Chapter 31. Keputusan

338 51 5
                                    

Keesokan harinya, Fiony bangun pagi-pagi sekali. Ia baru saja selesai menyusun pakaian ke dalam kopernya. Alat mandi pun sudah dibereskan dan sudah masuk ke dalam tas. Suasana pagi ini sangat sunyi. Bahkan suara AC kamar menjadi satu-satunya yang paling berisik. Semua yang dilakukannya terasa lamban. Entah perasaannya yang sedang mellow, atau memang ia sengaja untuk memperlama gerakannya dalam membereskan barang-barangnya di apartemen. Ya, ia berencana akan berpisah dengan Freya. Tidak tahu untuk sementara waktu, atau dalam waktu yang lama.

Ia melihat cangkir dengan ukiran nama khas sebutan dari Freya yang diberikan kepadanya. Cangkir itu terlihat kesepian di atas meja. Ia berencana membawanya, tapi ia berubah pikiran dan membiarkannya berada disana.

Freya memandangi Fiony yang terdiam menatap cangkir itu dengan waktu yang cukup lama. Ekspresi wajah Fiony yang datar dan sendu membuatnya menghela nafas dengan kuat. Jemarinya mencengkram ambang pintu untuk menahan diri agar tidak mengganggu gadis yang ada didepannya tengah melamun tersebut.

Sekilas, sorot mata Fiony menjadi turun dan kembali ke arah koper dan tasnya. Ia membalikkan badan menatap Freya dengan wajah sembabnya.

Hanya menatap. Tidak ada ucapan selamat tinggal. Dan mereka saling diam satu sama lain.

Fiony menarik koper dan tas yang hendak dibawanya keluar menuju lobi apartemen. Freya berlari kecil menyusulnya dari belakang hingga menuju pintu apart. Namun, tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya kecuali melihat sosok yang dicintainya berjalan perlahan menghilang dari pandangannya.

¤¤¤¤¤

Karena aku berangkat terlalu pagi, aku sendirian di RS sembari menunggu Jessi untuk datang. Barang-barangku sementara kutitipkan di rest area. Perutku keroncongan dan terasa perih akibat tidak makan dari kemarin malam. Aku kehilangan selera makan, tetapi aku takut jatuh sakit dan merepotkan rekan kerjaku karena kecerobohanku ini. Aku mengambil smartphone kemudian melangkah ke arah Cafetaria yang masih sepi. Hanya terbuka stand kopi dan makanan ringan disana, aku putus asa karena tubuhku mulai gemetaran.

"Fio? Kamu baik-baik aja?.", tegur seseorang yang enggan sekali kurespon.

Pasalnya, aku sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Namun, dengan berat hati aku menoleh dan melihat sosok Dokter Adel yang tinggi semampai dengan jas putihnya itu berada disampingku.

"Iya.", jawabku singkat.

Tanpa mengucapkan apapun, aku berencana melanjutkan langkahku untuk kembali ke rest area dan memilih menunggu hingga Jessi datang saja dibanding harus bertemu orang-orang yang membuatku hampir gila. Tiba-tiba, Dokter Adel memegang bahuku dan membuatku berhenti membalikkan badan.

Ia menyodorkan susu stroberi ke arahku, "Kamu kelihatan gak baik-baik aja. Mau cerita sama aku?."

Aku hanya memandangi tangannya yang mengudara kepadaku, tetapi tak sedikitpun kusentuh benda yang diberiikannya itu.

"Ambil aja. Sini kita duduk sambil ngobrol biar kamu agak baikan."

Ia menuntunku duduk di area Cafetaria. Dengan ramahnya menancapkan sedotan ke kotak susu lalu menaruh kotak tersebut dihadapanku.

Sejujurnya, aku sedari tadi tidak memikirkan apapun. Bahkan dari apartemen, aku sama sekali tidak punya tujuan. Aku merasa semuanya menjadi sangat menyakitkan. Begitu melihat orang-orang yang berinteraksi denganku adalah orang-orang yang mengenalku sudah dari lama tanpa aku ketahui, aku merasa dipermainkan. Untuk sekedar marah saja aku tidak sanggup. Dokter Adel yang sekarang sedang didepanku, masih memperhatikanku dengan raut muka tenang.

Ia memulai percakapan lagi, "Berantem sama Freya ya?."

"Iya.", sahutku sambil menatap kedua matanya.

"Dengar, aku mungkin gak tau apa yang sedang kalian laluin.. tapi- sabar ya. Freya memang gitu dari dulu. Susah kalau diajak ngobrol baik-baik."

FREYANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang