Mereka bilang, kehidupan sebagai putri/putra mahkota itu menyenangkan. Kami mendapatkan fasilitas, pelayanan, serta kehormatan tertinggi. Keluarga kerajaan juga bahagia karena hidup bergelimang harta dan kasih sayang.
Kalau begitu gantikan aku menjadi putri mahkota. Aku ingin menjadi rakyat biasa agar hidup bebas dan bahagia.
Namaku Carrita Aurora, putri kedua Raja Felix dan Ratu Viella. Kakakku, putri pertama yang dilahirkan bundaku bernama Claire Hesperia meninggal dan tidak ada yang memberitahuku kenapa kakak meninggal. Saat itu aku masih berusia tujuh tahun, otakku tak bisa mencerna keadaan dengan benar.
Aku tidak tahu kalau saat itu istana ramai karena pemakaman kakakku, Claire.
Dua minggu setelah pemakaman, bundaku jatuh sakit. Beliau masih belum menerima fakta bahwa putri pertamanya telah tiada. Banyak dokter kerajaan ternama datang ke istana, namun tak seorangpun dari mereka bisa menyembuhkan sang ratu. Bunda mengurung dirinya di dalam kamar selama berhari-hari. Tak jarang aku juga mendengar suara gelak tawa dan tangisnya saat melewati pintu kamar.
Lalu bagaimana denganku? Tentu saja aku hidup tanpa kasih sayang seorang ibu. Bunda terus mengingat kakak hingga aku ditelantarkan.
Pernah sekali aku mencoba masuk ke kamar bunda karena aku sangat khawatir. Tapi apa yang kulihat? Keadaan bunda yang makin hari kian memburuk. Tubuhnya yang dulu segar, kini kurus tanpa daging. Matanya yang dulu berbinar, kini redup seperti tak ada sinar di matanya. Tubuh rampingnya itu sekarang tak terurus, ditambah lagi dengan kulitnya yang banyak bekas luka sayatan pisau.
"Bunda..." Bundaku menoleh ketika aku memanggilnya.
"CLAIRE? CLAIRE PUTRIKU?!"
"Bunda ini saya Calita, saya bukan kak Claire." Jawabku hampir menangis, bagaimana tidak? Bunda terus memanggilku dengan nama kakak. Bunda mengguncangkan tubuhku kasar hingga pundakku sedikit memar waktu itu. Tapi anehnya aku sama sekali tidak merasakan sakit di bagian pundak. Otakku sibuk bertanya-tanya, sebegitu tak terlihatkah aku di mata bunda? Kenapa hanya kakak yang diingat olehnya, kenapa bukan aku?
Tak lama setelah itu ayah datang ke kamar bunda karena mendengar tangisanku.
"Carrita, untuk sekarang jangan pergi ke kamar bunda ya? Kalau Carrita rindu, Carrita bisa memanggil ayah untuk menemani Carrita datang kemari. Mengerti?" Kepalaku mengangguk begitu saja saat ayah datang dan menggendongku menjauhi bunda.
Hatiku sakit.
Kenapa untuk sekedar mendekati bunda saja aku tidak bisa?
Kenapa?
Kenapa?
"Carrita disini dulu ya sayang, dengan bibi Eria." Ayah memindahkanku ke pangkuan bibi Eria. "Ayah akan pergi ke kamar bunda, Carrita jangan nakal ya sayang." Ayah mengusap kepalaku pelan, ia tersenyum sebelum pergi meninggalkanku.
"Tuan Putri, ayo kita ke kamar. Saya akan membawakan kue stroberi kesukaan anda."
Bibi Eria adalah kepala pelayan di istana, tugasnya banyak karena ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang terjadi di istana. Beliau juga sangat baik padaku. Ia selalu menghiburku ketika aku sedang sedih, meskipun sibuk.
Tapi itu saja tidak cukup, aku ingin lebih. Aku serakah karena ingin diperhatikan oleh bunda. Saat bibi Eria pergi, aku mencoba naik ke atas pohon yang dekat dengan jendela kamar bunda. Aku terus berusaha memanjat pohon hingga bisa sampai di dahan yang lumayan tebal. Kucoba untuk merangkak mendekati jendela.
"Bunda." Akhirnya aku bisa melihat bunda yang tertidur tenang di kamarnya. Bibirku tersenyum ketika melihat bunda. "Calita ikut tidur ya." Kegiatan itu terus aku lakukan hingga rasa rindu di dadaku berkurang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Silent Whispers
FantasyMencintai atau dicintai, keduanya serupa namun tak sama. Tergantung bagaimana cara kita melihat dan merasakannya [Update terus kalo lagi gak writer block]