8. Ambil Belut

42 4 0
                                    

Latihan baris berbaris sudah selesai dilakukan, tiba saatnya para murid kelas sepuluh untuk beristirahat. Makan siang disediakan oleh pihak sekolah, sedangkan untuk malam nanti mereka yang harus memasak sendiri. Napas Vani memburu setelah selesai melaksanakan kegiatan baris-berbaris, hanya karena takut apa ancaman Genta, dia terpaksa harus tetap mengikuti latihan padahal suhu tubuhnya sedang tinggi.

Saat ini Vani sedang menikmati makan siang bersama teman sekelompoknya yaitu Haikal, Jesslyn, dan Joseph. Dengan sengaja Genta melewati Vani yang sedang makan bersama ketiga temannya, membuat makanan yang sedang Vani pegang tumpah semuanya. Ingin marah tapi tak bisa, sudah lelah, tidak ada tenaga lagi untuk beradu mulut dengan Genta. Tatapan Vani datar, dia tak berkata apapun membuat Genta heran melihatnya.

Sebagai teman yang baik, Jesslyn memberikan bekal yang dia bawa dari rumah untuk Vani. Meskipun berupa sepotong roti tapi setidaknya itu bisa membuat perut Vani cukup kenyang. Sudah tidak kuat Vani lama-lama di sana, dia ingin segera pulang melampiaskan amarahnya di kamar. Akan dia buktikan bahwa angkatan merah juga bisa lebih kejam, Vani sudah bertekad ingin menjadi ketua angkatan merah nantinya supaya tidak disepelekan oleh angkatan biru.

“Aneh ya itu orang satu, kenapa si sensi banget sama lo keliatannya?” cibir Jesslyn.

“Lo ga tahu, Jes? Dia ketos di sini, jadi wajar aja sikapnya kayak gitu. Mana dia angkatan biru,” jelas Joseph.

Vani berdecak sebal. “Ga masuk akal, Jo. Emang pantes ketua OSIS kayak gitu? Bisanya siksa adik kelas doang.”

“Kata aku, lebih baik kamu sabar Van hadapin dia. Aku ga mau kalo nantinya kakak itu makin ganggu kamu,” saran Haikal.

“Masa gue harus diem aja si? Ga bisa Kal, gue mau terus ngelawan sama dia,” jawab Vani dengan begitu berani. “Tadi gue diem aja bukan karna gue takut, tapi lemes banget gue hari ini,” paparnya.

Waktu istirahat telah berakhir, camping ini dilakukan selain sebagai penutup OSPEK minggu ini tetapi juga sebagai bentuk pelatihan dasar kepemimpinan. Para siswa dilatih untuk gerak cepat, termasuk makan. Itu belum seberapa, setelah ini akan ada kegiatan selanjutnya yaitu menjelajah area hutan, setiap kelompok diwajibkan dapat menyusuri hutan, dan kembali ke tempat awal dengan selamat tanpa ada yang tertinggal.

Kelompok Vani sudah mendapat giliran untuk menjelajahi hutan, mereka harus mengumpulkan setiap potongan puzzle yang ada, dan setiap di perhentian nanti ada pos di sana mereka juga harus dapat menjawab pertanyaan yang diberikan anggota OSIS. Rangkaian kegiatan masih cukup banyak hingga Sabtu pagi nanti, sudah terbayang bagaimana lelahnya Vani, dan anak-anak lain sepulang dari sana.

“Selamat datang di pos ketiga,” sapa Genta.

Senyuman Genta begitu menyeramkan bagi Vani, pasti ada yang akan Genta lakukan lagi.

“Caranya mudah kok lewatin pos saya, cukup kalian jalan lewat tengah salah itu dengan posisi jongkok,” tutur Genta. “Kecuali lo, khusus lo gue mau ambilin belut di tengah sawah sana,” sambungnya.

Tak disangka, Genta menunjuk Vani untuk melakukan tugas yang berbeda dari teman-temannya, Vani sudah geram sekali diperlakukan seperti itu oleh Genta. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk melampiaskan amarahnya. Vani mengangguk saja lalu menuruti apa yang Genta inginkan, bukanlah hal yang mudah bagi Vani sebagai orang kota untuk mengambil belut di sawah, ditambah kondisi sawah begitu banyak lumpur akibat hujan deras yang turun kemarin malam.

“Gimana? Ga bisa? Jangan harap lo bisa balik ke tenda sebelum ambilin gue tiga belut.” Genta melipat kedua tangannya di depan dada.

Apa yang harus Vani lakukan? Bagaimana jika satu pun belut tak ada yang berhasil dia tangkap? Vani pasrah hari ini.

***

“Kak udah dong kak, saya daritadi ga bisa dapetin belutnya. Ini udah sore juga masa kakak tega sih?” protes Vani.

Tidak ada belut yang dapat Vani tangkap, kulit belut yang licin serta lumuran lumpur yang banyak membuat Vani angkat tangan. Tapi Genta tetap tidak mengijinkannya kembali ke tenda, sedangkan Jesslyn, Joseph, dan Haikal sudah kembali ke tenda. Mereka awalnya hendak menemani Vani hingga selesai, akan tetapi Genta melarangnya sehingga sekarang hanya ada Vani, dan Genta saja di tengah sawah.

Kepala besar, itu yang pantas disebutkan untuk Genta. Lihatlah lelaki itu malah meninggalkan Vani di bawah sawah sendirian, Vani hendak naik tapi kesulitan sebab licin akibat begitu banyaknya lumpur. Cacian Vani berikan untuk Genta, lelaki itu tetap santai meninggalkan sawah tanpa peduli dengan teriakan gadis yang mengatakannya jahat. Vani celingak-celinguk mencari orang baik yang dapat membantunya keluar dari sana.

Pakaian Vani sudah benar-benar kotor, sampai wajahnya kotor terkena lumpur. Hingga ada seorang bapak-bapak yang kebetulan lewat dari sana sehabis membajak sawah, masih baik bapak itu mau menolongnya. Percuma saja Vani sudah keluar dari sawah tetapi tidak ingat jalan kembali ke tenda, Vani bertanya pada bapak-bapak itu tapi hasilnya nihil. Sepertinya malam ini Vani memang harus menginap di rumah warga.

“Beneran pak, bapak ga tahu di mana tempat camping yang lokasinya ga jauh dari sini? Ciri-cirinya itu deket villa pak, banyak tendanya yakin bapak ga tahu?” tanya Vani lagi.

Bapak yang kerap disapa Pak Ade itu berpikir sejenak, mencerna perkataan Vani. Tak lama kemudian dia tersenyum ternyata tempat yang Vani maksud adalah lokasi penginapan yang biasa dipakai oleh orang ketika berlibur ke sana. Memang ada tenda-tenda yang tersedia di sana, tapi di sekeliling tenda itu ada villa. Pak Ade mengantar Vani ke sana dengan keadaan selamat, Genta tidak tahu bahwa Vani sudah kembali.

“Makasih banyak ya pak, kalo ga ada bapak mungkin udah heboh banget di sini nyariin saya,” ungkap Vani.

“Iya sama-sama neng, kalo saran bapak mah lain kali jangan nurutin apa mau temen neng kalo itu berbahaya. Jaga diri ya neng, bapak pamit dulu,” pesan Pak Ade, terus terngiang di telinga Vani.

“Vani!” teriak seseorang dengan sangat hebohnya.

Haikal yang berteriak, Vani berjalan ke arah Haikal yang berada. Di depan tenda bersama Jesslyn, dan Joseph sejak tadi mereka menunggu kepulangan Vani. Masih baik sebelum matahari tenggelam Vani sudah kembali berkumpul bersama. Vani mandi terlebih dahulu serta berganti pakaian, setelah itu dia menjelaskan bagaimana bisa kembali ke sana. Berkat Pak Ade, tak mungkin Vani dapat kembali ke sana seorang diri.

Jesslyn memukul-mukul tanah menggunakan kedua tangannya yang terkepal, “Emang parah deh itu kak Genta, kenapa ga nolak aja si tadi, Van? Lagian ada kita jadi kita bisa lawan bareng-bareng,” komentarnya.

“Gue juga nyesel banget udah nurutin apa mau dia, ternyata gitu banget ya dia. Sengaja atau iri sama gue ya?” duga Vani.

“Kalo iri, apa yang harus dia iriin dari lo? Secara dia lebih unggul bukan? Masih kurang emangnya jabatan OSIS dia?” tanya Joseph.

Haikal menggelengkan kepalanya pelan. “Astaghfirullah, udah ih udah jangan pada gibah udah mau malem tahu. Nanti kalo kak Genta denger gimana? Atau ada murid lain yang bilang sama dia? Sekarang lebih baik kamu Vani, ke temen satu tenda kamu dulu soalnya udah mau makan malam.”

“Untung deh ada Haikal, thanks Kal udah ingetin kita. Kalo gitu gue ke tenda dulu ya nanti kalo ada tugas lagi gue samperin kalian,” kata Vani.






 






Tbc

Biru Merah [E N D I N G]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang