24. Waktu Bersama Mama

30 2 0
                                    

Bangun tidur Vani disambut mencium harum masakan Zee, wanita berusia empat puluh lima tahun itu membuatkan nasi goreng sosis untuk sarapan kedua anaknya. Karena kebetulan hari ini juga merupakan hari Sabtu, Zee sudah merencanakan akan mengajak kedua anaknya menghabiskan waktu bersama dengan pergi keluar rumah.

Pagi hari mereka menghabiskan waktu bersama dengan olahraga sederhana mengelilingi komplek sehabis sarapan. Shireen turut serta dalam olahraga mereka, mereka berjalan santai menikmati udara pagi yang masih segar. Tak jarang Galang menyapa orang yang bertemu dengannya di jalan ketika sedang jogging.

Vani, dan Galang berlari di depan Zee, dan Shireen. Dari belakang Zee terus memperhatikan kedua anaknya, mereka berdua sangat kompak. Sekarang keduanya sudah tumbuh besar, padahal dulu masih sangat kecil. Sebentar lagi mungkin Galang akan menikah, sehingga hanya ada Vani yang bersamanya.

Meski waktu di masa tuanya dia habiskan tidak terlalu lama dengan kedua anaknya, tetapi Zee tetap bersyukur. Setidaknya ada waktu di mana dia dapat melihat kedua anaknya tumbuh besar, menemani mereka, dan memberikan kasih sayang cukup, sebagai bentuk permintaan maafnya juga selama ini sudah meninggalkan buah hatinya.

Sudah cukup lama mereka berkeliling komplek, mata Vani tertuju kepada tukang soto ayam. Soto itu terkenal enak bagi masyarakat komplek sana, Vani mengajak Zee serta Shireen untuk menikmati soto ayam bersama. Mereka perlu antre terlebih dahulu sebab sudah banyak orang yang memesan terlebih dahulu ketimbang mereka.

“Enak banget ternyata, ga nyesel mama nerima ajakan kamu, Van,” kata Zee antusias.

“Emang enak, ma. Masih banyak makanan lain yang enak di sini, mama harus coba ya!” saran Vani.

Zee mengangguk, lalu tangannya mengusap kepala Vani dengan lembut, “Iya sayang, habisin dulu makannya. Habis ini kita pulang, nanti agak sorean mama mau ngajak kalian keluar lagi, mau ga?” ajaknya.

“Mau banget dong, ma. Kita ga pernah kayak gini, terakhir waktu aku masih kecil!” jawab Galang semangat.

“Nanti kita ke mall aja ya, ma? Boleh ga?” pinta Vani. “Kita nonton, makan, intinya jalan-jalan deh,” jelasnya.

“Boleh nak, nanti sore ya sekalian kita makan malam di sana,” sahut Zee.

Soto telah mereka santap hingga habis, waktunya mereka kembali ke rumah untuk beristirahat sejenak sebelum nanti sore kembali keluar, menikmati momen kebersamaan itu. Suasana seperti ini yang Vani dambakan, walau sosok Morgan tak ada di sisinya lagi tapi bagi Vani Morgan tetap ada di hatinya.

Kebencian memang sempat Vani rasakan kepada Zee, satu tahun lamanya Vani pernah tak mau menatap wajah Zee yang ada di bingkai foto. Namun, seiring berjalannya waktu semuanya dapat Vani terima. Enam tahun lamanya Vani menunggu Zee kembali menemuinya, memeluknya seperti dahulu kala. Kini setiap doa yang Vani panjatkan terkabul.

Sesampainya di rumah, Vani merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk kesayangannya. Ketika baru saja memejamkan mata, pintu kamar dibuka oleh Galang. Lelaki itu menghampiri adik perempuan kesayangannya sembari membawa sebuah benda pemberian Zee tadi. Entah apa isinya, benda berbentuk kontak dibalut kertas kado.

“Kata mami bukanya waktu adek ulang tahun ke 17, jadi mami ga akan kasih kado lagi nanti.” Galang memasukkan benda berbentuk kotak tersebut ke laci meja belajar Vani.

Kening Vani menampilkan beberapa kerutan, “Loh, ga boleh sekatang ya, bang? Padahal aku penasarang banget,” tanyanya.

“Ga boleh, awas ya kamu kalo berani buka, abang karungin kamu,” canda Galang.

“Idih! Kayak bocil diculik aja aku! Udah sana abang keluar, aku mau tidur!” rajuk Vani.

***

“Mami aku laper, ayo makan,” rengek Vani.

Perut Vani telah didemo oleh para cacing, tapi sejak tadi Galang masih belum mau menyudahi kegiatan bermain basketnya. Mereka semua sekarang berada di sebuah mall, tepatnya di Game Master. Terlalu asik bermain sampai-sampai Galang melupakan waktu untuk makan malam terlebih dahulu, memang bermain bersama keluarga ternyata semenyenangkan itu.

Kesabaran Vani hanya tinggal setipis tissue, menunggu Galang bisa membuatnya jatuh pingsan akibat kelaparan. Padahal bermain di Game Master selama kurang lebih satu setengah jam menurut Vani sudah lebih dari cukup. Galang seperti kanak-kanak, rasa penasarannya begitu tinggi jika dia belum memenangkan sebuah permain, dan harus menang baru dia mau menyudahi kegiatan bermainnya.

Akhirnya Galang dapat menyudahi permainannya berkat Zee yang terus membujuk anak lelaki satu-satunya, mereka melanjutkan perjalanan mereka menuju sebuah rumah makan yang ada di dalam mall itu. Dafar menu berada di atas meja, Vani segera memilih makanan, dan minuman untuk segera dia pesan, tapi Galang merebutnya.

Terjadilah aksi saling rebutan daftar menu, terlihat keduanya lebih manja bila bersama Zee. Seperti saat ini, beberapa kali Vani mengadu karena Galang jahil, Galang tidak mau mengalah dengannya. Zee menanggapinya sembari tertawa, penuh kesabaran juga. Hati seorang ibu merasa bahagia itu cukup karena hal sederhana, seperti melihat buah hatinya yang tumbuh sehat itu sudah lebih dari cukup.

“Mama, itu abang ih!” adu Vani.

“Bukan abang, ma. Adek yang ga mau ngalah!” balas Galang.

“Udah-udah eh, perasaan kalian daritadi ribut mulu, cepetan pilih makanan,” lerai Shireen. “Tante juga laper,” lanjutnya, diakhiri dengan cengiran khas.

Vani memutar kedua bola matanya malas. “Ih tante, bukannya bantuin aku malah sama kayak abang juga!”

Suasana di meja makan mulai hening, mereka sudah memesan makanan sesuai keinginan mereka masing-masing. Hanya tinggal menunggu sebentar saja tapi rasanya sudah seperti berpuluh-puluh tahun. Terdengar perut Vani berbunyi, menandakan dia sudah sangat lapar. Wajar saja Vani lapar, tadi siang dia tidur siang sehingga melewati jam makan siangnya.

“Ma, besok-besok kita mau main ke mana lagi?” tanya Vani.

Zee menatap Vani, “Kamu maunya ke mana? Tapi mainnya setelah kamu sekolah online ya, kamu kerjain tugas dulu supaya ga ketinggalan pelajaran,” pesannya.

“Gimana kalo besok kita makan di Dago, ma? Di sana kalo malem banyak banget yang jual makanan,” usul Galang.

“Wah bener tuh, mau ya ma? Harus mau si ma!” timpal Vani.

Banyak rencana telah dirangkai Galang ataupun Vani untuk dapat menghabiskan waktu bersama Zee, sementara Zee menerima semua ajakan kedua buah hatinya, selain untuk menebus rasa bersalahnya, tetapi dia juga ingin membahagiakan kedua anaknya karena selama ini sudah ditinggal pergi, hidup tanpa sosok orangtua pasti berat.

Pesanan datang, mereka menikmati makanan serta minuman yang telah dipesan terlebih dahulu. Vani begitu lahap menyantap spaggethi kesukaannya hingga habis, hampir lima belas menit percakapan terhenti, mereka memilih untuk fokus mengisi tenaga terlebih dahulu. Sebelum akhirnya lima menit kemudian percakapan kembali dimulai.

“Kamu makan kayak orang ga makan satu tahun dek,” ejek Galang.

“Dasar ya abang! Ih! Kesel banget deh! Dasar abang jelek!” maki Vani.

“Kalian ini, kerjaannya ribut mulu. Waktu itu ga ada mama gini juga?” Zee menatap Vani, dan Galang bergantian.

Shireen menahan senyumannya melihat kakak beradik itu terdiam, “Mereka mah selama ga ada mbak akur banget, Galang sayang banget sama adeknya,” jawabnya jujur.

“Bangga banget mama sama kalian berdua, kalian harus saling menyayangi ya? Karena kalo ada apa-apa pasti kalian membutuhkan satu sama lain, ga boleh saling ninggalin juga ya?” pesan Zee. “Sekarang kita pulang ya, udah malem soalnya. Besok kita jalan-jalan lagi,” ajak Zee, dan dipatuhi oleh Vani, maupun Galang.














Tbc

Biru Merah [E N D I N G]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang