Di Lorong Kecil di Ibukota

10 4 0
                                    

Sonia, panggilan wanita itu. Badannya sintal, acapkali memamerkan tubuhnya dengan balutan baju yang ketat. Banyak yang memuji fisiknya yang rupawan itu. Apalagi dengan anugerah garis wajah yang tegas dan bibir yang merona tanpa diberi gincu. Ia senang berdendang di tempat-tempat nakal yang ada di lorong-lorong kecil di Ibukota. Pekerjaannya berpindah-pindah. Tak menentu dalam sepekan berdiang di tempat yang sama. Tiap kali dirinya berkunjung, para lelaki akan bersiul ria menuntut perhatiannya. Namun Sonia kerap acuh. Bila bukan urusan pekerjaan, lebih banyak ia hiraukan lelaki yang berkeliaran di sekelilingnya.

Malam itu Sonia dipanggil untuk datang ke pinggiran kota, menjadi tamu semalam untuk sebuah klub malam kelas menengah yang terkenal di daerah itu. Beberapa kali ia memeriksa ponsel, tetapi tak ada pesan baru di beranda WhatsApp-nya. Sonia memilih menunggu di lobby klub sembari membakar seputung rokok. Ia bersandar pada salah satu pilar lobby, beberapa kali mengisap rokok, sembari mengirimkan pesan untuk seorang yang bernama 'Luka'.

'Luk
Sore besok ngopi, ya
Gue lagi pengen istirahat'

Setelah selesai mengirimkan pesan itu, Sonia kembali memasukkan ponselnya ke dalam tas kecil yang ia selempangkan di bahu. Kali ini matanya mencari tahu tamu-tamu yang datang malam ini. Kebanyakan datang berpasang-pasangan, berjalan dengan pelukan mesra di pinggang, lalu melenggang masuk untuk bergabung ke dalam pesta. Sonia masih di lobby, sering memeriksa pandang ke arah pintu klub, lalu menghela napas bila orang yang muncul tak sesuai. Saat rokoknya hampir habis, ia melemparnya ke bawah, dan menginjaknya menggunakan kaki kanan.

"Sonia, ya?"

Kedua alis Sonia mengernyit. Ia membawa pandangannya ke depan, lalu saliva ia telan sedalam-dalamnya. "Berengsek, ngapain lo di sini?"

"Gue yang sewa lo malam ini, untuk senang-senang pastinya. Lo masih suka bir, kan?"

Saat tangan lelaki itu berusaha meraih bahunya, Sonia lantas mengelak. Kemurkaan benar-benar membingkai wajahnya. "Balik ke keluarga lo! Istri lo di rumah, kan? Kalau nggak, cari orang lain. Gue nggak sudi wasting time sama laki-laki berengsek."

Sonia berusaha melenggang pergi meninggalkan klub itu tetapi pergelangan tangan kirinya dicekal dengan segera. "Profesional, Sonia. Gue sekarang datang sebagai klien."

Kedua mata Sonia mendelik mendengarnya. "Gue bahkan nggak peduli lo itu klien gue, Thom. Asal lo tau aja ya, sejak lo mengkhianati gue maka otomatis gue nggak mau berurusan lagi sama lo. Laporin aja gue ke Nyonya kalau emang lo merasa dirugikan, tapi jangan harap gue bakal ngerendahin ego gue demi lo."

Tudingan Sonia tepat terarah di dada kiri Thomas. Pria itu menghela napas pelan. "Gue nggak minta lo terjun di dunia malam seperti ini. Jadi jangan menyudutkan gue karena pilihan yang udah lo buat."

Sonia tertawa sinis mendengar pernyataan Thomas. Ia mengusak rambutnya ke belakang, lalu memalingkan muka. Beberapa saat kemudian, ia kembali melihat Thomas tetapi dengan alis yang saling bertaut. "Modal nikah lo bawa kabur buat bantu usaha bokap lo yang bangkrut. Usaha yang udah gue rintis bertahun-tahun, lo buat bangkrut karena ternyata selama ini lo nunggak pembayaran motor, dan mengatasnamakan gue. Habis itu, lo tiba-tiba pergi nggak ada kabar dan  beberapa bulan setelahnya gue dengar kalau lo udah nikah. Jadi di sini siapa yang berengsek, Thom? Gue harus jual diri seperti ini karena semua uang yang gue miliki udah habis lo ambil. Sekarang mau lo apa? Mau hancurin gue sekali lagi? Mau koar-koar tentang seberapa menjijikannya gue setelah lepas dari lo gitu? Atau lo mau bunuh gue sekarang, hm? Ngomong! Jangan diem aja, Thom!"

Thomas tak berkutik saat Sonia mendorong tubuhnya dengan kencang. Seakan tubuhnya lunglai, Thomas hampir saja jatuh bila tidak ditahan oleh pilar di belakang punggungnya. Pandangannya nanar.

"Gue menikah itu pun terpaksa, Son, karena kesalahan gue sendiri."

"Terus gue mau ngapain? Pura-pura terharu dan berharap masih ada cinta buat gue di dalam hati lo gitu? Mimpi lo, Thomas!"

Sesaat sebelum Sonia meninggalkan klub, Thomas berseru, "Gue cari lo berbulan-bulan ini buat memastikan kalau lo baik-baik aja. Kehidupan pernikahan gue berantakan, Son. Ibu dan Bapak pun sakit-sakitan waktu tahu kita nggak jadi nikah."

Sonia memalingkan badannya, senyumnya terukir, dan ia melayangkan jari tengah untuk Thomas. "Sounds good, Thomas. Itu yang namanya karma."

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang