5. Dendam

85 3 0
                                        

“Genta, tolong belikan obat darah tinggi oma, boleh?” pinta Joy.

Tidak ada ekspresi di wajah Genta, tapi dia tetap patuh pada permintaan Joy. Dia mengambil uang yang ditaruh oleh Joy di atas meja lalu mengenakan jaket untuk segera pergi menuju apotik terdekat. Di jalan saat akan tiba di apotik, Genta melihat sosok gadis yang begitu berani padanya tengah membeli sesuatu, Genta segera memarkirkan motornya, melepas helm, dia segera menyeberang untuk menghampiri gadis itu, yang tak lain adalah Vani.

Kaget dengan kehadiran Genta, spontan Vani berteriak meminta pertolongan dari orang sekitarnya, bukan karena takut melainkan karena kaget. Hampir saja orang-orang menghajar Genta jika Vani tidak dengan cepat menjelaskannya. Genta membawa Vani ke tepi jalan, menatapnya tajam. Dia semakin tidak sabar ingin melancarkan aksinya pada gadis itu, memang pada dasarnya angkatan biru mudah menyimpan dendam.

Bukannya takut, Vani justru membalas tatapan Genta dengan kedua matanya yang membulat alias melotot. Genta mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat siap melayangkan pukulan di pipi Vani, tapi itu tetap tidak membuat Vani takut, justru kelihatannya Vani semakin menantang dengan semakin melangkah maju. Genta sudah menyiapkan ancang-ancang hendak melayangkan pukulan itu, tapi suara seorang gadis berhasil menghentikan aksinya.

“Genta! Cukup!” teriak Nichole. “Lo ketua OSIS, lo emang punya kuasa! Tapi jangan pake cara kekerasan!” bentaknya.

Vani menyunggingkan senyumnya tipis. “Kak, tolong ya ajarin pacarnya supaya ga main kekerasan sama cewe, hati-hati kak sama pacarnya, saya permisi.”

Hening, kedua remaja tersebut kini saling bertatapan. Vani merupakan orang kesekian yang mengatakan Nichole berpacaran dengan Genta. Terkadang mereka berdua bingung, darimana letak kelihatannya hubungan mereka seperti sepasang kekasih? Ah tidak perlu memikirkan itu sekarang, Nichole mengajak Genta menyeberang kembali, sebab pesanan obat Joy belum dibeli oleh Genta padahal Joy sudah menunggunya, karena kepalanya sudah pusing.

“Lama banget dah lo beli obat doang, mana duitnya sini biar gue yang beli,” omel Nichole.

Genta memberikan satu lembar uang berwarna biru kepada Nichole, “Nih, gue tunggu sini,” katanya.

Selama menunggu Nichole, kejadian saat Vani menantangnya tadi teringat oleh Genta. Letak harga dirinya seakan rendah padahal biasanya dia yang selalu menantang orang lain. Tak pernah terbayangkan oleh Genta ada perempuan pemberani seperti Vani, sikap Vani itu akan selalu Genta ingat, dan mungkin akan menimbulkan dendam di hatinya. Dendam itu tidak akan Genta biarkan mengganjal hatinya, harus dia balaskan.

Liat aja lo, ga akan gue biarin hidup tenang lo Gizca, batin Genta.

“Woy! Melamun aja! Ayo pulang, oma udah nunggu!” tegur Nichole.

“Sabar, lo pulang duluan aja sana sekalian bawa obatnya. Gue masih kesel banget,” usir Genta.

Nichole memutar kedua bola matanya malas. “Lo tega sama cewe? Gue pulang sendiri mana udah malem nanti ada yang culik gue gimana?”

“Ga akan ada yang mau culik lo, rugi. Sana dah sana gue mau keliling dulu naik motor, nyari angin biar adem otak gue. Bilangin ya ke oma, ga akan lama-lama kok sebelum tengah malem gue pulang.” Genta melangkah menuju motornya, kemudian memakai helm lalu meninggalkan Nichole di depan apotik sendirian.

Suasana jalanan memang masih ramai malam ini, tapi tetap saja bagi Nichole yang tidak pernah keluar rumah malam hari maka hal sepele itu menakutkan baginya. Mau tak mau Nichole harus memesan taksi lagi supaya tidak pulang dengan berjalan kaki. Genta memang sangat keras kepala, kasar tidak memandang bulu, baik kepada laki-laki atau perempuan dia tidak peduli. Meskipun Nichole merupakan angkatan biru juga, tapi dia tidak setega Genta.

Setidaknya ada rasa belas kasihan kepada murid lainnya, tapi peraturan supaya menjaga batasan dengan angkatan merah tetap Nichole ingat.

***

Warung kopi, di sana Genta sekarang berada. Bersama teman-temannya dia berkumpul, mereka bukan anak nakal yang suka mabok-mabokan sehingga warung kopi lah yang mereka pakai untuk berkumpul. Bukan warung kopi seperti yang dibayangkan, tempat tersebut begitu indah jika malam hari kelihatan lampu-lampu di bawah jembatan layang. Genta menghabiskan langsung satu gelas kopi tanpa jeda.

Hatinya masih panas, dia ingin segera membalaskan dendamnya besok. Genta sudah mempersiapkan cara pertama yang bisa dia lakukan untuk membuat Vani kapok telah melawan dirinya. Tak hanya kopi saja, selanjutnya Genta memesan roti bakar untuk dirinya santap, serta satu gelas minuman bersoda untuk diminum. Rokok? Oh tidak, itu benda yang paling dijauhi oleh Genta, dan rekan-rekannya.

Genta juga tahu, selain dirinya anak akuntansi tapi dia juga merupakan ketua OSIS yang mengharuskan dirinya menjadi contoh bagi murid-murid lainnya. Baik di sekolah maupun di luar sekolah sama saja, menjaga nama baik sekolah. Tiga orang teman Genta tak habis pikir menyaksikan kelakuan Genta malam ini, makan cukup banyak seperti orang kesetanan, minum pun seperti itu, heran.

“Pusing kah lo? Ga pernah lo sampe kayak gini sebelumnya,” ujar Raffa.

Genta menggelengkan kepalanya cepat. “Bukan pusing, tapi dendam. Masa iya ada ade kelas yang berani banget sama gue, dia belum tahu aja kalo berurusan sama angkatan biru gimana.”

“Daripada pusing, mending lo bantuin gue supaya bisa jadian sama Nichole,” pinta Oscar.

“Lo mah pikirannya cewek mulu, pikirin tuh PKL lo nanti mau di mana. Semester depan kita udah harus PKL,” komentar Chiko.

Raffa menggaruk kepalanya yang tak gatal, “Lo dendam? Besok lampiasin dendam lo aja langsung sama anak barunya. Suruh dia keliling lapangan aja lima belas keliling, kalo setelah itu masih belum kapok baru pake cara teror meneror,” sarannya.

Sudah tidak heran jika angkatan biru memakai cara teror-meneror, dan jika ada satu orang yang mempunyai masalah dengan angkatan merah maka seluruh angkatan biru akan langsung turun tangan. Meskipun sudah menjadi alumni, orang yang dulunya pernah menjadi angkatan biru tetap turun membantu dalam penyelesaian masalah. Dan Genta juga sudah mempunyai rencana seperti itu, jika Vani terus-terusan menantangnya mau tak mau cara lain dia pakai.

Guru-guru belum ada yang tahu tentang perilaku angkatan biru yang begitu menyeramkan, sebab tidak ada satu orang pun siswa yang pernah menjadi korban kekerasan angkatan biru yang berani speak up tentang semuanya. Sebab terlalu banyak ancaman yang angkatan merah dapatkan, entah kapan semuanya akan terungkap. Yang ditumpas seharusnya dalang yang mempunyai ide awal menerapkan peraturan seperti itu pada angkatan biru.

“Atau minta tolong aja sama Kak Jean,” usul Chiko. “Tapi hati-hati soalnya cara yang dia pake keras banget, jangan sampe guru tahu,” pesannya.

“Gue mau pake cara gue sendiri dulu, ga mau tahu dia harus kapok. Gue juga mau mempermalukan dia di depan anak-anak besok,” jelas Genta, kelihatannya dia sudah sangat tidak sabar.

Oscar hanya mengangguk setuju saja, dia tim netral meskipun anak angkatan biru. “Lakuin aja yang lo mau, Ta. Tapi awas aja kalo endingnya lo suka sama dia, gue ga akan mau dengerin.”

“Idih? Siapa juga yang bakal suka, dia bukan tipe cewe gue. Lagian peraturan angkatan biru gue inget,” bantah Genta.

“Hm, ya liat aja dulu,” tantang Oscar.  















Tbc

Biru Merah [E N D I N G]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang