111. Luka

873 185 11
                                    

Sial sekali. Rupanya, aku ditipu. Seorang kusir yang baik hati dan selalu bicara dengan rendah hati telah menyewakan kereta kudanya, seolah benar-benar melakukan itu untuk mencari nafkah, ketika dia memiliki alibi kuat untuk melakukan tindakan kriminal di tengah hutan.

Panorama hutan memenuhi visi, beserta pepohonan lebat yang mengaburkan langit biru nan tinggi, seakan menjebakku di sini. Menyaratkan apabila tak ada hal lain yang bisa dilakukan selain jatuh dan pasrah pada tangan penjahat itu.

Kereta kuda yang ditarik oleh dua ekor kuda sedikit bergoyang ketika kedua kuda meringkik kebosanan, membuat burung beterbangan seketika. Lantas, kuperhatikan roda gerbong kereta yang terjebak dalam lubang besar. Kini, aku baru menyadarinya bahwa lubang itu terlihat dibuat dengan sengaja, seolah memang inilah salah satu proses penipuan para kusir kuda, yaitu sengaja memasukkan roda gerbong ke dalam lubang sampai tersangkut, lalu meminta penyewanya untuk membantu sebelum menjarah harta benda atau menjual mereka sebagai budak atau lainnya.

Memikirkan nasib sial ini membuatku menggerakkan rahang dengan kesal. Tidakkah cukup sial bagiku untuk terlibat dengan peperangan Adria, tetapi pula harus terlibat dengan tindakan kriminalitas seperti ini?!

Si kusir kuda yang mengunci tubuhku bernapas dengan agak memburu, bisa kurasakan telapak tangannya yang menekan lenganku berkeringat dingin. Aku yakin tindakan kriminalitas seperti ini bukan pertama kalinya dilakukan oleh si kusir, tetapi dia merasa begitu gugup dan takut hingga aku bertanya-tanya, apakah dia benar-benar melakukan ini karena hatinya memang busuk? Ataukah ada niat lain dalam hatinya?

Aku seharusnya tak penasaran dengan perasaan asli si kusir karena sebelah tangannya mengancamku dengan pisau tajam, luka yang tercipta di baliknya kian dalam saat dia mulai menekannya dengan agak kasar. Tangannya pula gemetaran seolah dia sebenarnya tak cukup berani untuk melukai leherku.

Tatapanku bergulir pada jurang yang berada tak jauh dari kami. Dillian didorong ke sana dan jatuh. Aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib Dillian selanjutnya. Namun, protagonis seharusnya memiliki plot armor yang mencegahnya mati, tetapi tak bisa kupungkiri bahwa kekhawatiranku masih meluap.

Aku ingin segera menyusul Dillian dan mengenyahkan kusir sialan ini.

“Hei! Jangan diam saja! Ayo, ikut aku! Akan kujual kau pada bajingan itu dan mendapatkan banyak uang!”

Bahkan nada bicaranya gemetaran dan gelisah. Dia bahkan sudah merasa gelisah saat meminta kami turun dari kereta kuda dan membantunya.

Ketika bisa kurasakan bahwa si kusir kembali menyeretku menuju kereta kuda, aku tak bisa diam lagi untuk mengetahui intensi aslinya. Aku segera memanggil pedang angin dan memberontak. Srash! Bilah angin yang tajam itu segera melukai lengan dan perut si kusir dalam satu gerakan. Dengan cepat, aku menggunakan kekuatan roh untuk melayang dan berpindah tempat secepat angin.

Kusir yang terluka di bagian lengan dan perutnya menjerit sambil menekan luka menganga di perutnya. Darah merembes dan menetes, saat dia mendongak, air mata menggenang, lalu dengan teriakan putus asa, dia berlari ke arahku sambil mengulurkan pisau kecilnya.

Aku menatap kusir itu dengan tatapan dingin dan menebas pisau itu dengan mudah hingga terlempar dan tersembunyi di balik semak-semak. Si kusir terlonjak dan menatapku dengan takut. Kini, tak ada senjata baginya untuk melawan dan dia tak berdaya dengan lukanya.

Memanfaatkan momen emosionalnya, aku langsung maju dan menggoreskan luka di beberapa bagian tubuhnya dengan cepat serta tanpa ragu hingga beberapa bagian tubuhnya mengalami luka ringan yang tak terlalu dalam, hanya cukup untuk membuat pergerakannya terhambat.

Kusir itu berteriak kesakitan saat luka dibubuhkan, karena dia lengah dan terlalu fokus pada rasa sakitnya, aku memanfaatkan momen tersebut untuk memukul kepala kusir itu sekeras-kerasnya menggunakan gagang pedang. Dug! Bunyinya membuat telinga ngilu dan aku sedikit meringis. Bisa kulihat jika si kusir terpaku sejenak dan langsung ambruk dengan mudah. Darah sedikit mengalir dari tempat di mana aku memukulnya. Aku agak ngeri kalau kusir ini mati seketika. Namun, ketika aku meletakkan jari di bawah hidung kusir itu, bisa kurasakan napas samarnya masih terembus yang menandakan esensi kehidupannya.

Suddenly, I Became the Hero's FatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang