13. Thrust

520 38 0
                                    

Kau tak perlu mengelabuiku,
dengan suara lirih
Jarak diantara kita sedekat nadi dan arteri,
namun terasa seperti langit dan bumi
Meski begitu, aku tetap ingin berada di sisimu

Karma melepaskan bibir yang tadi menempel di bibir Carrita. Pria itu tertawa ketika melihat ekspresi Carrita. Gadis itu terlihat lucu dengan wajah semerah tomat, matanya juga berkedip beberapa kali, seakan memastikan ini semu atau kenyataan.

"Maaf kalau aku membuatmu kaget." Karma mengelap bibir Carrita dengan ibu jarinya. "Aku tidak tahan membersihkan sisa gelato yang menempel di bibirmu." Setelah selesai, Karma menjilat ibu jarinya sendiri. Carrita masih terdiam mematung di tempat. Jantungnya masih berdebar tak karuan. "Kamu tidak apa-apa?" Tanya Karma khawatir.

"T-tidak apa-apa kok, m-maaf aku hanya kaget." Wajah Carrita makin memanas.

"Kamu serius?"

"Karma-"

"Iya?"

Carrita hampir bertanya tentang perasaan Karma padanya, tapi ia mengurungkan niatnya itu. Sekalipun, ia tak boleh berpikiran terlalu jauh. Contohnya seperti Karma yang mungkin mencintainya, hanya karena telah diselamatkan.

"Tidak ada, aku hanya memanggil namamu saja." Jawab Carrita sambil menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal.

Tiba-tiba angin berhembus kencang, membuat Carrita sedikit menggigil. Bagaimana tidak? Tubuhnya hanya dibalut kain sutera yang tidak terlalu tebal. "Dingin ya? Ayo aku antarkan kamu pulang." Karma menggandeng tangan Carrita lembut.

Kenapa malam cepat sekali datang sih? Kenapa waktu tidak mengizinkanku berlama-lama berduaan dengan Karma? Aaaa aku tidak ingin pulang!

Karma yang biasanya dingin dan tak banyak bicara itu menjadi cerewet ketika bersama dengan Carrita, tak jarang pria itu menunjukkan senyumanmya yang menawan. Wajar saja gadis di negara ini banyak yang menyukainya. Pesonanya memang tiada tanding.

"Ya orang itu kencing di celana saat aku mengarahkan pistolku di wajahnya." Karma menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun berlayar. "Aku masih ingat wajahnya yang memelas itu."

Carrita tertawa mendengar cerita pemberontak yang kencing di celana karena sangat takut dengan Karma. "Lalu apa yang selanjutnya terjadi?"

"Aku tetap menembaknya di tempat sih, kamu tahu aku tidak memiliki rasa belas kasih pada pemberontak dan pengkhianat negara." Karma terkekeh pelan setelah menjawab. "Oh sudah sampai di gerbang istana, mari turun." Karma membantu Carrita turun dari kereta kuda. Setelah gadis itu turun dengan selamat, Karma memberikan salam hormatnya. "Hari ini sangat menyenangkan, dan itu semua karena Yang Mulia Putri. Terima kasih banyak atas kemurahan hati anda." Karma kembali menggunakan bahasa formal mengingat mereka berdua sudah berada di area istana.

Carrita memegangi roknya dan membalas salam hormat Karma. "Saya tidak akan melupakan malam yang indah ini sepanjang hidup saya. Terima kasih kembali, Duke Karma." Carrita tersenyum manis pada Karma.

"Kalau begitu, saya mohon undur diri Yang Mulia Putri. Selamat malam." Karma mencium punggung tangan Carrita.

"Selamat malam, Duke Karma. Hati-hati di jalan." Carrita melambaikan tangannya tepat saat Karma telah berada di dalam kereta kudanya. Perlahan tapi pasti kereta kuda itu pergi meninggalkan istana. Puas melihat kepergian kereta kuda Karma, barulah Carrita memasuki istana. Gadis itu berjalan riang menuju kamarnya.

"Yang Mulia Putri, anda akhirnya pulang. Saya khawatir." Buru-buru Maria menyambut majikannya yang masih saja tersenyum seperti orang gila. "Kelihatannya anda benar-benar senang."

Silent WhispersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang