Kota Kelahiran Kembali Dikenang

10 3 0
                                    

Aku tak pernah bermimpi akan mendapatkan kisah romansa yang menarik selama menyandang gelar sebagai murid SMA. Acapkali aku melabuhkan hati, tetapi selalu saja berakhir gagal. Kalau bukan cowok yang kusuka tak memberi respons serupa, ya setidaknya aku hanya teman bosannya saja—lalu ketika sudah ada calon pacar yang baru maka dia akan meninggalkanku. Itu sebabnya aku selalu muram bila teman-temanku mulai membahas soal pacaran. Bahkan sahabat yang berikrar akan menyandang gelar sebagai 'jomlo rupawan' bersamaku pun pada akhirnya juga menanggalkan gelar itu. Dia berpacaran dengan anak kelas seberang. Setiap kali aku menyindir ikrarnya yang telah lalu, maka ia hanya menjawab, "Namanya juga hidup. Kadang yang dikatakan juga berubah. Kalau pejabat saja mampu melakukannya, kenapa kita tidak? Lain kali lupakan juga ikrar itu, ya! Jangan sampai beneran menjomlo sampai lulus SMA!"

Aduh, seandainya semudah itu!

Sebenarnya aku juga memiliki orang yang kusuka—atau mungkin kukagumi?Dia adalah kakak kelasku, dulunya tergabung dengan ekstrakulikuler yang sama denganku. Sebenarnya aku juga tidak tertarik padanya pada awal bertemu. Dia terlihat biasa-biasa saja, tidak begitu menonjol, dan kerap kali mengganggu teman-teman satu ekstrakulikulerku dengan alasan bosan. Namun dibalik tingkah menyebalkannya, dia punya segudang prestasi yang mampu membawa mulutku menganga setiap mukanya terpampang di feeds Instagram. Prestasinya tak main-main juga, sering tembus internasional. Memang tidak main-main pandainya!

Mungkin itulah alasan pertamaku menjadi lebih penasaran tentangnya. Sebatas itu saja, tidak harap akan lebih. Toh, mana mungkin mau denganku? Dia dan aku bagaikan bumi dan langit. Namun balik lagi, namanya manusia omongannya selalu berubah, aku memberi makan rasa penasaranku terus menerus hingga menimbulkan gejolak-gejolak aneh di dalam dadaku. Rasanya ada sebuah desiran hangat yang membawaku mengudara bila mendengar namanya. Dan aku tidak sebodoh itu tentang kondisiku saat ini. Apalagi kalau bukan mabuk kasmaran— dengan orang yang bahkan aku sendiri tidak tahu cara menggapainya.

Walaupun perasaan ini pada akhirnya juga kembali sirna tanpa ada awal, aku pernah memiliki beberapa momen membahagiakan dengannya. Saat ada pameran sekolah, kebetulan aku dan dia berada di satu proyek. Jelas hal pertama yang kuperiksa namanya—Dimitri, lalu baru namaku, dan kejutannya namaku berada di atas namanya. Berkat kejutan hari itu, aku hampir melewatkan makan siang. Sibuk berhalusinasi mengenai hal-hal yang bisa terjadi karena kami berada di proyek yang sama. Tidak cukup sampai di situ, otakku yang sudah konslet ini malah memiliki ide untuk mengiriminya surat.

Sayangnya, hal memalukan itu benar-benar kulakukan. Pada hari pertama pertemuan proyek, aku datang lebih awal untuk memastikan dapat duduk di dekat jendela. Omong-omong kami akan mengerjakannya di salah satu ruang kelas yang berada di lantai bawah. Belum ada anggota yang datang karena memang aku sengaja datang satu jam lebih awal. Untuk membunuh waktu, aku memilih menempati kursi yang sudah kuidam-idamkan, membawa ponselku tergamit di antara kedua tangan, dan mulai menggulir beranda Instagram. Lumayanlah dapat informasi tentang apa saja yang tengah terjadi di sekitar. Ada juga beberapa unggahan yang berkali-kali mengundang komentar dariku. Ada sekitar sepuluh menit bagiku untuk menyelam di Instagram. Kegiatanku itu kemudian terganggu sebentar karena aku mendengar pintu ruang kelas dibuka.

Luar biasa. Siapa sangka bahwa orang kedua yang tiba adalah Dimitri Sena? Dia datang dengan mengenakan kaos oblong hitam, celana jeans berwarna navy, dan membawa tas punggung kecil berwarna hitam, ketika tak sengaja melirik ke bawah pun aku melihatnya hanya mengenakan sandal saja. Dia tampak canggung. Tatapannya tak bisa fokus pada satu hal, mencoba berkeliaran memburu semua hal yang ada di dalam ruang kelas, apapun kecuali memandangku.

"Baru sedikit yang datang," gumamnya untuk menghilangkan kecanggungan yang sebenarnya ia ciptakan sendiri. Dimitri mengambil duduk di dekat papan tulis. Tanpa berniat menghadap ke arahku, ia bergumam sembari mengeluarkan peralatan lukisnya.

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang