Keenam Belas

2K 46 6
                                    

Masih juga setengah perjalanan mobil melaju menelusuri jalanan Bandung. Namun, Rangga yang saat ini mengenakan pakaian formal dengan setelan celana baham berbahan katun berwarna hitam dan kemeja batik lengan panjang yang masih mencetak otot tubuhnya itu sudah bisa membayangkan bagaimana kerusuhan yang akan terjadi di acara pernikahan teman mertuanya itu.

Bukan acaranya yang rusuh. Tetapi tamu undangan yang pasti tidak kalah heboh meneror Rangga seperti yang dilakukan ibu dan mertuanya. Di sampingnya, Somi terlihat diam. Sesekali keduanya tidak sengaja bertatapan dan Somi langsung memalingkan wajah.

Apa Somi masih marah?

Rangga hanya menebak-nebak. Karena kepalanya terlalu pusing memikirkan hal yang belum terjadi, Rangga pun sampai tidak berniat untuk bertanya pada Somi apakah perempuan yang saat ini mengenakan gaun dengan bagian pundak terbuka itu apakah dia merasakan apa yang Rangga rasakan saat ini.

Suara dering ponsel menginterupsi hening di antara keduanya. Somi buru-buru merogoh tas tangannya yang memiliki bahan gemerlap dan mengeluarkan ponselnya. Namun, tindakannya terhenti sejenak saat botol berwarna putih yang dia dapat secara daring itu malah terlempar keluar.

Menggelinding di lantai mobil. Rangga langsung melirik. Tanpa memedulikan gaunnya yang bisa saja kusut atau bahkan robek karena tindakannya itu, Somi dengan cepat menunduk, meraih botol putih tersebut, lalu memosisikan tubuhnya agar sedikit memunggungi Rangga.

Rangga hanya mengerutkan kening dalam mendapati reaksi perempuan yang menyandang gelar sebagai istrinya itu. Daripada kelihatan sedang marah, Somi malah terlihat sangat mencurigakan.

“Halo, Bu,” jawab Somi. Untungnya panggilan sempat Somi jawab sebelum dering ponsel tersebut terhenti. “Iya. Ini aku sama Rangga udah di jalan. Hampir sampai di lokasi. Ya udah. Aku matiin, ya.”

Setelah berkata demikian, Somi segera mengakhiri panggilan. Dia menghela napas berat, memasukkan ponselnya ke tas, dan menatap jalanan kota Bandung dari balik kaca mobil.

“Mi,” panggil Rangga. Suaranya pelan, tapi masih bisa didengar dengan jelas. “Lo ... masih marah sama gue?”

“Eng-enggak, kok,” jawab Somi gugup tanpa menatap lawan bicara.

Suasana kembali hening antar keduanya untuk beberapa saat. Lalu Somi terlihat menarik napas dalam-dalam seolah sedang membuang segala beban yang menyesakkan dadanya.

“Sebenarnya, gue enggak tahu. Jujur aja. Ya, gue marah sama lo. Gue kesal sama semua perlakuan lo. Tapi ... memangnya gue bisa apa?” akhirnya Somi menoleh, menatap wajah Rangga dari samping yang sedang fokus pada jalanan.

Wajah dengan rahang tegas yang selalu terlihat menawan. Somi itu istri sahnya. Somi itu adalah perempuan yang punya hak atas tubuh Rangga yang notabenenya adalah suaminya. Tapi, entah kenapa, lelaki dengan badan penuh otot itu terasa sangat jauh untuk digapai lengan Somi yang kecil.

Apa ini pertanda yang dunia kasih?
Apa ini artinya Somi tidak akan bisa mendapatkan Rangga mau seberapa kuat pun usahanya?

Pertanyaan-pertanyaan serupa membuat kepalanya penuh. Rangga menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berwarna merah. Lelaki dengan potongan rambut buzz cut itu menoleh dan pandangannya bertemu dengan netra Somi yang sendu. Netra yang terasa sekali sakit di dalamnya.

Somi segera mengalihkan pandangannya, menatap kendaraan lain yang ikut berhenti menunggu lampu lalu lintas berubah ke warna hijau.

“Bisa enggak ya waktu diulang kembali. Diulang ke waktu pertama kita ketemu. Harusnya, malam itu gue lembur aja atau nginep di rumah Alia. Kalau kayak gitu kan kita enggak bakal ketemu dan kayaknya, capeknya gue enggak secapek sekarang.”

Somi menggigit bibir bawah pelan. Tangannya meremas tas tangannya yang terlihat gemerlap. Somi sudah tahu alasannya. Somi sudah mendapatkan cara menanganinya. Tapi, bagaimana dia harus memulainya?

Oh, My Husband (21+) (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang