7. Camping

42 3 0
                                    

“Astaga, tante ga terima ini kamu luka Vani. Besok tante harus ke sekolah kamu! OSPEK malah nyiksa orang.” Sejak tadi Shireen tak henti-hentinya berkomentar.

Siang tadi Shireen sudah pulang dari Bali, dan kini dia menjalankan rutinitasnya kembali seperti ibu dengan dua orang anak. Vani, dan Galang sudah dia anggap seperti anaknya sendiri maka dari itu dia tidak keberatan sama sekali mengurus hingga membiayai kedua keponakannya itu. Melihat kondisi Vani yang terluka, kakinya bengkak, membuat Shireen emosi. Bagaimana tidak? OSPEK diadakan untuk memperkenalkan lingkungan sekolah, bukan melakukan kekerasan.

Besok Vani juga harus mengikuti camping yang masih termasuk dalam bagian OSPEK sekolahnya, kakinya sedang bengkak tapi dipaksakan untuk tetap mengikuti kegiatan camping. Jika bukan karena untuk kepentingan sekolah, Vani tidak mau mengikuti acara tersebut. Sudah cukup masalahnya dengan Genta yang kemarin saja membuatnya tidak tenang seperti ini, dia tak mau membuat masalah baru lagi.

Barang bawaan Vani sudah disiapkan oleh Galang, sekarang Vani tengah menyantap nasi goreng buatan Shireen. Sejak tadi Shireen tak lepas menatap Vani, kondisi keponakannya itu tidak memungkinkan untuk ikut camping. Tempatnya yang jauh membuat Shireen sulit menyetujui Vani untuk tetap ikut rangkaian acara tersebut. Shireen berpikir takut kejadian yang lebih parah menimpa Vani.

“Kamu yakin Van mau tetep ikut? Ijin aja ya? Biar tante yang ijinin, tante khawatir lihat kondisi kamu kayak gini banget,” ungkap Shireen.

Vani menganggukkan kepalanya mantap. “Iya tan, gapapa kok. Ini lagian bengkak sekarang doang, pasti besok ga akan lagi.”

“Tapi kalo makin bengkak gimana? Inget diri kamu, Vani. Jangan paksain kalo emang kamu ga bisa,” nasihat Shireen.

“Tante tenang aja, aku udah titip Vani ke Satria,” timpal Galang yang baru saja selesai mengemas pakaian Vani. “Tahu Satria kan tan? Itu anak tante Bella,” jelasnya.

Mata Shireen seketika melotot, “Really? Ya ampun ternyata mereka satu sekolah, astaga itu anak baik banget loh tante mah setuju sih Vani kalo pacaran sama dia,” katanya heboh.

Antusiasnya Shireen mendengar nama Satria, lelaki berusia tujuh belas tahun itu memang dikenal sopan oleh tetangga sekitarnya. Satria suka menolong, dan murah senyum jika bertemu orang yang lebih tua darinya. Tapi Vani heran, mengapa dia tidak mengenali Satria? Apakah benar itu manusia atau malaikat yang diutus Tuhan untuk melindunginya di sekolah? Ada-ada saja memang pikiran Vani, padahal itu karena dia kebanyakan diam di rumah.

Percakapan telah selesai, Vani segera beristirahat sebab besok dia harus bangun lebih awal supaya tidak ketinggalan bis.

Keeseokan paginya, Vani dibangunkan oleh Galang. Tubuh Vani demam tapi dia tetap saja memaksakan diri untuk tetap mengikuti acara camping.

“Dek udah lah kamu jangan ikut, panas banget badan kamu,” bujuk Galang.

“Engga bang, aku udah makan obat jadi aman. Aku juga bawa obat pribadi, ini kalo aku ga ikut harus ngikut ke angkatan selanjutnya ga mau banget aku,” papar Vani.

Shireen memeluk Vani erat, mengusap kepala gadis itu lembut, “Keponakan tante satu ini emang baik banget, tunggu ya biar tante hajar itu orang yang buat kamu sampe kayak gini,” ujarnya dengan tak main-main.

“Ga usah tan ih, nanti masalah makin panjang aku ga mau,” larang Vani. “Aku mau ambil jaket dulu tan biar berangkat, takut telat,” lanjutnya.

Vani berangkat ke sekolah setengah jam lebih awal agar tidak ketinggalan, dia sudah mengenakan jaket tebalnya sebab Lembang udaranya dingin, Vani sudah berjaga dengan obat-obatan pribadi bila demamnya semakin parah maka dia bisa mengatasinya dengan memakan obat penurun panas. Sungguh kejam peraturan yang dibuat ketua OSIS tahun ini, Gentala. Tak heran sebba dia anak angkatan biru, mainnya kekerasan tak pandang bulu.

***

Pembagian bis sudah selesai dilakukan, bis berangkat ke tempat tujuan, dan sampai dengan selamat. Selama perjalanan yang dilakukan Vani hanya tidur, Vani duduk bersama Salma sedangkan Nia duduk di belakang bersama Haikal, teman baru mereka. Sekarang mereka bersahabat menjadi empat orang, ada Haikal yang tiba-tiba meminta bergabung karena tidak ada satu pun siswa yang mau menemaninya.

Mungkin karena penampilan Haikan yang terlihat cupu membuat mereka tidak mau menemani lelaki berkacamata bulat itu, rambutnya dikatakan seperti rambut Nobita. Meskipun begitu, Vani, Salma, dan Nia tetap mau menerimanya sebagai teman. Menurut mereka berteman itu tidak perlu memandang kaya atau miskin, jelek, cantik atau ganteng yang terpenting adalah kesetiaannya, dan tidak berkhianat.

Sampailah rombongan SMK Lima Sila di Lembang, para murid kelas sepuluh dibagikan kelompok baru untuk camping ini. Vani terpisah dengan Salma, dan Nia tapi satu kelompok dengan Haikal. Kabar baiknya Vani mendapat kelompok yang anggotanya baik hati, mereka mudah akrab. Kecuali untuk kelompok tenda, Vani tetap satu tenda dengan Salma, dan Nia. Baru saja sampai di Lembang, para siswa sudah diajari tentang materi baris-berbaris lagi.

“Van, muka lo pucet banget. Lo lebih baik ke tenda PMR aja deh,” saran Jesslyn.

“Tahu tuh, daripada lo pingsan,” sambung Joseph.

Vani mengembuskan napasnya kasar. “Nanti kalo kak Genta tahu gimana? Gue ga mau buat masalah baru sama dia.”

“Udah deh biar nanti kita yang hadapin, cepet ke tenda sebelum lo pingsan,” perintah Jesslyn.

Sebelum meninggalkan barisan, Vani melihat ke kanan, kiri, depan, dan belakangnya terlebih dahulu memastikan tidak ada sosok Genta di sana. Setelah memastikan aman, dia berlari kecil menuju tenda PMR, kebetulan sekali ada kakak kelasnya yang berjaga tengah mempersiapkan kotak obat. Siswi yang berjaga namanya Nayla, gadis berhijab itu membantu Vani untuk berbaring di brankar yang ada, tampaknya Vani begitu lemas.

“Kamu ke sini kak Genta tahu ga? Kalo sampe tahu bahaya banget,” kata Nayla, dia sudah was-was.

Vani meringis mendengar perkataan Nayla, “Heheh, ga tahu kak aman. Emang kenapa si kak Genta kasar banget kak?” tanyanya, sungguh Vani penasaran.

“Biar kamu sendiri aja deh yang tahu, aku ga mau bilang apa-apa takut ada yang denger,” jawab Nayla.

Vania hanya mengangguk saja, ternyata tidak semua siswa angkatan biru mempunyai sikap kasar, masih ada anak baik yang mungkin saja bisa melindunginya. Vani dibuatkan teh manis hangat oleh Nayla, dia meminumnya sembari memakan roti tawar. Setelah habis, barulah Vani dapat memakan obat penurun demam. Vani kembali berbaring, matanya sudah terpejam akan tetapi suara Genta mengagetkannya.

Sontak saja Vani segera bangun dari tidurnya, kepalanya pusing.

“Bagus, lo pasti pura-pura sakit ‘kan?” tuduh Genta. “Balik ke barisan!” titahnya.

“Maaf kak tap—“ Nayla dibuat terdiam akan bentakan Genta, dia tak sempat menyelesaikan ucapannya.

Genta menatap Nayla tajam. “Jangan belain dia, lakuin tugas lo sebagai anak PMR yang baik.”

“Kak, tapi saya beneran sakit. Nih pegang kening saya, jangan jahat dong jadi orang. Kalo saya mati gara-gara kakak emangnya mau dituntut? Engga ‘kan?” protes Vani. “Saya juga tanggung jawab jadi orang, ga mungkin saya mau males-malesan,” lanjutnya.

Posisi Genta kini dekat dengan Vani, dia maju beberapa langkah untuk memastikan apakah memang benar Vani sedang demam atau tidak.

“Oh, tapi gue ga peduli,” ucap Genta.

“Gila ya jahat banget lo!” teriak Vani, tak peduli jika guru-guru mendengarnya.

Genta tersenyum licik. “Terserah mau lo bilang apa, kalo ga balik ke barisan gue aduin guru supaya nama lo masuk daftar siswi dengan sikap terburuk.”














Tbc

Biru Merah [E N D I N G]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang