Kebun Lavender

7 2 0
                                    

Bunga lavender yang bersimbah sinar mentari pagi itu membawaku pada suatu kenangan yang menyakitkan. Tiap kali aku duduk termenung di pinggir kebun dengan kursi kayu kesenanganku, aku merasakan kehadiran seseorang di sisiku. Ada kalanya tiap sinar mentari akan terbenam, air mataku akan menyeruak keluar. Setiap kali cahaya matahari itu membawakanku kehangatan, justru aku merasakan dingin yang berusaha membunuhku. Burung-burung camar yang berkendara mengarungi cakrawala mengejekku atas kesendirianku. Di antara semesta yang terus bergerak, justru tempatku terbatas. Aku tak bisa melepaskan langkah dengan bebas keluar dari kebun lavender. Setiap kali membuka pagar kebun, tubuhku akan mematung, dan aku akan kembali berbalik ke belakang.

Rumah dari bata yang berada di pegunungan menjulang tinggi, lampu-lampu yang berusaha maksimal menerangi jalanan kebun, dan jalan bebatuan yang tak lagi sempurna bentuknya. Aku pernah merasakan bahwa semua pemandangan itu menjadi bagian dari kenangan paling membahagiakan dalam hidupku. Tentu masih segar dalam ingatanku kala aku berjalan dengan gaun berwarna peach, heels-ku yang hampir patah memberatkan jalanku. Kamu berhenti melangkah dan berbalik padaku, memapahku dengan telaten seolah aku adalah anak kecil yang tengah berlatih jalan. Kamu senang melontarkan pujian yang dibalut oleh kiasan jenakamu. Kemudian kita tertawa sampai senja terbunuh.

Hari-hari itu pernah membuatku kesulitan tidur. Kadang aku merasa penasaran bagaimana hariku esok, dua minggu kemudian, tahun ke depannya, dan di hari tuaku nanti. Aku berharap momen bahagialah yang bertahan ketika rambut kita telah sama-sama memutih kelak. Cerita soal masa muda saat aku memeluk anak-anak dengan penuh kasih adalah momen yang berusaha kumiliki dalam hidup. Tidak perlu mengingat masa sebelum kita bersama atau soal amarah yang pernah membubuhi hubungan. Aku hanya ingin kebun lavender di depan rumah itu berisi cerita-cerita bahagia saja. Dan aku tahu bahwa kamu bisa mewujudkannya.

Setiap kali langkahku terasa berat, aku selalu menatap sepenjuru rumah, mencari segala sisa kehadiran hangatnya masa lalu. Kadang ada di sela-sela cerobong asap yang belum kubersihkan atau meja makan yang sudah berdebu atau lukisan-lukisan dinding yang menua bersamaku. Namun, tiap kali aku melihat kotak beludru merah yang tersimpan rapi di lemari kaca tanpa sempat dikenakan membawa kesedihanku kembali berkecamuk.

Aku menghela napas. Saat ini, aku rindu menikmati sore sembari berbincang soal hidup bersamamu. Aku rindu ketika orangtuaku memanggilmu dengan kasih, bukan dengan panggilan nama, melainkan panggilan kasih. Kita pernah berdansa di tengah kebun lavender dengan bulan purnama yang menjadi saksi. Pernah juga lagu-lagu soal cinta mengudara di langit musim semi; cerita soal betapa dunia menginginkan kita bersama.

Sekarang, segala mimpi yang pernah terjadi itu membawaku terhenyak. Angin sepoi yang menyelimutiku berusaha menghiburku. Namun aku tak bisa menyembunyikan betapa buruknya rupaku setelah malam-malam kuhabiskan dengan tangisan. Kadang aku ingin menjadi bunga lavender yang langsung gugur setelah kau tiada. Pula berekor-ekor ikan koi yang sakit dan mati saat tahu tak akan ada lagi yang merawatnya dengan baik.

Aku pernah merawat kebun lavender itu dengan sepenuh hati, tapi kini aku juga membencinya dengan segenap hidupku. Andai saja kamu bukan pecinta lavender sama sepertiku, maka mereka masih beroleh kasihku dengan melimpah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 16 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta Tak Selamanya AbadiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang