[21+] (PREKUEL "My Client is My Ex-FWB]
Di sela jeda kuliahnya, Sarah menghabiskan waktu selama 30 hari tinggal bersama Alex, laki-laki yang dikenalnya di dunia maya, serta lima orang teman Alex yang lain di sebuah vila di Bali.
Tanpa ikatan apapun...
Sarah mengangkat sebuah kantong berwarna hitam di depan wajahnya. Baru saja dikeluarkan dari tas ransel abu-abu yang besarnya seolah melebihi tubuh mungilnya. Ukuran kantong itu cukup besar tapi bisa dipegang dengan satu tangan saja. Bentuknya tidak beraturan. Saat melihatnya, Alex masih menduga-duga apa isinya. Yang jelas menurutnya bukan makanan karena tidak ada bau apa-apa, bukan juga minuman karena bentuknya tidak mungkin begitu.
Tak lama, Sara mengeluarkan isinya di atas meja di kamar mereka. Isinya proyektor berwarna abu-abu yang tampak tak terlalu baru dan sebuah laptop kecil dengan layar ukuran 14 inci.
Ia lalu menaruh jari telunjuk di bibir, seperti kode agar Alex tak berisik. Matanya melirik ke arah pintu dengan sekejap, memastikannya sudah tertutup.
"Aku pinjam laptop punya bosku. Dan proyektor ini," ucap Sarah, dengan suara pelan dan berhati-hati. "Sebenarnya nggak bisa disewa, tapi pemilik bioskop mini itu senang kita main ke sana kemarin. Aku bilang mau pinjam ini untuk nonton sama teman-temanku dan akan membayarnya buat biaya sewa. Dia mau! Jadi kita bisa nonton di kamar."
Alex tampak terkesima dan bertepuk tangan dalam hati. Ide itu tak terpikirkan olehnya meski kemarin sempat kecewa karena batal nonton berdua saja.
Sarah melanjutkan kalimatnya, seolah membaca pikiran Alex. "Sewanya nggak mahal. Tapi seperti kesepakatan kemarin, kalau asyik dan kau suka, nonton berikutnya kita patungan. Karena nonton kemarin Hans yang bayar, maka ini traktiranku!"
"Kalau yang lain tahu kita pinjam proyektor buat nonton di kamar?"
"Jangan sampai tahu! Kita puaskan dulu nonton beberapa hari di kamar, setelah itu baru kita bilang kalau proyektornya bisa dipinjam," Sarah menaik-naikkan alis dan senyumnya mengembang dari ujung telinga ke telinga satunya. Seolah baru saja menemukan sebuah barang langka.
Alex mengangkat alisnya, masih terkesima. Tanpa disadari ia menyahuti kalimat Sarah dengan anggukan pelan.
"Oke kuanggap itu tanda sepakat," kata Sarah lagi.
Ia lalu melirik ke arah jam dinding yang dipasang dekat pintu kamar mandi. Jam dinding bulat dengan bingkai warna merah terang yang terkadang bikin mata Sarah pedas. Tapi tidak ada di antara mereka yang berusaha menggantinya dengan jam baru dengan desain yang lebih nyaman dipandang.
Jam masih menunjukkan pukul 2 siang.
"Coba yuk sekarang! Kita bisa nonton satu-dua film sampai makan malam. Besok pagi, kita kembalikan proyektornya sambil pergi lari, atau memperpanjang sewa kalau kita suka."
Sarah dengan antusias merapikan letak meja agar pantulan sinar proyektor mengenai sisi dinding yang pas. Dengan terampil dan seolah tak butuh bantuan, meski agak lelet, dia memasang kabel proyektor ke laptop. Bukan persoalan sulit karena sudah sering dilakukannya di kampus saat hendak presentasi.
Dalam hitungan sekian detik, proyektor sudah menyala dan terhubung dengan laptop. Sarah mengutak-atik folder di dalamnya, yang tampak sudah terisi beberapa film. Filmnya dijual secara paket, katanya. Dia membelinya secara acak dan banyak film asing yang sama sekali belum dikenalnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.