BAB 18 KISAH SEORANG CASIUS (2)

5.9K 737 80
                                    

Hellloooowww~ Akhirnya hidangan yg gw masak siap juga! Silakan dinikmati, readers~

Vote, comment, follow!

Typo tandai!

.

.

Beberapa saat sebelumnya...

Casius mengikuti James dengan patuh. Tak hanya patuh, sedikit binar senang yang sarat kerinduan juga terlihat di matanya.

Bertemu ayahnya... Ini adalah kali kedua Casius bertemu dengannya (Arsland). Sejujurnya, ia takut. Apalagi Casius tidak bersama sang nenek sekarang. Namun...

Tak dapat dipungkiri juga, bahwa Casius cukup merindukan sosok ayah yang baru ia lihat itu.

'Hanya...' Casius melirik ke kanan dan kirinya. Begitu banyak pasang mata yang menatapnya. Dan tentu saja, tidak ada niat baik di dalamnya. Penghinaan, kebencian, jijik, takut, marah, Casius bisa melihat berbagai emosi di mata orang-orang itu.

... Apakah semua orang selalu menatapnya seperti ini?

Casius menggelengkan kepalanya. Tidak tidak. Itu tidak mungkin, buktinya neneknya tidak begitu. Ayahnya juga tidak mungkin begitu. Lalu juga masih ada saudaranya yang belum sempat Casius lihat.

'Jangan berpikir negatif! Nenek bilang selalu ada orang yang tidak suka dengan kita, dan itu bukan hal aneh,' pikir Casius yakin.

Memikirkan ini membuat Casius semakin merindukan neneknya. Kapan dia kembali? Urusan apa yang membuatnya begitu lama? Tidak bisakah dia ikut?

Sedikit kekecewaan terbersit di wajah Casius.

"Buka pintunya!"

Dua penjaga langsung membuka pintu atas perintah James. Mereka tunduk ketika James masuk. Namun saat Casius akan masuk, keduanya langsung menatap sengit anak laki-laki itu.

Casius berusaha tak peduli, karena di depannya-

"Eh?"

Mata merah bulat itu terbelalak. James membawanya ke tempat yang belum pernah Casius kunjungi sebelumnya.

Sebuah auditorium dengan karpet merah yang digelar dari pintu masuk. Karpet merah dengan pola emas di tepinya melapisi permukaan lantai, tangga, terus hingga sampai ke sebuah panggung. Di atas panggung itu terdapat satu singgasana.

Seorang pria mendudukkan tubuhnya di atas singgasana itu. Sepasang manik safirnya menatap ke bawah, menyiratkan keangkuhan seorang penguasa.

"Yang Mulia, saya membawanya seperti yang Anda perintahkan." James membungkuk hormat.

Casius ikut membungkukkan tubuhnya, namun mata bulat anak itu sesekali akan melirik Arsland dengan hati berbunga. Itu karena... Arsland tersenyum.

Tidak seperti sebelumnya, ayahnya itu tersenyum sekarang. Casius tak bisa mendeskripsikan perasaannya sekarang. Ini tidak sama dengan rasa senang ketika bersama Helen, rasanya... hatinya tergelitik.

Perasaan asing itu membuat Casius tanpa sadar membuka mulutnya. "Ayah, apa ayah memanggil Cassie?"

"Ya." Arsland mengangguk, masih dengan senyuman. Namun, respon sederhana itu sudah cukup untuk membuat dada Casius kecil berbunga-bunga. Anak itu benar-benar melupakan perbuatan Arsland terakhir kali.

Tak ayal ia kembali memikirkan kegiatan apa saja yang ingin ia lakukan dengan ayahnya itu. Casius ingin mereka bisa bermain bersama. Casius ingin makan bersama. Casius ingin tidur di kamar yang sama, lalu meminta ayahnya menceritakan kisah-kisah heroiknya sebelum tidur. Ia juga ingin meminta ayahnya untuk mengenalkan Casius pada saudara-saudaranya. Tapi yang lebih penting dari itu... Casius... anak itu ingin mereka terus bersama.

Putra Bajingan Duke Adalah Seorang PsikologTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang