Masih Kelas Sepuluh

10 4 0
                                    

Ganya berdehem ringan, memeriksa pintu lobby dengan gelisah. Di lehernya terkalung sebuah ID Card yang menunjukan identitasnya sebagai "Ketua Ekstrakulikuler Jurnalistik". Ia memeriksa ponselnya menggunakan tangan kiri. Secepat kilat mencari-cari kontak teratas yang ada di WhatsApp-nya. Kak Gempita, begitu yang tertera di kontaknya, mengirimkan beberapa pesan untuknya. Namun belum ada yang terbalas.

Ganya tak membuka obrolan itu, tetapi langsung menekan foto profilnya, kemudian menekan simbol telepon. Ada nada terhubung yang terdengar, tetapi belum diangkat oleh si penerima. Setelah dicoba untuk kali kedua, barulah telepon tersambung.

"Halo, Nya?"

"Kak, sudah sampai mana?" Ganya bertanya dengan gelisah. Berulang kali ia memeriksa jam tangan digitalnya. Ia sekali lagi melirik ke arah pintu. "Masih di jalan, Kak?"

"Iya, bentar ya. Masih kejebak macet. Acaranya sudah mulai, kah?"

"Hampir mulai. Kak Widya maunya tunggu Kak Gempita. Tapi masalahnya guru-guru sudah mulai rewel karena acaranya jadi molor."

"Heum, oke-oke. Sampai ketemu di sana, ya."

Tanpa ada sepatah kata sempat terucap, panggilan terputus. Ganya menarik ponselnya dengan kerutan di dahi. Layar ponselnya memampang durasi panggilan mereka; tiga puluh detik, tak ada satu menit. Ganya menghela napas, kini yang bisa ia lakukan hanyalah berharap supaya Kak Gempita tidak datang terlalu lama. Bisa habis dirinya dan panitia lain kalau acara hari ini molor.

Selang dua puluh menit, Ganya mendengar suara ramai-ramai dari arah parkiran. Ketika ia tengok, Kak Gempita berjalan menuju ke lobby sekolah dengan mengenakan pakaian formal dipadukan almet universitasnya. Kak Gempita berjalan seorang diri. Di bahu kanannya tersampir tas berukuran sedang. Sedangkan tangan kiri Kak Gempita penuh membawa i-pad. Melihat Ganya sudah melirik-lirik dari lobby, Kak Gempita mulai melambaikan tangan.

"Hai, maaf lama!" sapa Kak Gempita, bersama tepukan yang agak kencang di bahu kiri Ganya.

Ganya langsung membalikan badan dan mengimbangi langkah Kak Gempita. "Masalahnya ini lamanya kebangeten," gerutu Ganya. Mereka berbelok ke lorong menuju ruang guru. Menurut petunjuk ruangan, bila mereka meneruskan langkah maka akan tiba di aula sekolah.

"Aduh, ya namanya juga anak kuliah pasti banyak sibuknya. Harusnya Widya ingat keretaku baru tiba jam sebelas tadi, jadi nggak bisa datang lebih awal." Kak Gempita melakukannya sembari memeriksa jam yang melingkar di tangan kirinya. "Siapa lagi yang datang selain aku sama Widya?"

"Kak Rashi juga datang, tadi barengan sama Kak Widya. Perwakilan dari Unair cuma kalian bertiga."

Kak Gempita mengangguk paham. "Oke oke."

Sepanjang mereka melangkah, semua mata tertuju kepada Kak Gempita. Mungkin lebih tepatnya pada almet yang dikenakan Kak Gempita. Warnanya memang tak sebegitu mencolok, tetapi semua orang tahu bila memperhatikannya lebih seksama.

Begitu mereka memasuki aula, sudah banyak stand yang ramai pengunjung. Salah satunya adalah stand untuk Universitas Airlangga yang bernomor 04. Di bagian pinggir kanan dan kiri aula terdapat sebuah banner yang bercetak "Faculty Fair 2024: Preparing Your Future Right Now". Seorang pembaca acara tengah bersilat kata, membawakan acara dengan meriah. Walaupun sedikit orang yang menaruh dengar, suara mereka bagaikan pelengkap acara hari ini. Sebab tanpa suara dari pembaca acara, acara hari itu akan berjalan sangat membosankan—lebih seperti kelas bimbingan yang dipenuhi keingintahuan dan persaingan.

Keberadaan Ganya terdesak hingga ia harus menunggu di dekat pintu masuk aula. Kak Gempita sudah bergabung bersama Kak Widya dan Kak Rashi yang kewalahan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari tiap siswa.

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang