya remang-remang dari luar menembus celah-celah atap, menciptakan bayangan kelam di sudut-sudut perpustakaan bergaya gothic yang megah namun memiliki kesan seolah telah lama terlantar.

Di tengah ruangan, rak-rak buku tinggi menjulang dengan rapi, meski beberapa buku tampak berdebu dan terlupakan. Di antara tumpukan buku yang berserakan, buku-buku tua dengan sampul kulit yang usang seakan menceritakan kisah-kisah yang pernah hidup di dalamnya. Meja kayu yang besar dan kokoh, kini dipenuhi debu tebal.

Kursi-kursi yang terbuat dari kayu gelap, sebagian miring dan sebagian lagi kehilangan sandarannya, seakan-akan bercerita tentang orang-orang yang dulunya pernah meluangkan waktu di sini, tetapi tak lagi mampu melakukannya kembali selepas perang memorak-porandakan Venetia. Di dinding, ornamen-ornamen yang rumit menambah kesan megah sekaligus melankolis.

Suasana di perpustakaan ini memancarkan aura keanggunan yang hancur, di tengah keheningan yang menyesakkan.

“Oke, apakah ini tempatnya?” tanya Sora yang agak mengerutkan hidungnya, tak senang dengan bau yang menyengat. Pixy sudah kembali ke anting permata Dillian, takutnya menarik atensi tak perlu karena sebuah angin puyuh mini beterbangan di udara kosong.

“Menurut Sir Alaric, ini tempatnya,” balasku.

“Jika ini tempat umum, mengapa perpustakaan ini kosong?” tanya Dillian.

“Sayangnya, aku tidak tahu alasannya. Tapi mungkin saja, ada beberapa orang yang menjaga perpustakaan ini. Kita bisa mencarinya. Karena dari yang aku ketahui dari Sir Alaric, dia menitipkan buku itu pada teman ksatrianya yang sekarang menjadi pustakawan di perpustakaan ini.”

Kami bersiap untuk berpencar mencari seseorang yang bisa saja ada di dalam perpustakaan, sebelum kami mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Walau kedengaran samar, tapi suasana yang sunyi membuat bunyinya menjadi lebih jelas.

Tak lama kemudian, seseorang tampak tengah menghampiri kami. Karena situasi yang gelap membuatku kesulitan untuk melihat wajahnya secara jelas.

“Sudah lama tidak ada yang mengunjungi perpustakaan,” ujar sosok itu.

Akan tetapi, ketika jarak kami mulai terkikis, kami akhirnya bisa melihat wajah dan ciri khas miliknya. Seorang pria dengan perawakan gagah, mengenakan kemeja putih polos, dan kacamata bertengger di hidungnya. Rambutnya yang berwarna hitam legam, beserta tubuhnya yang kekar dan dia memiliki banyak bekas luka di tangannya menandakan bahwa dia pernah berpartisipasi dalam perang delapan tahun lalu, atau karena latihan intensif seorang ksatria. Dari kerutan wajahnya, aku bisa menerka jika dia merupakan seorang pria yang berada di dalam rentang usia empat puluhan.

“Ah, wajah yang tidak kukenal—“

Kalimatnya terpotong, bahkan sebelum aku bertanya mengapa dia memotong kalimatnya, pria itu buru-buru menghampiri kami, tidak, lebih tepatnya berdiri tegak di hadapan Dillian.

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang