Bagian Sepuluh.

15 1 0
                                    

Hari ini sangat damai, Lavanya mengakui itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari ini sangat damai, Lavanya mengakui itu. Di tambah sudah menyerahkan tugas kelompok dan di Acc sang dosen tercinta. Omong-omong, teman satu kelompoknya adalah Heska, mereka satu kelas dalam mata kuliah Teori Himpunan dan ajaibnya Vanya tidak sama sekali merasa terusik karna pemuda itu kini sudah tak bersikap berlebihan lagi.

Heska cenderung menjaga jarak, walau ia juga yang mengajaknya membuat kelompok.

Ya, sudahlah. Yang penting tugasnya aman, dan ia tak merasa tergganggu juga.

"Gue duluan, ya, Van. Ada janji sama temen, lo abis ini mau kemana?"

"Paling mau beli roti dulu sambil nunggu Sera selesai kelas, dia ngajak ke perpus soalnya, Hes."

Heska mengangguk. "Yaudah, gue duluan ya. Thank's buat kerja samanya. See you, Vanya."

Lavanya juga melambaikan tangan sampai punggung Heska tak terlihat, woah bahkan pemuda itu hanya berjalan lurus dan tidak menoleh sama sekali.

"Anjay, gini dong. Balik jadi seperti teman kayak dulu, ya ampun, kenapa harus ada drama perasaan coba?" berdecak kecil lalu ikut melangkahkan kaki bersama wajah berseri-seri, di sepanjang koridor ia sampai melompat-lompat kecil karna letupan rasa senang.

Mengapa Lavanya begitu senang?

Heska itu ... apa ya kalau bisa di bilang? Mereka berdua saling mengenal dari masa putih abu, awalnya hubungan mereka baik-baik saja seperti teman pada umumnya, bercanda, saling membantu mengerjakan tugas, saling menggoda. Namun, lama-lama semuanya berubah, Heska memberikan perhatian lebih, selalu bersikukuh ingin menjadi bagian apapun ketika Lavanya melakukan sesuatu.

Lavanya nyaman, hampir saja jatuh cinta. Namun, Heska tak pernah menaruh kepastian apapun di antara mereka.

Manusia mana yang mau terjebak dalam sebuah keadaan nan penuh perasaan, namun tidak ada kepastian? Manusia mana yang mau terus-menerus berada di posisi bingung mengenai, "kita ini sebenarnya apa?" Woah, kalau ada, perkenalkan mereka dengan Lavanya dan Anasera.

Maka dari itu Lavanya harus menjaga hatinya, itu adalah alasan mengapa ia meminta Heska berhenti membantunya dengan berlebihan, agar Vanya bisa membuat batasan untuk perasaannya.

Dan alasan lainnya adalah karna, Lavanya punya seseorang lain yang ia tunggu.

Bibirnya tertarik kala mengingat nama itu. "Apa kabar?" gumam gadis tersebut sambil mengingat-ingat, tiba-tiba ingin bertanya mengenai kabar, namun berpikirmengenai kecanggungan yang ada, sepertinya tidak usah. Orang itu juga pasti punya kesibukan.

Mereka sudah punya jalan masing-masing, iya. Lavanya harus berpikir seperti itu.

Menarik nafas panjang, sepertinya agenda untuk flashback ini ia cukupkan. Hey, tidak baik mengenang hal-hal yang masanya sudah habis, nanti malah membuat menangis, kebetulan tissue di kamarnya juga habis dan gengsi sekali jika memintanya pada teman-teman silumannya itu.

Hendak melangkahkan kaki, ponselnya bergetar, ah Anasera sudah mengamuk menunggu di perpustakaan sepertinya.

seraaa

|DIMANAA?
|awas aja klo si heska ikut
|gue jambak rambutnya

Iyaa, ini gue jalan nih|

|jgn bawa heska

Iyaa2, elah|
Lama2 gue comblangin lo sama dia|

|jgn sebut kata comblang pls
|trauma

apa?|
COMBLAAANGG?|

|MONYET

read.

Tertawa sembari memasukan ponsel, kakinya melangkah lebih cepat, pasti Sera sudah mencak-mencak di depan perpustakaan. Ah, ia mendadak ingin di temani mencari beberapa buku, maka Lavanya iyakan saja.

Beberapa kali menyapa orang yang ia kenal, sebenarnya Vanya ingin sekali ikut duduk bersama beberapa teman namun ingat jelas bahwa Sera bisa saja murka, ia urungkan niatnya. "Nanti aja gue gabungnya, sekarang buru-buru, Re!" balasnya pada seorang teman yang melambaikan tangan serta mengajaknya bergabung.

Selanjutnya ia melambaikan tangan pada Anasera. "Woy!"

Sera sepertinya juga balas melambaikan tangan, tapi seorang pemuda yang baru keluar dari perpustakaan berdiri tak jauh dari gadis itu, wajahnya tidak terlihat jelas karna sedang melihat ke arah kanan sambil menelfon seseorang, Vanya pun kembali memanjangkan kaki, setelah cukup dekat dengan Sera, pemuda tadi menyudahi telfonnya.

Lavanya mengerjap.

Katakan kalau sekarang adalah mimpi. Tunggu! Vanya yakin sekali kok kalau ia baru berpikir bahwa mereka tak akan bertemu lagi, bahkan jika ada kesempatan pun, mungkin hanya bertemu di kesempatan itu saja.

Tapi, mengapa Dhipta berdiri disini sambil memakai almameter yang sama dengannya?!

Ada apa dengan takdir?

Naradiptha melebarkan mata sama terkejutnya, pemuda itu mendekat antusias bersama senyuman. "Eh, Vanya?! Astaga akhirnya kita ketemu! Hai, apa kabar?"

Lavanya bingung, kakinya lemas, jantungnya berdegup, bibirnya kelu. Ia harus apa sekarang?!

Menyadari gadis di depannya hanya diam, Dhipta mendekat, lengannya memegang bahu sang lawan bicara. "Van? Lavanya? Are u okay?"

Lavanya mendongak patah-patah, menelan salivanya kasar dan berbicara penuh kegugupan. "Dhip ... lo, kuliah disini?"

Dhipta tertawa di iringi anggukan, ia menepuk-nepuk kepala puan tersebut. "Iya, awalnya gue gak mau mengejar UI. Tapi, kayaknya takdir gue ada disini, jadi gue kejar."

Siapa yang di maksud Dhipta sebagai takdirnya itu?!

Sementara di belakang sana Anasera melihat semuanya, bersama ekspresi menganga ia menggelengkan kepala lalu bertepuk tangan. "Woah! Kayak di drama-drama anjeng!"

 "Woah! Kayak di drama-drama anjeng!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©️woopy_mom

home, est 2018.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang