Buruk Lahir dari yang Semula Baik

12 4 0
                                    

Kisah ini berasal dari masa mudaku dahulu. Salah satu kenangan yang ingin kulupakan, tetapi nyatanya selalu mampir sebagai mimpi burukku di kala malam. Sakit hati yang masih terbawa hingga kini ditimbulkan oleh orang yang teramat aku cintai.

---

Saat baru lahir, aku diberi nama Suhita. Tampaknya Bapak dan Ibu terobsesi dengan Dyah Suhita, salah satu ratu ternama dari Majapahit. Inginnya kedua orang tuaku, aku bisa setangguh dan sepandai Suhita. Dalam naungannya, ia mampu memimpin dengan penuh kebanggaan. Itulah diinginkan kedua orang tuaku. Biarlah aku menjadi wanita mulia yang bisa memimpin dalam keluarga maupun masyarakat. Ada mungkinnya, Bapak dan Ibu ingin anak perempuannya ini berprofesi sebagai anggota dewan rakyat. Arti namaku selalu menjadi wejangan yang kuterima sebelum tertidur lelap. Kadang kala Ibu datang ke kamarku, mengusap-usapku dengan penuh kasih, lalu berujar, "Suhita, besarlah seperti namamu. Dialah wanita agung yang dicintai rakyatnya, begitu pula dirimu kelak."

Doakan, Bu! Suhita juga inginnya begitu. Jadi perempuan yang bisa memimpin, bukan hanya dipimpin. Sekarang bukan zamannya lagi patriarki. Wanita dan pria itu setara. Masyarakat pasti bisa menerima paham ini. Buktinya, Bapak dan Ibu juga sudah menerapkan ini. Kalau Ibu mencuci pakaian, Bapak juga andil membantu. Urusan beberes jadi keprihatinan sekeluarga, bukan hanya Ibu dan Suhita saja. Perkara memasak, Ibu juga ajarkan kepada Mas Tara.

Astaga, aku belum mengenalkan kalian dengan Mas Tara. Dia kakak laki-lakiku, satu-satunya saudara sekandung. Mas Tara lebih tua empat tahun dariku, tetapi tidak membuat kami punya jarak pembatas. Topik yang kami bicarakan juga berkaitan. Mas Tara juga tidak pernah mengurangi interaksi karena alasan "isin wis gede" atau karena tuntutan kekasihnya supaya menjaga hati.

Mas Tara selalu membanggakanku seolah akulah kebanggaan terbesarnya. Pada teman-temannya, Mas Tara selalu bercerita tentang diriku yang katanya rajin, telaten, penyayang, dan humoris. Kalau aku punya prestasi di sekolah, Mas Tara juga orang pertama yang membanggakanku ke seluruh orang. Dua tahun lalu saat aku terpilih menjadi perwakilan dalam siswa teladan, Mas Tara akan menjadikanku topik pertama dalam setiap obrolannya. Bapak penarik becah dan Ibu penjual sayur pun jadi kenal aku karena mendengar cerita dari Mas Tara. Kadang aku jadi malu sendiri karena merasa hal itu tidak semembanggakan itu sampai harus diceritakan pada orang-orang satu kampung.

"Namanya prestasi itu diawali dari yang kecil. Kalau tiba-tiba kamu jadi model sampul Majalah Gadis padahal nggak ada punya pengalaman dan buta soal tren, barulah Mas Tara cemooh kamu," sanggah Mas Tara tiap kali aku protes. Dengan putung rokok yang sudah habis separuh, Mas Tara menatapku kebingungan. "Apa Mas Tara kurang membanggakannya, ya? Harusnya juga bancaan waktu kamu menang siswa teladan itu," celetuknya, ingin memperkarakan lebih besar.

Aku hanya memutar mata, mulai jengah dengan pemikirannya tentang "membanggakan Suhita ke semua orang". Waktu dengar Mas Tara mengucapkan itu, Bapak sampai tertawa terpingkal-pingkal. Aku dipanggilnya mendekat, lalu ditepuknya pundakku cukup seru. "Masmu itu beneran bangga sama kamu, Nduk. Taunya cuma banggakan adiknya yang cantik dan pinter ini. Sudah, jangan rusak kebahagiaan masmu," ucap Bapak setengah bergurau.

Itulah Mas Tara. Selain itu, dia juga bisa jadi guru yang serba tahu. Aku sering menanyakan hal-hal acak kepadanya dan semua terjawab. Contohnya, aku pernah bertanya soal dampak buruk kedatangan kendaraan bermotor di ibukota. Mas Tara menjawab dengan santai, "Jakarta kalau diisi sama motor-motor itu, jangan heran kalau baunya nggak sedap. Bau asap mesin. Pandangan juga belum tentu jernih kayak sekarang. Apalagi suara kendaraannya, orang tidur di rumah paling pojok pun bisa dengar kalau tengen."

Mas Tara juga tahu menahu soal cinta. Aku sering menanyainya bila tergugah rasa penasaranku. Pernah suatu kali aku merasa cemas dengan hubungan asmaraku sendiri. Teman-teman sebayaku setidaknya pernah merasakan menjalin asmara, sedangkan aku tak pernah sama sekali. Kadang ingin mencobanya tetapi entah mengapa tak pernah berjodoh dengan seseorang. Jelas cemas diriku ini, takut kesendirianku terbawa hingga aku dewasa nanti. Itu sebabnya kadang aku merenung di teras rumah.

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang