Mungkin semua orang berpikir bahwa pelepasan adalah momen dimana kita dapat merayakan keberhasilan dan merasakan kebersamaan yang terakhir kali. Semua orang akan berlomba-lomba berpenampilan menarik, tak peduli berapa uang yang harus dikeluarkan. Sebab hari yang spesial itu harus dirayakan dengan sebaik-baiknya.
Selama dua pekan lalu, teman-temanku mengajakku pergi berbelanja untuk mempersiapkan prompt night. Setelah selesai berbelanja, kami memutuskan untuk mampir ke studio foto untuk mengabadikan kebersamaan kami. Kami tak ingin menyia-nyiakan waktu yang semakin menipis. Perpisahan terus mengejar kami. Mau meminta untuk terus bersama pun nyatanya tak mungkin, sebab kami akan berkuliah di daerah yang berbeda.
Pelepasan adalah momen terakhir di masa SMA. Puncak yang tak tahu harus disikapi dengan bahagia atau muram. Bahagia sebab telah tiba masanya pendewasaan diri. Sedih sebab berpisah dari teman-teman yang telah mewarnai masa putih abu.
Sebelumnya aku juga berpikir bahwa pelepasan harus kurayakan dengan gembira. Namun pikiran itu berubah ketika aku mendengar kabar bahwa kondisi Sean— cinta pertamaku— semakin kritis. Sejak kecelakaan yang menimpanya di Singapura, Sean jatuh koma dan belum sadarkan diri hingga saat ini. Tepat semalam sebelum pelepasanku, aku mendapatkan telepon dari Selena— sahabatku sekaligus sepupu Sean— terkait kondisi Sean.
“Halo, Selena?"
"Era, sudah dengar kabar Sean? Kondisinya terus memburuk. Kami tidak tahu sampai kapan ia akan bertahan. Bisakah kamu ke Singapura secepatnya?"
"Aku... aku tidak berani menemui Sean."
"Perpisahan kalian yang menyakitkan itu harus diselesaikan dengan segera, Era. Sean bertahan karena ia merasa bersalah kepadamu. Ia telah mengecewakan kasih yang kamu berikan kepadanya dan meninggalkanmu begitu saja. Tuhan telah menghukumnya hingga seperti ini, apakah itu belum cukup? Sampai kapan kamu akan menyiksa Sean, Era?"
"Selena, bukan itu maksudku! Aku tak pernah mengharapkan Sean menerima celaka. Setiap hari aku terus mendoakan keberhasilannya, bukan musibah."
"Kalau begitu temui dia, Era. Sean sudah menunggu."
"Belum waktunya, Selena. Di dadaku masih tersimpan sakit yang ia berikan. Di benakku masih terputar kata-kata perpisahannya. Ia tak ingin menemuiku lagi, Sel. Aku hanya melakukan apa yang ia inginkan. Sebaiknya memang tidak kutemui. Mungkin yang dia rindukan adalah Sina sahabatnya."
"Baiklah, renungkan dulu keputusanmu sebelum terlambat. Walaupun kamu berpikir demikian, Sean sendiri sempat mengatakan kepadaku kalau ia selalu merindukanmu. Setiap hari dia berdoa dan meminta maaf kepada Tuhan atas perlakuannya kepadamu. Ia memohon satu kesempatan untuk bertemu denganmu."
Bujukan Selena menghantuiku selama berhari-hari. Pelepasan tak bisa kujalani dengan gembira. Di benakku terus berputar kata-kata Selena dan kesangsianku padanya. Kata-kata Sean sebelum keberangkatannya ke Singapura pun semakin melarutkan perasaanku dalam kegelisahan. Ia dulu berkata, "Kita tidak boleh bertemu lagi, Era. Sudah saatnya untuk sadar bahwa kita memang tak bisa melanjutkan hubungan. Aku tak ingin mendengar hinaan dilontarkan kepadamu. Aku juga tidak ingin membawamu dalam kesulitan karena beban yang ada di pundakku saat ini. Aku kehilangan keluarga, harus hidup dalam bayang caci makian orang lain atas tuduhan yang mereka berikan kepada orangtuaku. Kamu tidak boleh menerimanya, Era. Sudah saatnya untukmu bersinar dengan cemerlang, bukannya digerogoti kegelapan bersamaku. Suatu saat kamu akan paham, Era. Aku melakukan ini karena menyayangimu."
Nyatanya perkataan Sean yang selalu menjadi alasanku menolak berkunjung ke Singapura kuhiraukan. Tepat sebulan setelah pelepasan, aku mengambil penerbangan ke Singapura bersama Sina. Aku melihat Sean terbaring, tertidur dalam kenyamanan sampai tak ingin bangun, dan kabel-kabel medis yang berseliweran di tubuhnya.
Aku memegang tangannya. Tak kusangka aku bisa menggenggam tangan ini lagi. Kupandang wajahnya yang sudah setengah tahun tak kulihat. "Halo, Sean. Maafkan aku karena melanggar perkataanmu. Aku nekat datang ke mari karena hatiku terus diburu oleh kegelisahan. Bila memang kamu ingin bertemu denganku, bukalah matamu. Katakan apa maumu. Aku tidak akan memaksa tentang apa pun. Kau dengar, Sean?" Hanya suara monitor yang kudengar sebagai sahutan. "Tanpa perlu mengucap maaf pun aku tahu kamu tak serius mengatakannya. Kamu melakukan itu untuk kebaikanku. Maksudmu tidak jahat, Sean. Karena itu bangunlah! Semua orang menunggumu, Sean."
Ternyata bujukanku tak mempan bagi Sean. Tepat malam harinya, Selena mengabari kalau Sean telah mengembuskan napas terakhirnya. Aku langsung berlari keluar dari hotel tempatku menginap dan memanggil taksi untuk mengantarku ke rumah sakit. Di sanalah aku menemukan semua orang sedang menangis. Sean meninggalkan kami untuk selama-lamanya.
Semua pelepasan selalu berakhir dengan kesedihan. Aku tak senang mendengar kata itu sekarang. Bagiku pelepasan adalah siap kehilangan seseorang. Pelepasan tidak akan mengawali apa pun. Hanya ada hubungan yang berubah atau berakhir. Bahkan pelepasan yang sementara pun, akan mengubah sesuatu dalam hubungan— yang mungkin tak begitu signifikan, tetapi akan terasa bedanya bila bertemu kembali.
Sampai hari ini setiap kali seseorang bertanya 'Bagaimana masa putih abumu?', kontan yang pertama kali terlintas dibenakku adalah Sean. Segala gembira yang ada di SMA berhasil tertutup oleh kehilangan. Sean menjadi nama yang selalu terlintas dibenakku setiap aku melamun. Sean adalah mimpi paling menggembirakan untukku, sekaligus mimpi terburuk yang terus menghantuiku.
Aku hanya bisa menjalani hidup dengan berdamai dengan kehilangan yang kurasakan. Setidaknya aku merasa lega karena Sean tidak perlu merasakan sakit lagi. Ia telah terbebas. Tidak ada lagi beban yang perlu ia tanggung. Di suatu tempat yang jauh di sana, aku yakin Sean tengah menikmati kebahagiaan yang tak tersedia untuknya di dunia ini.
Memang sulit mengikhlaskannya, tetapi sudah saatnya aku belajar menerima kehilangan ini.
Terima kasih atas segalanya, Sean.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Tak Selamanya Abadi
Short Story[Kumpulan Cerpen] Manusia tidak bisa hidup tanpa cinta. Di setiap kali ia melangkah, maka akan ada cinta yang ia berikan kepada seseorang atau sesuatu. Ada saatnya, cinta itu pergi sesaat dari kehidupan manusia karena telah tuntas tugasnya. Di saat...