Berdarah

10 4 0
                                    

Rembulan terkejut melihat Bumi berdiri bersandar didinding didepan pintu kantin. Wajah buas Bumi membuat Rembulan tahu masalah yang akan dihadapinya.

Bumi memotong langkah Rembulan namun Rembulan berbelok sedikit menghindari Bumi dan terus melangkah menjauhi biang masalahnya. Bumi bertambah kesal, lalu menarik lengan kiri Rembulan.

"Lepasin!" Rembulan menghentakkan tangannya mencoba melepaskan diri dari cengkraman tangan kekar Bumi.

Bumi berdesis perih.

"Betina brengsek."
Lengan Bumi berdarah, mengucur keluar dari robekan terkena tepi keranjang roti Rembulan. Sekelebat bayangan penuh darah ayah Rembulan muncul yaitu saat Rembulan kecil menemukan sang ayah berlumuran darah akibat kecelakaan. Nafas Rembulan menjadi berat, wajahnya memucat, pandangannya menjadi kosong. Keranjang roti terjatuh dari tangannya.

"Bulan?" suara berat Bumi menyadarkannya. Rembulan mulai menangis, menitikkan air matanya yang mulai berat. Suaranya mulai terdengar pilu.
"Bumi, kamu berdarah."
Bumi yang sedari tadi memperhatikan Rembulan memang sudah tahu bahwa lengannya berdarah.

Rembulan mengambil sapu tangan merah muda dari dalam saku rok nya, lalu menempelkan sapu tangan kesayangannya pada luka Bumi. Rembulan belum habis menangis. Kedua tangannya menyentuh lemah lengan Bumi.

Bumi bingung. Ia berniat ingin balik menyumpahi Rembulan, namun jika sudah seperti ini orang-orang yang melihat pasti berpikir bahwa Bumi sudah bertindak kejam kepada gadis polos itu.

Tangan Bumi menyentuh kedua tangan Rembulan yang sedang menekan luka gores Bumi. Terasa dingin jari jemari Bulan.

"Gue yang luka kenapa lo yang nangis."

Makin kuat sesegukkan Bulan. Bumi semakin kalut. Kenapa jadi begini, ujarnya dalam hati.

Matahari dan Bintang datang menghampiri mereka.

"Ada apa ini?" tanya Matahari.

Rembulan sadar akan suara lemah lembut itu.
Ia mencoba untuk menjelaskannya dengan sesekali diiringi sisa-sisa tangisnya. Bumi menjadi serba salah, Bintang tersenyum geli melihat saudaranya itu salah tingkah.

"Ya udah Bulan, Bumi nya biar nanti dirawat dirumah aja ya," Matahari mencoba menenangkan.
Bumi melepaskan tangan Bulan dengan pelan. Dipandanginya gadis cengeng itu dalam-dalam. Matanya memerah, garis-garis air mata masih membekas dipipinya. Seberapa dalam pilu dihatinya sampai-sampai bisa menangis seperti itu.

"Bulan tinggal dimana? Biar sekalian dianterin pulang," Bintang buka suara sambil tersenyum seraya meminta izin Matahari selaku supir hari ini.

"Gue udah pesen ojol," jawab singkat Rembulan dan mulai tersadar akan keranjangnya yang berserakan dilantai.

Matahari pamit lebih dulu kepada Rembulan, Bintang pun ikut tersenyum ramah padanya. Namun Bumi tak ingin melihat wajah sedih Rembulan lagi, ia segera menjauh dari sisi Rembulan.

***

"Lucu banget sih!" Bintang memecah keheningan didalam mobil.
"Apa yang lucu," jawab sewot Bumi
"Tadi.. hiks.. saya gak sengaja.. hiks.. buat Bumi berdarah..hiks.." Bintang meniru gaya sesegukan Rembulan saat mencoba menjelaskan kejadian tadi. "Gemes banget gak sih.." lanjut Bintang
Bumi menggenggam erat sapu tangan merah muda milik Rembulan tadi. Dan Matahari tetap tersenyum tenang menghadapi tingkah dua saudaranya itu.

***

Dikamar, Rembulan terduduk diatas kasurnya. Wajah dan tangannya masih basah. Tak lama, ia segera menyadarkan diri dan bangkit seraya meraih mukenah dan sajadahnya dari dalam lemari.

***

Rembulan sudah tiba disekolah lebih awal dari kebanyakkan murid yang lain. Setelah ia menyelesaikan urusannya dengan Ibu Nur, Rembulan bergegas menuju ke dalam kelas. Namun ia hanya melongo melihat dari luar pintu. Rembulan berpikir, apakah benar Bumi akan datang lebih awal seperti kemarin. Dan jika tebakannya benar, Bumi mungkin berada distasiun radio sekolah. Rembulan mempercepat langkahnya.

Sesampai didepan pintu stasiun radio sekolah, terlihat bahwa didalam masih gelap. Bumi belum tiba atau bahkan tidak akan tiba hari ini, begitu pikir Rembulan.

"Ngapain disini?" Itu suara berat Bumi.
Rembulan membalikkan badan dan ternyata tebakannya benar.
"Bagaimana luka lo, apa sudah mendingan?"
Wajah cemas Rembulan membuat Bumi tak bisa berkata apa-apa.
"Gue sudah beli obat kemarin, salep, biar lukanya cepat kering." Rembulan menunjukkan sekantong kecil entah berisi apa.

Bukannya merespon, Bumi malah salah tingkah saat seorang murid berjalan kearah mereka namun ternyata murid itu berlalu begitu saja.

"Masuk." Bumi membuka kunci pintu stasiun radio dan mempersilahkan Rembulan untuk masuk.

Ruangan masih gelap, tapi Rembulan sudah terjebak didalam kegelapan yang menyesakkan. Rembulan berbalik badan berniat untuk kembali kebelakang, kearah pintu. Namun tiba-tiba lampu stasiun radio menyala dengan terangnya. Dan Bumi pun berdiri tepat didepan hidungnya.

"Sorry.." Rembulan gugup dan mundur selangkah kebelakang.

Lagi-lagi Bumi tak mampu bergerak dan berkata apa-apa. Rembulan tersadar karena bunyi gemerisik dari kantong kertas didalam genggaman tangannya.

"Aah.. iya.. biar gue liat luka lo.." belum diberikan izin, Rembulan meraih tangan Bumi yang terluka. Bumi menahan tangan Rembulan.
"Tapi janji jangan ada drama tangis-tangisan lagi."
Rembulan mendongak menatap Bumi yang lebih tinggi darinya. Ia pun tersenyum lalu mengangguk.

Luka Bumi tak begitu dalam, terlihat bahwa luka dilengan Bumi sudah hampir kering. Rembulan membuka kantong kertasnya, lalu mengeluarkan satu tube salep luka dari dalamnya. Rembulan mengoleskan salep itu pada luka Bumi dengan sesekali meniup luka Bumi. Bumi tersenyum kecil, karena sedari awal memang tidak pedih sama sekali.

"Tolong dioleskan pada luka tiga kali sehari ya, dioleskan teratur biar cepat kering dan tidak infeksi." Rembulan menjelaskan seraya mengemas kembali salep luka pada kantong kertasnya. Kata tolong yang digunakan Rembulan membuat Bumi tersentak. Ia bahkan meminta tolong untuk luka orang lain agar rajin diobati, begitu pikir Bumi.

Dan tiba-tiba pintu terdorong kedalam. Bumi dan Rembulan yang sedari tadi memang berdiri dibelakang pintu ikut terdorong berdekatan. Sekian detik itu terasa begitu lama jalannya. Mata jernih dan indah Rembulan bertatapan lembut dengan mata cerah Bumi. Mata Bumi lebih cerah dari pada mata Matahari. Tatapan lembut Rembulan membuat Bumi salah tingkah dan memalingkan wajah.

RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang