"Mau kemana, sayang?" suara manis Ibunya membuat Thalita berhenti mengoleskan lipstik di bibir pucatnya, gadis itu tersenyum sambil menjawab.
"Mau ke nikahannya Queen, Bu." ujarnya, seraya membereskan rambut di cermin yang ada di toko roti milik Ibunya. Dihari sabtu dan minggu Thalita lebih banyak menghabiskan waktu di toko roti milik Ibunya karena senin hingga jumat harus bekerja sebagai staff administrasi di sebuah perusahaan asuransi.
"Kemarin ke pernikahannya Vena, kemarin lagi ke pernikahannya Nurul, sekarang pernikahannya Queen, kamunya kapan?" goda Ibunya sambil membawakan gadis itu teh herbal.
Thalita cemberut, meminum teh buatan Ibunya hingga tandas. "Belum ada jodohnya, Bu. Doakan saja." jawab sebisanya. "Ibu 'kan Ayah udah bilang, kalau lagi hamil nggak usah kerja dulu, karyawan banyak, Ibu santai saja." omel Thalita menatap perut besar Ibunya.
Umurnya saat ini sudah dua puluh enam tahun. Usia yang cukup matang untuk bisa menikah dan memiliki anak di negara Indonesia. Namun, kehidupannya di usia dewasa ini ternyata tidak semudah itu. Bergelut dengan segudang pekerjaan, telah membuatnya jadi manusia terisolasi dari pria-pria lajang.
Apalagi setelah Ibu dan Ayahnya menikah lagi, sebuah plot twist di hidupnya bahwa dia tiba-tiba akan memiliki seorang adik saat dua puluh enam tahun. Benar-benar luar biasa. Daffa saat ini juga sudah bekerja sebagai guru olahraga di salah satu sekolah swasta. Siapa sangka bahwa Daffa yang dulunya nyeleneh itu kini menjadi seorang guru?
"Buruan nikah, ya, sayang, biar adik kamu nanti punya temannya. Anakmu adalah keponakan anakku." ujar Ibunya sambil mengelus perut buncitnya.
Thalita hanya bisa menghela nafas. "Cari suami nggak segampang itu, Bu." balasnya.
"Kamu sih, di jodohin nggak mau. Mana teman kerja kamu sudah bapak-bapak semua. Mana mungkin juga kamu dapat jodoh di tempat kerja." gumamnya. "Atau kamu masih nunggu brondong itu, ya? Yang pernah di ceritain Daffa?"
Rakai maksudnya. Sudah hampir satu windu mereka tidak bertemu ataupun berkomunikasi. Laki-laki itu benar-benar menghilang tanpa sedikitpun jejak tertinggal untuk membuat Thalita berharap dia akan kembali. Walaupun Rakai memintanya saat itu untuk menunggu, namun Thalita perlahan sadar tidak seharusnya dia mengharapkan sesuatu yang mustahil. Semakin dewasa, dia sadar bahwa banyak perbedaan dalam segi apapun dari mereka.
Walaupun dulu dia memang menyukai Rakai, namun delapan tahun bukan waktu yang singkat. Dia tidak pernah bisa melupakan laki-laki itu. Namun, jika di tanya mengenai perasaanya-"Nggak, Bu. Rakai cuma sebuah kisah lama. Sekarang aku sudah dua puluh enam tahun. Bukan. Bukan karena dia aku belum menikah, tapi memang belum ada jodohnya saja." gadis itu menatap dirinya yang telah rapi, lal mencium Ibu sebelum melangkah keluar dari toko roti itu. "Aku duluan, ya, Bu."
***
"Pertanda, nih! Member terakhir kita mau nyusul!" gelak tawa dari Vena membuat teman-temannya yang lain heboh.
Bucket bunga yang di lempar oleh Queen telah melayang mulus tanpa drama ke telapak tangannya. Kehebohan langsung terjadi karena memang hanya dia yang belum menikah dari teman-teman dekatnya semasa sekolah dulu.
"Doakan saja." Thalita terkekeh menerima ucapan itu, mereka selanjutnya menikmati sesi foto dan menikmati sepenuhnya acara milik Queen dan sang suaminya. Gadis itu tampak cantik dengan memakai gaun putih seperti seorang putri kerajaan. Tidak salah lagi, ini merupakan pesta pernikahan impian Queen yang pernah dia ceritakan saat sekolah dan kini dia berhasil membuatnya.
"Suami gue punya teman, bule dan jabatannya udah manager di perusahaan. Mau nggak, lo? Kalau mau, gue kasih nomor lo ke dia, biar kalian bisa pdkt." Vena mengelus perutnya yang mulai membuncit akibat kehamilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rakai (END)
RomanceRakai, jika mengingat nama itu, Thalita membayangkan sosok adik laki-laki yang manja dan cengeng. Rakai saat kecil suka sekali melakukan dua hal itu dan Thalita yang pemikirannya terlalu dewasa di umurnya yang masih kecil menganggap tingkah laki-lak...