"Saya harus kembali, bagaimana pun saya harus segera menyelesaikan sekolah, saya, Ayah." Rakai menatap lantai keramik yang ada di bawah kakinya.
Setelah hampir satu minggu berada di rumah itu, nyatanya Rakai tidak diberikan izin untuk kembali lagi. Barang-barangnya hilang entah kemana dan para pengawal Ayahnya yang tidak memperbolehkannya untuk keluar dari rumah barang sejengkal pun.
"Jangan membual lagi. Saya tau semuanya." ucapan itu membuat Rakai menatap pria yang kini menghisap cerutu miliknya. "Kamu terobsesi dengan gadis itu bukan? Sekali lagi saya katakan. Kita berbeda dengan mereka. Dalam segala hal, kita berbeda. Orang seperti mereka, tidak pantas sedikit pun untuk dipandang." ujar Ayahnya tajam.
Rakai hanya diam. Ayahnya mendorong sebuah dokumen dan membukanya dengan lebar. Hal itu membuat mata Rakai ikut membesar.
"Kamu pikir kamu bisa bertindak semaumu saat saya tidak ada disana? Kamu salah. Apapun yang berkaitan dengan keluarga ini, terutama kamu sebagai penerusku, kamu harus menjadi sempurna. Jangan karena wanita rendahan ini kamu menjadi bodoh!" Ayahnya melempar dokumen itu dengan penuh rasa marah.
Rakai hanya bisa mengepal tangannya. Dokumen itu berisi foto rumah lamanya yang dimana ada satu ruangan dipenuhi foto-foto gadis itu, lalu ada potret televisinya yang menampilkan CCTV di rumah Thalita. Semua bentuk rasa obsesinya.
"Jangan merusak nama baik keluarga! Jangan seperti orang bodoh! Perempuan itu tidak pantas bahkan seujung jari pun!" teriak Ayahnya. "Jika sampai kamu bertemu dengan gadis itu lagi, jangan salahkan Ayah jika dia mati!" ancamnya dengan tatapan serius.
Rakai menatap Ayahnya yang juga menatapnya dengan tajam. "Mulai hari ini, kamu tidak boleh pergi kemanapun. Guru terbaik akan didatangkan ke rumah," ucapnya. "Sampai saya mati, kamu tidak akan pernah saya biarkan keturunan saya menyentuh manusia rendahan itu." hina Ranu Jayakarta lagi.
Rakai tidak bisa mengatakan apapun. Ayahnya tidak pernah melakukan ancaman palsu. Semuanya yang dia ucapkan adalah sebuah ancaman nyata. Laki-laki itu pamit undur diri dengan perasaan campur aduk. Namun, saat dia di pintu, suara Ayahnya membuatnya terdiam di sana selama beberapa saat.
"Anak dan Ibu sama saja. Sama-sama menyukai orang-orang rendahan." suaranya begitu tajam.
Rakai hanya diam sambil terus berlalu.
***
Sepertinya sudah menjadi hal biasa di rumah itu beberapa tahun belakangan melihat sosok Melisa yang meraung-raung dan menangis di beberapa waktu. "JANGAN PUKUL RAKAI, MAS! JANGAN PUKUL DIA LAGI!" teriaknya memberontak berusaha keluar dari kamarnya.
Terkadang Rakai hanya diam mendengar kehebohan yang dibuat Ibunya, namun beberapa kali dia juga berusaha menenangkan wanita itu. Seperti hari ini.
Rakai berusaha memeluk Ibunya yang masih berteriak dengan ketakutan. "Bu, ini Rakai. Rakai baik-baik saja." bisiknya.
"RAKAI DIPUKUL! RAKAI!" teriaknya dengan isakan. Setelah beberapa menit seperti itu, akhirnya wanita itu behenti dan pingsan. Selalu seperti itu. Dan Rakai menggendong Melisa ke atas ranjang kembali. Menatap dalam diam wajah Ibunya yang sudah semakin berkerut.
Ibunya dulu tidak pernah berani berteriak atau menghentikan Ranu Jayakarta memukulnya, Ayahnya yang temperamental selalu memberikan hukuman dengan kekerasan ketika apa yang dilakukan Rakai tidak sesuai ekspektasinya. Dan mungkin saja reaksi Melisa ini merupakan bentuk rasa bersalahnya pada Rakai.
"Nak, kamu istirahat saja, sudah malam." ucap Bi Ratna yang selalu sedia dua puluh empat jam menemani Ibunya.
Rakai menoleh, tersenyum tipis pada Bi Ratna. "Sebentar lagi, Bi, mau mastiin Ibu benar-benar udah tidur." ucapnya yang diangguki Bi Ratna.
Kekacauan terjadi setelah kakeknya meninggal. Banyak hal yang terjadi tanpa kendali. Salah satunya adalah perselingkuhan Ibunya yang terkuak tidak lama setelah Kakek meninggal. Ayahnya benar-benar murka dan bahkan hampir membunuh Ibunya, namun untung saja saat itu para pekerja di rumah menghentikan aksi itu.
Ibunya berselingkuh dengan seorang pria yang tinggal tidak jauh dari rumah kakeknya. Ibunya tergoda dengan tutur kata yang begitu manis dari pria itu, setelah memiliki latar belakang kehidupan pernikahan yang benar-benar dingin. Ibunya tau, cepat atau lambat Ranu Jayakarta akan tau dan dia bisa saja mati di tangan pria itu. Namun, rasa kekosongan dalam dirinya telah mengalahkan ketakutannya. Perselingkuhan itu terjalin hampir lima bulan sebelum kakeknya meninggal.
Dan benar, ketika Ayahnya tahu, dia benar-benar seperti orang gila. Dia sudah berhasil membunuh pria itu dan saat akan membunuh Ibunya, orang-orang menghentikan aksinya.
Karena perselingkuhan Ibunya, Rakai sempat dicurigai bukan darah dagingnya, namun setelah hasil test keluar, menyatakan bahwa mereka sedarah. Ranu Jayakarta mendidik Rakai dengan keras. Rakai adalah satu-satunya pewaris.
Ayahnya tidak menceraikan Ibunya, membiarkan Ibunya berada di rumah, namun dengan sikap seolah-olah wanita itu tidak pernah ada disana. Pembalasan dari Ranu Jayakarta itu lebih buruk dari sebuah perceraian. Ibunya seperti pajangan disana, hanya bisa menyaksikan apapun yang diperbuat Ayahnya tanpa bisa bicara. Salah satunya menyiksa Rakai.
Ayahnya memang sudah tempramen sebelum kakeknya meninggal, namun dia benar-benar seperti monster setelah apa yang terjadi. Orangtuanya meninggal dan istrinya berselingkuh.
Rakai adalah korban dari dua orang itu. Kini hidupnya seolah tidak memiliki tujuan. Yang berada di kepalanya, hanya Thalita yang mampu membuka tangan untuknya. Gadis itu menjebak Rakai saat dia berada dalam posisi sulit. Bayangan kehangatannya telah membuat Rakai kehausan. Dia ingin diperlakukan seperti itu, namun tidak ada yang memperlakukannya dengan demikian.
Hanya gadis itu yang mau mendengar cerita tidak masuk akalnya sejak kecil, hanya gadis itu yang memeluknya ketika dia terjatuh dan hanya Thalita tempat teraman baginya.
Keputusannya pindah hari itu adalah keputusan yang sudah dia rancang sejak lama. Entah sebuah cinta ataupun obsesi. Rakai menutup matanya.
Dia sudah tidak bisa membiarkan gadis itu pergi. Rakai membutuhkannya.
"Bi, saya ke kamar dulu." ucap Rakai setelah putus dari lamunannya, laki-laki itu bergerak dari kamar Ibunya dan berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas.
Kehampaan besar kini membolongi hatinya. Apapun yang dia miliki sekarang, tidak pernah mengobati kekosongan itu.
***
Note :
Terimakasih sudah mau membaca cerita ini sampai sekarang, aku benar-benar minta maaf cerita yang aku tulis masih sangat berantakan. Aku bakal terus belajar dan belajar lagi untuk lebih baik dikemudian hari. 💕
Btw aku mau minta rekomendasi novel yang bagus genre romance apa ya? Aku udah lama banget nggak baca ataupun beli buku :(
200 komentar untuk chapter selanjutnya, ya, cerita ini nggak bakal panjang, paling 25/30 hehe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rakai (END)
RomanceRakai, jika mengingat nama itu, Thalita membayangkan sosok adik laki-laki yang manja dan cengeng. Rakai saat kecil suka sekali melakukan dua hal itu dan Thalita yang pemikirannya terlalu dewasa di umurnya yang masih kecil menganggap tingkah laki-lak...