"Sebulan lagi?? Ini aja kamu udah mau sebulan di sana kan?"
Sarah memutar matanya dengan malas. Membiarkan kakaknya mengomel di balik telepon, seperti dugaannya, sementara ia sibuk memerhatikan satu-satu kuku jarinya yang belum dipotong. Beberapa kuku sudah terjejali kotoran. Jelek sekali. Ia mau potong kuku setelah ini.
Sesekali ia memainkan ujung-ujung rambutnya yang dikuncir kuda, matanya mengamati langit. Matahari mulai terik meski masih malu-malu, sembunyi di balik awan. Jam sudah menunjukkan pukul 08.00, tapi langit pagi itu agak mendung.
Sambil membiarkan kakaknya mengomel, Sarah mencoba menghitung hari yang sudah dihabiskannya di Bali. Bahkan sebelum bertemu Alex dan teman-temannya saja, sudah sekitar dua minggu dihabiskannya di sana. Meski begitu, Sarah merasa belum ingin pulang.
"Yah.. maksudnya sebulan lagi kan perkiraan aja. Bisa lebih cepet. Tapi ya, takutnya lebih lama," jawab Sarah ogah-ogahan.
"Awas nanti lupa sama skripsi kamu. Keasyikan main. Di sana juga emangnya tabungan kamu cukup buat sebulan lebih?"
"Kaaak Dina...aku kerja lho. Freelance. Duitnya lumayan buat makan dan jajan. Lumayan juga buat nambah portfolio kerja aku."
"Kamu tinggal di mana? Ngekos? Hotel? Emang uangnya ada buat sebulan?"
Sarah melirik sekitar, memastikan tidak ada siapapun di sekitarnya. Meskipun yakin semua orang di vila tidak ada yang paham Bahasa Indonesia. Kecuali penjaga vila yang cuma mampir sesekali untuk mengecek keadaan.
Dengan ragu-ragu, Sarah bercerita jujur dengan kakaknya bahwa dia tinggal bersama teman-teman barunya dan vila itu dibayari oleh salah satu dari mereka. Dia menceritakannya sambil mendekatkan bibir ke ponsel dan bicara dengan volume suara rendah agar tak didengar yang lain.
"Iya, jadi di sini tinggalnya ramean, kok. Dan ada satu orang temanku yang bayarin...iya, tenang, kak. Ada cewek kok. Cowoknya satu doang malah. Itu juga kayaknya nggak suka cewek," jawab Sarah berbohong, semata agar kakaknya tak cerewet.
"Ya udah. Awas ya aneh-aneh. Kamu jaga kepercayaan kakak. Nanti kalo ada apa-apa kakak yang diomelin mama sama papa."
"Iya beres..."
"Ini juga, gara-gara nggak ada kamu, jadi repot kan kakak mesti kasih makan si Kyo setiap hari. Mana dia makan mulu. Jangan kelamaan di sana."
Sarah menepuk dahinya dan ternganga. Dia baru ingat meninggalkan kucing peliharaannya di rumah tanpa memantau makanannya.
"Astaga, Kyo! Kok aku bisa lupa!"
"Nggak usah pelihara kucing kalo ditelantarin begitu," sahut Dina di seberang telepon.
"Duh pleaseeee kak, aku nitip kasih makan Kyo. Nanti kalo habis makanannya, tolong beliin dulu. Aku ganti duitnya kalo udah di rumah."
"Yaa.. gimana ya, seingetnya aja kasih makannya. Kalo dia ngeong ngeong."
"Yah kaaak. Bantuinn aku dong. Aku ingetin deh setiap hari biar nggak lupa, ya," ucap Sarah panik.
Kucingnya, Kyo, memang seperti harta paling berharga bagi Sarah karena sudah menemani sejak Sekolah Menengah Pertama. Usianya yang sudah sekitar delapan tahun membuat Kyo kini lebih banyak makan.
Suara di seberang telepon hening sejenak, sebelum akhirnya Sarah mendengar suara kakaknya lagi.
"Ehm, sar, tapi bener ya, maksimaal banget sebulan udah pulang," tiba-tiba suara Dina melunak. Merasakan perbedaannya, Sarah menyudahi perhatian pada kuku-kuku jarinya dan mulai menyimak dengan seksama.
"Memang kenapa?"
"Setelah..ngobrol sama keluarganya David, kayaknya kakak sama dia akan nikah Juli, sar. Tiga bulan lagi."
"Hah, Juli? cepat amat??"
"Ya.. gimana, ya. Dari keluarganya dia minta begitu, Davidnya juga setuju. Mama dan papa sih nggak banyak pesan, cenderung ikut aja," ucap Dina. "Makanya, kakak butuh banget kehadiran kamu untuk bantuin. Ya?"
Sarah terdiam sejenak. Merasa sedikit sebal karena mengingat calon kakak iparnya yang menyebalkan itu. Di mata Sarah, David tak lebih dari laki-laki posesif dan ia tak tahu kenapa, kakaknya selalu menuruti kekasihnya itu meski kehidupannya banyak dibatasi.
Padahal bagi Sarah, usia kakaknya yang 25 tahun masih terlalu muda untuk segala dibatasi oleh orang asing yang belum jadi suaminya itu.
Membayangkan bakal menjadi adik iparnya saja sudah membuat Sarah malas dan semakin enggan pulang.
"Sar?"
Sarah berkedip dan bangun dari lamunannya. "Hm.. iya, kak. Aku bantuin, kok."
"Makasih, ya."
"Tapi.. aku kabarin lagi nanti ya pastinya bisa pulang kapan. Boleh kan mikir dulu? Takutnya juga kerjaanku tanggung, nggak mungkin berhenti di tengah jalan," ucapnya, lagi-lagi berbohong. Padahal pekerjaannya bisa saja ditinggalkan karena memungkinkan dikerjakan jarak jauh.
"Iya, nggak apa-apa. Ini kakak bilang dulu aja sejak jauh hari, supaya kamu nggak kaget," kata Dina. "Ehm, kalo gitu, kita ngobrol lagi nanti, ya. Kakak mau siap-siap kerja. Makasih udah ditelepon."
Sarah menutup teleponnya. Hatinya sedikit sedih memikirkan liburannya di Bali mungkin akan segera usai. Padahal dia baru saja memasuki minggu kedua tinggal di vila itu.
Bagian yang paling sedih baginya adalah memikirkan harus meninggalkan orang-orang baru yang menyenangkan itu.
Ah, aku benci perpisahan. Juga pikiran tentang perpisahan, batinnya.
Tanpa disengaja, Sarah mulai memikirkan skenario-skenario bagaimana jika harus berpisah dengan mereka nanti. Terutama dengan Alex.
Bersambung
![](https://img.wattpad.com/cover/351781649-288-k80959.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Roommates for 30 Days
Romance[21+] (PREKUEL "My Client is My Ex-FWB] Di sela jeda kuliahnya, Sarah menghabiskan waktu selama 30 hari tinggal bersama Alex, laki-laki yang dikenalnya di dunia maya, serta lima orang teman Alex yang lain di sebuah vila di Bali. Tanpa ikatan apapun...