Tiket Sekali Tonton

7 3 0
                                    

"Eh, halo! Sar, di sana toh kamu?"

"Eh iya, halo." Aku menurunkan kedua kakiku, kubiarkan bergelantung. Tangan kiriku menjadi tumpuan tubuhku, sementara tangan kananku digunakan untuk menggenggam ponsel.

Aku melirik ke jam dinding—sudah pukul sebelas malam. Bukan waktu yang baik untuk bertelepon.

Aku dengar lawan bicaraku di seberang sana batuk-batuk sebentar. "Jadi gini, Sar. Kebetulan kemarin itu aku dipasrahi tiket nonton The Nun II milik Bang Sada. Harusnya besok itu Bang Sada nonton sama temennya, jadi gagal total gara-gara temennya sakit. Aku juga nggak bisa nonton karena udah ada janjian sama temen sekelasku. Kalau Mas Sastra—ya taulah gimana orangnya—mana doyan nonton kayak begitu. Gimana, mau nonton nggak?"

Mengernyit dahiku, agak dibuat heran. Sebenarnya aku juga ada wacana ingin menonton film The Nun. Curi-curi dengar dari Dhara—sahabat masa kecilku, katanya film itu bagus. Sebenarnya aku berencana nonton sama Dhara, tetapi anaknya selalu sibuk. Maunya menonton di akhir pekan, sedangkan orang tuaku sepertinya akan sulit memberi izin karena bertepatan hari kepulangan Ayah. Mungkin ada baiknya aku tanya dulu untuk jadwal kapan, kalau aku bisa mengapa tidak mengambilnya?

"Kapan tepatnya, Ndra?"

Kalandra bergumam. "Hari Jumat... pukul lima sore. Bagaimana?"

Jumat. Jam lima sore. Aku langsung meluncur ke meja untuk memeriksa kalender duduk. Semua jadwalku aku tulis di sana. Hari Jumat besok kebetulan kosong. Aku menegakkan tubuh kembali, menghadapkan diriku ke arah tempat tidur. "Kosong sih, Ndra. Hanya satu tiket, ya?"

"Sayangnya, iya. Maaf banget, Sar. Sebenarnya ada dua tiket, tapi sama Bang Sada diambil satu, nggak tau buat siapa." Aku dengar Kalandra berdecak, lalu menghela napas pelan. "Takutnya kamu nggak kenal sama orang yang bakal dapat tiketnya Bang Sada, jadinya kan canggung nanti. Makanya aku ragu mau menawarkan ke kamu, Sar. Semisal nggak bisa nggak jadi masalah, Sar. Emang Bang Sada resek banget, nyuruh-nyuruh aku nawarin tiket."

Sudah kuduga ini akal-akalan Bang Sada! Aku tahu betapa reseknya dia, apalagi kalau soal mengerjai Kalandra. Dia sering mengeluh kepadaku dan berharap ada pengadaan tukar-tambah kakak. Walaupun Sadajiwa itu baik, tetapi bukan berarti tidak menyebalkan. Lebih dari setengah sifatnya itu menyebalkan.

"Ah, kayaknya bisa sih. Nggak masalah juga kalau hanya sendiri. Nanti aku paksa Dhara buat mengantar. Dia paling juga free, kok."

Kalandra bernapas lega. "Makasih banyak, Sar. Tiketnya aku beri besok, ya. Nggak usah dibayar, kata Bang Sada anggap aja traktiran ulang tahunnya."

"Oke, oke."

•••

Kalandra sudah memberikan tiket kepadaku pada hari Kamis. Sesuai dengan kataku kepada Kalandra kemarin, aku berhasil memaksa Dhara untuk mengantarkanku ke bioskop. Biar Dhara terlihat punya pekerjaan, toh kalau mengadu ke orang tuanya juga tidak akan memarahiku. Kami berangkat menggunakan motor.

"Biar nggak kehalang macet," sungut Dhara saat melungsurkan helmnya kepadaku. Ia sedikit tidak santai ketika mengendarai motor, sepertinya memang terpaksa untuk mengantarkanku, atau suasana hatinya yang sedang jelek. Entahlah, aku juga tidak bertanya karena tahu akan membuatnya semakin kesal.

Walaupun Dhara terlihat terpaksa, nyatanya ia tetap memarkirkan motornya. Sambil melepas helm kulempar pertanyaan kepadanya, "Dhar, kamu nggak terpaksa nih? Aku bisa masuk sendiri, kok. Kamu nggak usah nganter aku ke dalam."

Dhara menggeleng dengan bibir yang sedikit memberenggut. "Udah terlanjur parkir juga," jawabnya dengan asal. Dhara memastikan kunci motornya sudah tersimpan dengan aman sebelum menarik tanganku untuk segera jalan. "Ayo! Filmya keburu mulai entar," alibinya, dan aku percaya saja.

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang