Kedelapan

2.7K 55 4
                                    

Sepanjang perjalanan pulang, Rangga dan Somi hanya berdiam-diaman. Ditambah lagi memang Jl. Encep Kartawira ke Kolonel Masturi tidak terlalu jauh sehingga tidak memberikan kesempatan bagi keduanya memilih topik pembicaraan.

Meskipun Somi sudah bertekad untuk membuat jarak antar mereka menjadi dekat, di saat seperti ini perempuan yang masih terlihat manis meski hari sudah malam itu sama sekali tidak punya ide. Apa yang harus dia katakan untuk menjadi akrab? Apa yang harus dia lakukan untuk menjadi dekat?

Dua orang asing yang mendadak mesra bukanlah perkara mudah.

Semuanya terasa canggung. Somi menatap jalanan dengan sorot mata kosong. Jiwanya seolah melayang, memikirkan cara memecah hal dingin dari hubungan mereka.

Rangga sendiri tidak ada niat untuk memulai obrolan. Dia tetap kekeh pada pendiriannya untuk menjaga jarak dengan Somi. Rangga ingin mengatur perasaannya sendiri. Dia tidak mau masuk dalam situasi memalukan seperti dulu.

Di dunia ini, cinta yang tulus tidak benar-benar ada. Semuanya hanyalah kedok dan penyamaran semata. Jika tujuan tidak didapat dari orang yang awalnya dia bilang cinta, tanpa merasa bersalah dan entengnya hubungan mereka bisa berakhir begitu saja.
Cinta itu menyakitkan. Hati manusia itu mengerikan.

Rangga tidak mau terjebak lagi. Dia tidak mau lebih terpuruk lagi.

Somi merasa lelah. Energinya benar-benar dikuras dengan emosinya sendiri. Apalagi setiap kali Danu terlihat akrab dengan Rangga selama mereka di kafe, Somi harus terus-terusan memikirkan cara buat menjauhkan keduanya.

Mobil milik Rangga itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Lelaki dengan tinggi semampai dan tubuh besar itu segera turun, lalu membuka gerbang. Rangga masuk kembali ke mobil dan mengemudikannya memasuki area parkir yang ada di pekarangan rumah.

Masih dengan diam seribu bahasa, Rangga keluar dari mobil. Dia membuka pintu dan tubuhnya mematung di bawah bingkai pintu. Somi yang berdiri di belakangnya berusaha mencari penyebab kenapa Rangga menjadi seperti ini.

Di ruang tamu yang bisa dilihat dari tempatnya berdiri, tersusun beberapa makanan dan kue, lalu ada dua tas jinjing yang tergeletak di sofa. Dari arah dapur, suara tawa bahagia dari dua perempuan yang tidak asing mulai menyusup dalam telinga.

Di rumah sudah ada Fitrah, ibunya Somi dan Rara, ibunya Rangga.

“Lo ngapain berdiri doang? Enggak masuk?” desis Somi yang berdiri di samping Rangga.

Rangga memijit pangkal hidungnya sebentar, lalu membalik tubuh. “Gue enggak jadi pulang. Kalau ibu tanya, bilang aja gue ada kerjaan di rumah Danu.”

Setelah berkata seperti itu, Rangga membalik tubuhnya dan mulai mengambil langkah. Saat ini, yang Rangga pikirkan hanya tentang menghindari kedua perempuan paruh baya itu yang rutin sekali menanyainya macam-macam.

Somi kapan hamil?

Minum ini, makan itu biar cepat hamil.
Rangga harus olahraga ini, olahraga itu, biar kualitas spermanya bagus.

Biar Somi cepat hamil.

Bapak dan Ibu sudah pengin segera menggendong cucu.

Rangga tidak sanggup lagi. Hanya dengan memikirkannya saja, sudah membuat tubuh serta pikirannya terasa lelah. Namun, belum juga Rangga sempat membuka pintu mobil, sebelah tangannya dicekal Somi. Tangan yang mungil itu berusaha menahan Rangga agar tidak meninggalkan rumah.

“Lo mau ninnggalin gue lagi?” desis Somi. Tatapannya dalam, berenang dalam netra cokelat tua yang dimiliki Rangga. “Semalam lo udah ke rumah Danu, Ga. Masa malam ini ke sana lagi. Di rumah gue merasa sepi, tahu.”

Kening Rangga berkerut dalam. “Memangnya kita ngapain sampai rumah ini terasa ramai? Tuh, ada ibu. Sekarang rumah udah cukup ramai. Jadi, gue mau ke rumah Danu.”

Oh, My Husband (21+) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang