Di Laut Samudra

14 4 0
                                    

Asal mulanya, aku kerap datang ke pantai di belakang rumah Nenek untuk menikmati pemandangan sore. Pantai itu tidak dibuka untuk umum. Sering menjadi pantai pribadi untuk para anak-anak desa bermain atau untuk melaksanakan upacara adat. Nenek kerap pergi ke bibir pantai setiap menjelang subuh, sembari membawa satu kendi air, dan melarung isinya ke laut. Kata Nenek, kendi itu berisi air dari pompa di rumah. Sebelum membuangnya ke laut, Nenek akan mendoakannya terlebih dahulu.

"Buang sial, Ya." Nenek menepuk pundakku. Senyumnya cerah, tak kalah bersaing dengan mentari di ufuk barat. "Nenek berharap kesialan terlarung semua di laut. Rumah kita hanya akan ditinggali oleh keberkahan saja."

Aku hanya tersenyum kecil mendengar jawaban itu. Kebiasaan Nenek terlihat aneh di mataku. Sebagai orang kota yang hidup dipengaruhi modernisasi, kebiasaan buang sial khas Nenek seperti sebuah ritual aneh.

Setiap melihat Nenek pulang dari pantai, aku selalu menghela napas pelan. Kurasakan perubahan pada sikap Nenek tiap paginya. Nenek akan menjalani hari dengan lebih tenang dan bijaksana. Bahkan bila seorang pencuri membobol warung Nenek untuk mengambil uang di kasir, Nenek hanya membalasnya dengan senyuman, dan tidak berniat memperkarakannya ke perangkat desa. "Tuhan tahu kita 'berlebih', maka diberi kesempatan untuk membagikan sedikit harta untuk yang 'berkekurangan'. Tidak perlu memperkarakannya."

Itulah sebab aku senang dengan Nenek. Pemikirannya luas, berhati mulia, juga tak banyak memperkarakan pemikiranku yang berbeda. Orang tua pun tak bermasalah bila aku memilih menghabiskan waktu liburku di rumah Nenek. Sampai ketika Nenek telah berpulang, aku masih kerap mengunjungi rumah Nenek.

Kendi air itu tak pernah lagi tersentuh orang. Namun tak ada yang berani membuang kendi air milik Nenek itu. Aku masih kerap melihat kendi air itu menganggur di pojok halaman, sudah menjadi sarang semut. Entah mengapa, kendi itu mengingatkanku kepada Nenek yang selalu rajin membersihkannya sebelum melakukan kebiasaan membuang sial itu. Ketika tak ada seorang pun berpikir untuk membersihkannya, aku memungut kendi air itu, membawanya ke belakang untuk menyucinya hingga bersih.

"Saya, Nenek tak masalah bila suatu ketika tak ada lagi yang berusaha membuang sial dari rumah ini. Namun bila Nenek telah pergi suatu saat nanti, tetap bersihkanlah rumah ini. Bagaimanapun, di rumah inilah leluhurmu berasal. Ibu yang kamu cintai itu lahir dalam balutan hangat rumah sederhana ini. Juga sering Nenek bawa melarungkan sial di laut. Bila rumah ini dibersihkan, begitu pula perabotannya di dalamnya, begitu pula kendi air yang Nenek miliki."

Ucapan Nenek kembali terngiang-ngiang di telingaku. Sesuai pesan Nenek, rumah ini telah bersih. Perabotannya pun kami rawat, tak ada lagi senoda debu hinggap di antara sela-selanya. Hanya saja, cucumu ini lupa bahwa kendi air ini juga bagian dari rumah kesayangan Nenek.

"Sudah terlambat ya, Nek?" gumamku sambil memeluk kendi air itu.

"Saya, namamu itu sangatlah istimewa. Nenek yang memberimu nama itu, mengingatkan Nenek kepada eyangnya Nenek. Ia cantik sama sepertimu."

Tetes-tetes air dari keran membawa ingatanku kembali mengembara ketika Nenek menunggu dengan sabar kendi ini hingga penuh. Sembari menunggu, kadang kala Nenek memanaskan air untukku mandi pagi.

Aku berjongkok di depan keran itu, lalu menempatkan kendi air milik Nenek tepat di bawahnya. Saya yang masih muda mungkin akan menganggap gila tindakan ini. Namun Saya yang sekarang dengan kesadaran penuh menunggu air memenuhi kendi itu, bahkan menangis tersedu-sedu karena teringat Nenek. Yang ingin dilakukan Saya adalah menjaga memori tentang Nenek. Melakukan hal-hal yang selalu dilakukan Nenek adalah caraku mengingat bahwa rumah ini pernah menjadi bagian dari cerita masa lalu kami.

Aku membawa kendi air yang sudah penuh itu dengan susah payah. Fajar belum menyingsing. Belum ada anak-anak yang lari keluar dari rumah untuk bermain di pantai. Sepanjang jalan menuju pantai, aku hanya menemukan beberapa ibu-ibu yang tengah menyiapkan warung makannya hari ini. Mereka tak menyadari kehadiranku karena asyik menggelar tikar.

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang