05

66 7 0
                                    

Semester baru telah dimulai. Sekolah yang telah menjadi sepi selama dua minggu itu kini kembali ramai dengan para siswa yang kembali datang untuk menimba ilmu.

"Theo!"

Jemy berlari menembus kerumunan siswa untuk menghampiri sosok pria kurus tinggi yang berjalan agak jauh di depannya.

Melingkarkan tangannya dengan santai di bahu Theo, Jemy melebarkan senyumnya meski matanya telah menangkap gurat kesal dan jengkel di wajah teman yang dipeluknya itu.

"Singkirkan tanganmu," tutur Theo dengan nada dingin.

"Tidak mau," balas Jemy dengan keras kepala.

Theo rasanya ingin mengumpat kasar lalu memukul kepala teman menyebalkannya ini. Tapi, jika dia melakukan itu nanti sia-sia saja dengan image anak baik yang selama ini dia jaga rapat-rapat. Fyuh, jadi sebisa mungkin Theo mencoba tenang.

"Jangan memeluk di depan umum," ujar Theo sambil menghalau tangan Jemy dari bahunya.

"Kenapa? Takut kalau dikira homo?"

Alis Theo berkedut. "Kau yang homo, bahaya jika kau jatuh cinta padaku karena terlalu sering memelukku seperti ini."

"Hump, menyebalkan!" Jemy melepas pelukannya dengan segera. Menepuk pundak Theo dengan sedikit kasar.

"Disini cuma kau yang menyebalkan, jangan lempar kenyataan itu padaku." Theo mengetuk dahi Jemy dengan jari telunjuk. "Apa yang terjadi, tumben sekali raja terlambat sepertimu masuk di pagi hari seperti ini?" imbuhnya kemudian bertanya.

Jemy mengangkat bahunya acuh. "Ini adalah semester awal, hari ini kita akan mendapat kelas baru jadi aku ingin mencari tempat yang bagus untukku sampai semester depan nanti."

Theo memutar bola matanya malas. "Semoga semester ini aku tidak berada dalam satu kelas denganmu," ucapnya jengah.

"Mengapa begitu? Tega sekali kau terhadapku yang menggemaskan ini."

Theo yang mendengarkan ucapan narsis tersebut pun segera memasang ekspresi wajah seolah ingin muntah dan membuat Jemy mendelik galak padanya.

"Itu mereka!"

Tiba-tiba sebuah suara berteriak mengagetkan Jemy yang segera menoleh ke arah suara tersebut.

"Wah apakah ini penglihatanku yang salah atau bagaimana aku tidak tahu, tapi menurutku Axel semakin terlihat tampan!"

"Benar, Axel terlihat lebih tampan dari semester lalu."

"Aih, tidak hanya Axel, sebenarnya mereka semua juga sama-sama tampan."

"Lihat mereka terlihat berwibawa."

"Cih bagaimana bisa mereka berwibawa? Mereka sebenarnya hanyalah seorang preman sekolah!"

"Jaga bicaramu! Bagaimana bisa orang seperti mereka disebut preman? Matamu pasti buta!"

"Ck, menyebalkan!"

Jemy menggeleng-geleng pelan kala mendengar celoteh debat dari fans dan hatters Axel serta gengnya.

"Axel memang tampan, tidak hanya perempuan bahkan seorang laki-laki saja bisa sangat kagum pada ketampanannya, tidak heran."

Theo melirik malas kepada Jemy. "Dan sepertinya aku tahu laki-laki yang kau bicarakan itu," ucapnya disambut kekehan renyah oleh Jemy.

Ya, Theo adalah teman terdekat Jemy. Maka dari itu ia telah mengetahui banyak hal. Dan tentu saja itu karena Jemy sendiri yang secara sukarela bercerita kepadanya.

"Hm, tapi bagaimana menurutmu? Siapa yang lebih tampan di antara dua kembar itu? Noah atau Axel?"

Jemy mengerutkan dahinya menatap seorang siswi yang baru saja bertanya kepada siswi lainnya.

"Entahlah aku sulit memilih, dua-duanya tampan," jawab siswi lainnya itu.

"Eh, begitukah? Tapi salahkah aku jika berpendapat Axel lebih baik?"

"Mengapa menurutmu begitu?"

"Tentu itu karena Axel memiliki temperamen yang baik dan juga dia adalah anak yang cerdas."

"Hm, benar juga."

"Meski Axel dan Noah kembar, namun mereka terasa jauh berbeda dan sangat bertolak belakang."

"Noah bisa dibilang tidak terlalu cerdas dan bertemperamen buruk, tentu dia tidak bisa menjadi lebih baik dari Axel."

"Haha."

Jemy yang masih setia mendengarkan sontak mencebikkan bibirnya. Dia diam-diam membenarkan pendapat siswi itu. Axel yang terbaik, Noah? Cih, orang seperti iblis dan jahat itu tidak bisa lebih baik seperti Axel!

Sungguh tidak pantas untuk membandingkannya meski mereka adalah kembaran.

Hump!

"Hey lihat mereka berjalan mendekat!"

"Mari menepi!"

Dua siswi yang sebelumnya berdebat di hadapan Jemy sontak menepi. Mereka membiarkan Axel dan gengnya berjalan lewat.

"Jemy?"

Jemy yang sebelumnya sibuk berpikir sampai tidak menyadari dua siswi yang telah dia simak gosipnya sudah menepi pun agak tersentak kaget. Netra bulatnya sedikit bergetar ketika menyaksikan Axel berdiri di hadapannya secara tiba-tiba.

"A-axel?" Jemy tergagap. Dia menoleh ke segala arah hanya untuk mendapati keberadaan Theo yang sudah menghilang dari sekitarnya. Sial, anak itu meninggalkannya kah?

"Jem?"

"Y-ya?" Jemy gugup dan mencoba menarik senyum terbaiknya. Dia tatap satu-persatu teman Axel yang juga sedang menatapnya serius sejenak sebelum kembali fokus kepada Axel. "Memanggilku?"

Axel menatap Jemy dengan tatapam rumit. "Memang ada orang lain bernama Jemy di sekitar sini?"

Jemy menggeleng cepat sebagai jawaban.

"Tidak, kurasa." Pipi Jemy memerah dan Axel memperhatikan itu dengan seksama. Sedikit kilat mata posesif melintas di sudut matanya tanpa diketahui oleh orang-orang sekitarnya.

Axel maju, memegang tangan Jemy dan menariknya pergi bersama.

"Axel? Ini?"

Tanpa menoleh, Axel mengeratkan genggaman tangannya. "Ayo pergi melihat pengumuman kelas bersama," tuturnya tegas tanpa perduli kepada Jemy yang diam-diam merasakan sakit pada genggamannya yang teremat.

Jemy tidak bisa membantah. Dia menjadi begitu penurut jika sudah berhadapan dengan Axel dan akan mengabaikan segalanya termasuk rasa sakitnya.

Selepas kepergian Axel dan Jemy, empat orang yang tersisa masih terdiam di tempat semula.

"Cih!" Noah berdecih sinis lalu beranjak pergi diikuti oleh Ezra meninggalkan Alvin dan Kara di tempat.

"Vin?"

Alvin menoleh ke arah Kara dengan senyum misterius di bibirnya. "Sudah dia mulai, jadi mari kita turut bergabung juga."

Kara, "..."

"Jangan lupa untuk mainkan peranmu dengan baik, Kara," kata Alvin lalu berjalan pergi ke arah yang sama dengan Axel dan Jemy melangkah sebelumnya.

---
Tbc

[BL] Because, I Love You! (Slow Up) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang