Saat Lukas naik ke atas, pikiran Sarah melayang memikirkan Beth. Apa yang bisa membuat Hans marah seperti itu? Dia lalu teringat suara pertengkaran samar yang didengarnya sebelumnya, semakin yakin ada sesuatu di antara pasangan itu.
Sarah mematung sesaat, memikirkan apa yang harus dilakukannya. Wajah marah, dahi berkerut, dan jawaban singkat Hans tadi sangat berbeda dari biasanya. Ia tidak yakin bisa merahasiakan ini Alex.
Dengan rasa takut dan ragu, Sarah menyusul Lukas ke kamar Beth. Saking sunyinya keadaan sekitar, ia bisa mendengarkan derit langkahnya sendiri diatas tangga kayu itu. Dia berhenti sejenak di depan pintu, menarik napas dalam-dalam sebelum menengok masuk ke pintu yang sudah terbuka lebar itu.
Setelah jeda sebentar, ia melangkah dan melihat wajah kacau dan lelah Beth. Matanya merah dan bengkak seperti habis menangis, raut wajah kalemnya tergantikan kesedihan. Lukas membungkuk di sebelah Beth yang duduk di tepi tempat tidur. Sepasang mata coklatnya langsung bertemu dengan pandangan Sarah.
Penuh keraguan, Sarah berjalan mendekat. "Beth..kau baik-baik saja?"
Pertanyaan bodoh, batin Sarah. Beth jelas tidak baik-baik saja. Tapi kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya.
Air mata menggantung di ujung mata Beth, yang tampak mati-matian menahan diri untuk tidak berkedip agar air matanya tidak tumpah. Tapi usaha itu gagal. Air mata itu merembes membasahi wajah cantiknya yang bak porselen itu.
Dia meringis dan mulutnya sedikit membuka, tapi yang keluar hanya tangisan.
Butuh waktu sekitar 5 menit untuk diam, sebelum akhirnya Beth mulai perlahan mencurahkan isi hatinya. Sarah dan Lukas hanya duduk diam di samping Beth, memastikan emosi gadis Inggris itu mereda.
Tampak ragu-ragu di awal, Beth menceritakan sumber kemarahan Hans, sebuah kesalahpahaman yang menjadi besar. Kemarahan ini tidak hanya datang sekali. Tapi Beth tampak enggan menceritakan lebih jauh.
Mereka menghabiskan sekitar satu jam di ruangan itu. Menenangkan Beth sekaligus mencoba membiarkannya bercerita lebih banyak, tapi tidak berhasil.
Setelah memastikan Beth sedikit tenang, Sarah dan Lukas memutuskan untuk meninggalkannya sendiri di kamar.
"Jika ada apa-apa, jangan ragu kabari aku ya? Atau..Sarah juga," kata Lukas. Dengan raut wajah khawatir menepuk lembut bahu Beth yang kini tampak ringkih. Sarah mengangguk.
"Terima kasih. Sekarang kalau boleh aku mau sendiri dulu?" ucap Beth.
Sarah dan Lukas berjalan menuju pintu. Lukas berbisik untuk mengingatkan Sarah agar merahasiakan ini dulu pada siapapun agar masalah tak menjadi runyam.
Mereka hampir melompat kaget saat berpapasan dengan Alex di luar pintu. Masih berpakaian olahraga lengkap dengan sedikit cucuran keringat di sudut telinganya.
"Hai? Kalian sedang apa?" tanya Alex dengan raut bingung. Matanya bergantian melihat Sarah, Lukas, dan kamar Hans. Lukas buru-buru menutup pintu kamar itu.
"Uhm..Beth sedang kurang enak badan. Barusan kami bantu cek keadaannya. Tapi eh..sudah enggak apa-apa. Beth sekarang sedang istirahat," ucap Lukas meyakinkan. Alex mengangguk paham, meski air mukanya masih ragu-ragu.
Sarah buru-buru mendorong Alex ke arah kamar mereka. "Ya sudah, jangan ganggu Beth yuk biarkan dia tidur saja. Lebih baik kau cepat mandi, kita lanjut nonton film kemarin? Aku sekalian pesan pizza ya? Kayaknya asyik nonton sambil makan siang!"
Masih dengan wajah bingung, Alex membiarkan dirinya digiring menjauh dari kamar itu.
Lukas mengernyit. Mencoba mencerna apa yang baru didengarnya. "Nonton...memangnya kalian punya TV di kamar?"
Sarah meringis sambil berlalu tanpa menjawab pertanyaan Lukas, menyadari dirinya keceplosan. Ia membatin, sepertinya itu bakal jadi hari terakhirnya menikmati bioskop kamar itu hanya berdua saja sebelum semuanya tahu.
Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommates for 30 Days
Romantizm[21+] (PREKUEL "My Client is My Ex-FWB] Di sela jeda kuliahnya, Sarah menghabiskan waktu selama 30 hari tinggal bersama Alex, laki-laki yang dikenalnya di dunia maya, serta lima orang teman Alex yang lain di sebuah vila di Bali. Tanpa ikatan apapun...