2

515 59 3
                                    

✨✨✨

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


✨✨✨








Bahkan sinar mentari pun enggan untuk masuk ke dalam kawasan seperti ini. Bertempat di tengah hutan yang rimbun akan pepohonan yang tinggi. Dua orang wanita sedang berjalan menelusuri jalan setapak. Dengan rasa takut yang terus bersarang di benaknya.

"Belum juga masuk, kak. Udah begini aja."

Angin, nampaknya bukan tempatnya di sini. Tempat ini seperti ruang hampa yang bahkan suara serangga pun tidak ada.

Mereka berdua melangkahkan kakinya semakin dalam. Menampakkan sesuatu yang berada di ujung sana. Tepat berada di tengah lingkaran.

Saat sudah dekat, Christy memaku langkahnya. Membiarkan sang kakak yang mendekat ke benda tersebut.

Nampak berdiri sebuah meja tua dengan akar pohon yang melilit di setiap sisinya. Entah akar pohon apa itu. Di atas meja tersebut, ada sebuah cawan tua dan secangkir air.

"Kak Chika..."

Chika menoleh ke belakang, mendapati adiknya yang menggeleng ke arahnya. Meminta Chika untuk mengurungkan niatnya.

"Tenang aja, Christy. Kamu percaya sama kakak 'kan?" Christy mengangguk. Menerbitkan senyum manis di bibir Chika.

Kembali Chika menghadapkan dirinya ke depan. Merogoh sakunya kemudian mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, meletakkannya di dalam cawan tersebut.

Chika meraih gelas yang berisi air, kemudian menuangnya hingga merendam bungkusan kecil tersebut.

"Ayo! Bereaksi!"

-

"Gita, lepaskan! Dia istrimu!"

Muthe yang panik karena ayahnya kambuh lagi memutuskan untuk keluar rumah. Memanggil para tetangga untuk dimintai bantuan.

Kini tetangganya sudah berdatangan, berusaha melepaskan tangan Gita yang Manarik kuat rambut istrinya. Eli pun hanya bisa meringis sembari memegangi rambutnya.

Entah sengaja atau tidak, ada seorang tetangga yang datang kemudian menutup kedua mata Gita dengan sebuah kain. Saat itu juga, tubuh Gita melemas. Tangannya juga terlepas dari rambut Eli.

Gita mengejang beberapa saat hingga akhirnya tak ada pergerakan apapun. Kain itu lantas dibuka dan mendapati Gita yang sudah tak sadarkan diri.

Muthe dan juga Eli mengucapkan terimakasih kepada para tetangga yang sudah membantu keluarga mereka.

"Kalau bisa, dibawa ke rumah sakit jiwa saja Bu, suaminya." Saran seorang warga yang berjalan keluar kemudian mengenakan alas kakinya.

"Tapi suami saya nggak gila, Pak." Tetangga itu hanya bisa menghela nafasnya. Tak ingin memperpanjang ucapannya.

"Kalau dilihat dari kejadian tadi, itu udah sakit sih, Bu." Tetangga itu pergi, meninggalkan Muthe dan juga Eli yang memikirkan ucapannya.

Muthe menutup pintu depan, sedangkan Eli berlalu ke dalam kamar untuk memeriksa keadaan suaminya. Muthe mendekat ke arah Eli, menyisir rambut bundanya yang kusut serta berantakan dengan ruas ruas jarinya.

"Makasih, Muthe." Eli memandang wajah suaminya dengan cemas. Apa yang harus mereka lakukan agar kelakuan Gita kembali normal seperti dulu?

-

"Ayah dari mana?"

Seorang pria paruh baya melepaskan alas kakinya kemudian menghampiri anaknya yang baru saja datang dari kota.

"Ayah dari rumah tetangga. Ada masalah sedikit." Anaknya pun mengangguk kemudian mereka mendudukkan diri di sofa ruang tengah.

"Gimana kesan kamu selama di kota?" Wanita itu tersenyum. Bingung harus mengatakan apa.

"Kalau boleh jujur, gaya hidupnya jauh berbeda, Yah." Mereka berdua terkekeh.

Memang perbedaan dari kota dan desa adalah gaya hidupnya. Mungkin itu berbanding lurus dengan pendapatan mereka.

"Shani—"

"Sebentar, ayah. Ini cairan apa?" Shani tak sengaja melihat cairan hitam pekat di kain yang ayahnya bawa.

Sang ayah yang terkejut dengan penuturan sang anak pun memeriksanya. Dan benar saja, ada cairan hitam yang menempel di kainnya.

"Loh. Cairan apa ini?" Ayahnya mendekatkan cairan tersebut ke hidungnya. Tak berbau apapun. Ia menoleh ke arah anaknya, yang di jawab oleh gelengan.

"Ilmu hitam... Mungkin."




✨✨✨

On The Weakness [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang