Namanya Alex

786 17 0
                                    

Sarah melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah mungil bertuliskan "PURRFECT" pada satu sudut kacanya. Menimbulkan bunyi gemerincing dari hiasan yang tergantung di sudut pintu.

Wewangian aromaterapi kayu langsung menyambutnya dan itulah salah satu hal yang Sarah sukai ketika mampir ke toko suvenir tempatnya bekerja paruh waktu itu. Wewangian khas rumah yang membikin betah.

Pemilik toko itu sangat suka kucing dan punya banyak kucing. Itulah mengapa nama tokonya punya unsur kucing meski bukan toko perlengkapan hewan. Selain aksesori dan pernak-pernik, salah satu lemari didedikasikan pemiliknya, Ayu, untuk aksesori dan makanan kucing.

Tokonya punya hiasan-hiasan bergaya bohemian dan banyak menggunakan furnitur kayu. Toko dengan tampilan yang sama juga dibuka Ayu di dua kawasan turis lain, selain Ubud.

Segera setelah Sarah masuk, Ayu melirik dan menyadari kehadirannya. Ia kemudian buru-buru nenoleh ke jendela di belakang meja kerjanya dan mengintip keluar lewat dinding kaca toko. Memerhatikan sosok laki-laki jangkung berkulit pucat yang beberapa detik lalu mengantarkan Sarah sampai ke depan pintu tokonya.

"Itu sar bule Swedia yang kamu bilang?" tanya Ayu dengan dahi yang mengerut. Tatapannya masih melekat pada sosok itu sampai hilang dari pandangan.

"Iya, mbok," jawab Sarah yang kemudian duduk di hadapannya, sibuk membolak-balik buku catatan penjualan.

"Jadi, udah berapa lama kamu tinggal sama dia? Seminggu ada, ya?"

"Nggak sama dia doang, mbok...orang bertujuh di vila," Sarah menyanggah dengan nada malas.

"Hmm.." Ayu mengangguk sambil nyinyir. "Tapi boboknya sama dia?"

Sarah menghentikan kerjaannya untuk menatap bosnya yang ceriwis itu dengan tatapan yang seolah bicara "mending kau berhenti bicara saja". Tapi sambil menghela napas, yang keluar dari mulutnya hanya satu kata penuh makna.

"Mbok.." ucapnya.

Ayu mengambil napas dalam-dalam, mengumpulkan kata-kata untuk mengomeli gadis muda yang kini duduk di depannya itu. Sarah lalu melanjutkan pekerjaannya lagi.

"Bener, ya?" tanya perempuan Bali 40 tahunan itu. Masih sambil menatap Sarah, ia menyisir jari rambutnya yang tergerai hingga ke pinggang. Tampak cantik dengan jepit kembang yang diselipkan ke sudut telinga kanannya.

Sarah diam saja, pura-pura tidak dengar. Ayu tak peduli.

"Sar, nih mbok kasih tahu. Punya pasangan bule itu susah. Berat. Yah, kalo temen doang nggak masalah, kalo pasangan susah. Mana ini bule jauh banget rumahnya, budayanya beda jauh... Mbok bicara pengalaman, nih."

"Aku nggak pacaran sama dia, mbok..."

"Ah, anak sekarang," Ayu menggelengkan kepalanya. "Mbok tau sih seusia kamu lagi senang, hepi-hepi. Tapi mbok ingetin aja, nih. Awas nyesal deh, bener... Amit-amit kamu hamil, dia tinggal balik ke negaranya yang jauh banget itu."

"Ih, nggak lah, mbok! Kan....kita hati-hati."

"Hih..." Ayu mencibir. "Jangan ngeluh-ngeluh ke mbok nanti kalau ada apa-apa."

Sarah merengut. "Ah, mbok sendiri kawinnya sama bule."

"Lho, beda. Suami mbok orang Australia, dekat sama Indonesia. Lagian makanya mbok bicara "pe-nga-laman"," katanya sambil mengeja dan menekankan kata terakhir. "Mbok sama bule udah sering."

Sesaat mereka terdiam karena salah satu kucing menghampiri Ayu. Seperti biasa, Ayu memperlakukan kucing-kucingnya seperti anak kecil yang paham bahasa manusia. Dia mengajak kucing-kucing itu ngobrol dengan nada suara yang digemas-gemaskan. Sebagai sesama pencinta kucing Sarah tak memandang kelakuan itu aneh. 

Roommates for 30 DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang