20. Berteman

31 3 0
                                    

Pelajaran olahraga tengah dilaksanakan oleh para murid kelas sepuluh perkantoran satu, materi pembelajaran yaitu berlari keliling lapangan untuk melatih kekuatan pernapasan. Terbagi menjadi lima kelompok siswa untuk mengelilingi lapangan sekolah, Vani bersama teman-temannya kelompok pertama yang melaksanakan tes olahraga.

Peluh membasahi kening hingga leher Vani, agar tenaganya dapat terkumpul kembali Vani menepi di sisi lapangan mengistirahatkan tubuhnya. Tes sudah selesai dilaksanakan oleh kelompok Vani, meskipun cukup melelahkan tapi ternyata Vani bisa menyelesaikan lari keliling lapangan sebanyak tujuh putaran.

Baru saja Vani membeli sebotol air mineral dari kantin, duduk di tepi lapangan sembari melihat teman-temannya yang lain berlari mengelilingi lapangan. Air mineral yang dibelinya belum dia buka, napasnya masih naik turun, Vani menormalkan pernapasannya terlebih dahulu hitung-hitung menghirup udara segar sebelum menghabiskan air mineral.

Namun, ketika Vani sedang duduk dia dikagetkan dengan kedatangan dua lelaki remaja angkatan biru membawakan air mineral untuk Vani. Kompak, kedua lelaki itu menyodorkan air mineral yang mereka bawa masing-masing untuk Vani. Kening Vani menampilkan kerutan menandakan dia bingung bagaimana cara menolak pemberian keduanya.

“Minum dulu.”

Genta, dan Satria kompak mengucapkan perkataan yang sama membuat Vani semakin terheran akan perilaku keduanya. Sebagai manusia, Vani masih mempunyai rasa belas kasihan kepada mereka berdua termasuk Genta, oleh sebab itu dia mau tak mau menerima air mineral baik yang diberikan oleh Genta maupun Satria. Supaya tidak ada yang merasa sakit hati di antara kedua lelaki itu, Vani sangat menghargai kebaikan mereka berdua.

“Makasih kak Genta, kak Satria. Minumnya saya terima ya, padahal ga usah repot-repot karena sebenernya saya juga baru aja beli minum,” ungkap Vani.

“Gapapa kok, Van. Anggap aja itu sebagai tanda maaf gue karena selama ini udah jahat sama lo,” jawab Genta.

Satria terkekeh pelan, seolah tak percaya dengan apa yang dikatakan Genta. “Ga usah percaya, Van. Mending minum yang dari gue aja udah aman ga ada racun, yang dari dia belum tentu aman, ‘kan?”

“Sembarangan lo ngomong! Emangnya gue sejahat itu apa?” protes Genta.

“Lah? Gue ga salah ngomong gitu, ‘kan? Jelas-jelas lo selama ini jahat sama Vani, maksudnya tiba-tiba baik apalagi kalo bukan ada maksud tertentu?” tuduh Satria.

Genta mengepalkan kedua tangannya, kemudian memukul ke tembok cukup kuat, “Gue emang jahat waktu itu sama Vani! Tapi gue juga bisa berubah!” bentaknya.

“Udah cukup! Kenapa jadi ribut gini sih?” lerai Vani.

Suara Vani cukup keras mengundang perhatian dari guru yang sedang mengajar olahraga, serta teman satu kelasnya yang lain. Vani malu bukan main, gadis itu menaruh ketiga botol miliknya terlebih dahulu di sisi lapangan, lalu mengajak kedua lelaki remaja yang baru saja berdebat itu ke aula. Vani tidak suka Genta, dan Satria berdebat hanya karena dirinya.

Hening, Genta, dan Satria tidak mau saling bertatapan. Pandangan keduanya menatap ke arah yang berbeda, posisi Vani seperti seorang guru yang sedang memarahi muridnya. Lihatlah, bahkan sikap Vani lebih dewasa dibanding kedua lelaki itu padahal usia Vani cenderung lebih muda dari kedua lelaki remaja tersebut.

“Udah ya, kak Genta sama kak Satria jangan ribut lagi. Kalian itu temen, jangan berantem cuma gara-gara saya kak,” nasihat Vani. “Sekarang saling minta maaf biar masalah selesai,” perintahnya.

Momen ini bisa Genta manfaatkan untuk mempercepat hubungan pertemenan dirinya dengan Vani terjalin.

“Oke kita mau baikan, asalkan … kita bertiga berteman,” tantang Genta.

***

“Kantin yuk, Van!” ajak Satria.

Hidup Vani semakin terganggu karena sekarang Genta atau Satria sering mengikutinya ke mana-mana, akal kedua lelaki itu memang patut Vani beri jempol. Seharusnya istirahat kedua Vani berada di kelas bersama teman-temannya seperti biasa tapi kini dia malah harus menemani Satria makan di kantin. Bukan hal yang berat, tapi entah kenapa Vani malah kurang nyaman. Kesannya dia seperti kekasih Satria, harus menemani lelaki itu ke sana ke mari.

Sudah ada sebuah mangkuk mie ayam di hadapan Vani, tapi gadis itu enggan menyantapnya. Satria saja yang menyantap mie ayam itu hingga habis. Tidak ada rasa lapar meskipun Vani hanya sarapan, istirahat pertama pun makan hanya sedikit. Vani hendak kembali ke kelas pun tak bisa sebab Satria selalu melarangnya.

Tamu tak diundang pun datang, Gentala orangnya. Lelaki itu turut bergabung di meja yang ditempati oleh Satria, dan Vani membawakan sebuah roti berbentuk panda untuk Vani, dan untuk dirinya. Pemandangan seperti ini jarang sekali dijumpai oleh anak-anak SMK Lima Sila, Genta, dan Satria bersama seorang gadis begitu akrab.

Katty, gadis berambut sebahu, sudah lama menyukai Genta sebab keduanya sering bertemu selama menjabat sebagai anggota OSIS. Namun, gadis itu hanya bisa memendam perasaannya saja karena dia tahu bagaimana Genta. Tidak mau berpacaran, dengan alasan tidak suka terikat dengan perempuan. Meski Katty tahu tak mungkin Genta benar-benar tulus mau berteman dengan Vani, tetap saja rasanya cemburu.

“Hai, eh Genta di sini juga? Tumben lo di sini,” sapa Katty.

“Hehe, halo kak!” balas Vani, sedikit kaku.

Katty merangkul pundak Genta, “Ayo ke ruang OSIS, istirahat di sana. Biasanya juga lo lebih suka di ruang OSIS daripada di kantin,” ajaknya.

“Ga mau, lo aja duluan ke sana nanti gue nyusul buat rapiin berkas-berkas.” Genta menjauhkan tangan Kattu dari pundaknya.

Tidak biasanya Genta seperti itu, Katty mulai berpikir bahwa Genta menaruh rasa pada Vani.

“Oh o-oke kalo gitu gue ke ruang OSIS dulu ya, bye!” pamit Katty.

Kehadiran Genta membuat Satria merasa terganggu, dia menggapai pergelangan tangan Vani, kemudian membawa gadis itu ke lapangan indoor untuk menemaninya bermain basket. Tidak ada perubahan, tetap Genta membuntuti ke mana mereka pergi bahkan dia berusaha berbaur agar tidak menjadi nyamuk di tengah Satria, dan Vani.

Ide muncul di kepala Genta, lelaki remaja itu menantang Satria untuk adu basket dengannya. Tentu saja Satria menerimanya, apalagi ada Vani di sana dia begitu percaya diri akan menjadi pemenangnya. Sudah jelas siapa di akhir nanti yang menjadi pemenangnya, Satria lebih berpengalaman di bidang olahraga, dari cara mengiring bolanya Satria lebih lihai dibanding Genta.

Bola melayang menuju Vani yang sedang duduk menonton Satria, dan Genta. Dengan cepat Genta menghalau bola tersebut, lelaki itu melompat setinggi mungkin, tangannya memukul bola basket cukup kuat sehingga bola basket melayang ke arah berlawanan. Lalu Genta tersungkur, tangannya terkilir.

“Udahlah udah gue bilang lo kalah, malah ngeyel,” ejek Satria. “Lo itu lemah, Genta. Tampang lo aja sangar, aslinya?” Satria tak melanjutkan ucapannya, biarkan Genta intropeksi diri melalui ucapannya.

Vani segera turun dari kursi penonton, berlari kecil ke tengah lapangan, memastikan kondisi Genta baik-baik saja.

“Kak Genta! Lo gapapa ‘kan, kak?” Vani membantu Genta untuk duduk.

Terdengar suara ringisan Genta, lelaki itu kesakitan tangannya terkilir.

“Kayanya tangan lo terkilir, kak. Kita ke UKS aja ya, kak?” ajak Vani.

Genta menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Ga usah, Van. Bawa gue ke asrama aja bo—“

Belum sempat Genta menyelesaikan perkataannya, Satria dengan cepat memotong perkataannya. Modus Genta saja itu supaya bisa berdua dengan Vani, lagipula nanti Vani ketahuan oleh guru jika dia masuk area asrama putra. Bisa-bisa Vani mendapat hukuman, Satria tak akan membiarkan hal itu terjadi menimpa Vani.

“Biar gue aja, ga usah manja lo, Ta. Ayo!” Satria membantu Genta berjalan, dengan kondisi Genta menahan sakit di tangannya.

“Ngeselin lo! Dasar nyamuk!” gerutu Genta.















Tbc

Biru Merah [E N D I N G]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang