Ice Americano

5 4 0
                                    

Bumi menjelaskan detail tentang perangkat siaran radio itu. Sebenarnya Rembulan masih setengah tidak percaya dengan apa yang terjadi. Bumi seperti tahu apa yang ada dibenak Rembulan yang sedari tadi hanya mendengarkan ocehan Bumi tanpa berkata apapun.
"Lo gak mau ikut jadi tim MJR?" tanya Bumi pasrah.
"Gue aja gak tahu tugas gue apa, ngelakuin apa?"
"Haa.." Bumi berdesah pasrah. Pasti Rembulan bingung dengan skenario yang dipaksakan oleh Bumi ini.
"Tugas lo adalah melakukan siaran pagi, untuk mengisi kekosongan ruang udara dipagi hari, datang lebih pagi dari pada yang lain."
Rembulan mengangguk mengerti.
"Gajian setiap bulannya sebesar 3 juta rupiah."
Rembulan terbelalak.
"Tiga juta?"
"Kurang?" tanya balik Bumi
Rembulan menggeleng cepat. Bagaimana mungkin sebuah klub sekolah menggaji muridnya dengan nominal sebesar itu.
"Siaran apa?" tanya Rembulan yang memang tidak tahu harus apa
"Haaaah...." Bumi tertampar realita. "Lo buat proposal dan kasih ke gue besok pagi disini."
"Baik," jawab Rembulan cepat. Rembulan berjalan keluar meninggalkan Bumi diruang siaran yang dingin. Bumi tampak kacau bahkan sampai mengacaukan tatanan rambut rapinya sendiri.

***

Jam pelajaran berakhir, Rembulan berjalan menuju ke kantin untuk menyelesaikan tugas hariannya. Berjalan dengan dua keranjang roti, hari ini masih ada roti yang tidak terjual. Namun Rembulan tetap bersenang hati, ia sudah memimpikan menerima gaji bulanan sebesar 3 juta rupiah. Sebuah nominal yang lumayan baginya untuk membantu kehidupan hariannya.

Rembulan berjalan keluar pagar sekolah, berjalan agak jauh sampai kesimpang lampu merah. Disana terlihat segerombolan anak-anak pengamen jalanan. Sedang duduk-duduk menunggu giliran lampu merah menyala. Rembulan mendekati mereka, lalu membagikan sisa rotinya hari ini. Satu orang anak mendapatkan satu bungkus roti. Mereka terlihat riang dan langsung memakan habis roti-roti itu ditempat.

Dari arah mobil yang berhenti menunggu lampu hijau, pemandangan Rembulan berbagi nampak jelas dari dalam mobil tiga bersaudara Hadijaya.
"Rembulan itu kok bisa sih bawa-bawa keranjang roti itu terus?" tanya Bintang
"Rembulan itu suplier roti dikantin sekolah kita," terang Matahari
"Oohh.. tapi beneran deh, Rembulan itu cantik banget, padahal dia miskin tapi masih bisa berbagi." Bintang mengutarakan perasaannya
"Stop bilang miskin - miskin." Bumi menekan suaranya. Matahari mengangguk setuju.
"Sorry, tapi seriusan deh, Rembulan itu sudah punya pacar belum ya?" tanya Bintang ke Matahari
"Kenapa tanya gue, tanya Bumi dong, Bumi kan temen sekelasnya." Matahari tertawa ketika menjawab pertanyaan Bintang. Bintang memalingkan wajahnya ke Bumi, namun Bumi tak bergeming.
"Fix, gue mau deketin Rembulan."
"Rembulan, Rembulan, dia itu lebih tua dari lo, panggil dia kakak," ketus Bumi.
"Sewot bener."
Perjalanan pulang berjalan seperi biasanya Matahari membelokkan mobil yang dikendarainya mampir kesebuah coffee shop. The dream coffee, begitu nama coffee shop itu terbaca. Matahari keluar dari dalam mobil dan berjalan masuk kedalam toko. Pegawai toko menyambutnya dengan ramah. Matahari membalas dengan senyuman manis dan terus berjalan kearah tempat memesan kopi. Sore itu toko sedang tidak banyak tamu.

Lidya sudah hafal betul apa pesanan kopi Matahari. Matahari selalu memesan Ice Americano, walau sedang ada varian rasa baru ataupun sedang ada diskon dimenu lain.
"Selamat siang, apa pesanan kakak ice americano?" Lidya berusaha profesional, ia tak ingin mengingat-ingat fakta mengejutkan tadi siang dikantin sekolah.
"Gak, gue mau pesan yang lain." Lidya terkejut, satu tahun telah berlalu dan seorang Matahari mengubah menu kopinya adalah hal pertama baginya.
"Mau pesan apa kakak?" Lidya mencoba untuk terus tersenyum ramah.
"Gue mau pesan hati lo."
Pernyataan mengejutkan Matahari kepada Lidya membuatnya tidak percaya. Bukannya berbunga-bunga Lidya terlihat seperti akan meledak karena marah.
"Hati saya tidak dijual kakak, ada pesanan yang lain?"
"Masa lo gak paham juga, gue setiap hari datang kesini dan hanya mau lo yang layani, bahkan lo sudah tau sekarang kalo gue gak bisa minum kopi, tapi lo masih mau menyangkal."
Andrea salah satu pelayan mendekati Lidya dan mempersilahkan Lidya untuk meninggalkan meja kasir. Lidya melepas  apronnya berjalan keluar dari meja kasir dan menarik tangan Matahari keluar dari coffee shop. Alhasil pemandangan Lidya dan Matahari menjadi tontonan Bumi dan Bintang dari dalam mobil.

"Lo salah makan apa sih?" ketus Lidya
"Lidya, lo pasti tahu kalo gue tulus ke lo."
"Dari mana tulusnya Matahari?"
"Itu karena lo gak mau lagi gue deketin."
"Cukup Matahari, gue lagi kerja, kalo lo gak ada niat untuk beli, silahkan lo pulang aja." Lidya mencoba mengusir Matahari dengan sopan. Matahari merasa jengkel dengan dirinya sendiri, kenapa untuk urusan hatinya itu bisa tertunda sampai satu tahun lebih seperti itu. Lidya masuk kembali kedalam toko, dan Matahari berjalan gontai masuk kembali kedalam mobilnya.

"Lo masih belum baikkan sama Lidya?" tanya Bumi
"Itu karena lo gak mau bantuin gue."
"Sorry brother, bukannya gak mau bantuin, lo gak inget, waktu gue berusaha ngedeketin lo sama Lidya lagi, malah fans gue membully dia, kan kasian banget lihat dia kemarin."
"Aaahhkk.. tau aah.."

Matahari yang selalu tampak berwibawa itu terlihat kehilangan semangatnya. Matahari mengerti betul bagaimana Lidya bisa sakit hati seperti itu. Sewaktu ia masih menjabat sebagai ketua osis dan Lidya adalah anggota osis dari kelas X, Matahari merobek surat cinta Lidya dan membuang kopi pemberian Lidya tepat didepan mata Lidya. Tapi apa yang diperkirakan Lidya tak tepat seratus persen seperti perkiraannya. Namun Lidya sudah terlanjur patah hati dan tidak mau lagi berurusan dengan Matahari dan memilih mengundurkan diri dari anggota osis.

RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang