Red Flag

4 3 0
                                    

Pagi hari Rembulan melangkahkan kakinya dengan gontai kearah kantin sekolah. Hari ini keranjang yang dibawanya berbeda, lebih kecil dari yang kemarin. Itu karena keranjang roti yang biasa ia gunakan tertinggal dikantin. Selepas serah terima roti dengan Ibu Nur, Rembulan menuju ke stasiun radio. Setelah membuka pintu dan menyalakan sakelar listrik, Rembulan memasuki ruang kaca untuk siaran keduanya.

Ia memasang musik instrumental Kiss The Rain karya Yiruma. Dan ia pun mulai membacakan puisi karyanya sendiri.

"Tempat baruku"
"Bersinar dan begitu berkilau"
"Sampaiku tak sanggup untuk mengangkat kepala"
"Tanah yang kupandangi begitu goyah."
"Hujan yang datang selalu membuatkan kebasahan"
"Tempat berteduhku berlubang"
"Aku berharap hujan meneduhkan langit itu"
"Dinding tempatku bersandar penuh duri"
"Berlari namun ujung jalannya berputar tak putus"
"Angin semilir pun sekarang begitu tajam"
"Merobekku hingga kesanubari"
Rembulan menghentikan puisinya. Tak terasa air matanya terjatuh dipipi.
"Susah payah ku kumpulkan semua keping diri"
"Menyusunnya bagai puzzle yang tak boleh hilang"
"Mencoba bangkit dengan tangan-tangan terulur"
"Kalian ada, teman."
"Kalau tidak ada baju-baju hangat ini, aku pasti menjadi debu"
"Rembulan, Mei 2024"

Rembulan mematikan pengeras suaranya, membiarkan musiknya mendominasi.

Diluar pintu, Bumi berdiri mematung. Gadis cantik itu sedang tak baik-baik saja. Suaranya tetap tenang terdengar, lembut dan merdu seperti biasa. Kemana tangisnya selama ini. Kenapa bisa tak pernah Bumi melihatnya lagi selain soal "berdarah". Ia harus mencari tahu banyak lagi soal gadis cantik itu. Iya, harus digali lebih banyak lagi. Supaya ia tak menangis lagi atau ada Bumi bagi Rembulan untuk bersandar saat menangis.

Bumi membuka pintu, dilihatnya Rembulan duduk diruang siaran. Masih mengenakan earphone, menghadapi komputer untuk melihat-lihat email yang masuk.
"Teman-teman MJR jika ingin puisinya dibacakan seperti tadi, bisa langsung mengirimkannya via email, via chat ke tim MJR, atau bisa juga pakai kertas, tulisan tangan, kasih ke tim, boleh juga gitu," ujarnya sambil tertawa renyah. "Ditunggu karya puisinya ya teman-teman." Rembulan melihat kedatangan Bumi, ia kembali mematikan pengeras suaranya dan berjalan keluar ruang siaran.

"Kapan datang?" tanyanya sembari tersenyum manis
"Baru aja," jawab Bumi datar.
"Lo denger puisi gue gak?" tanya Rembulan sekali lagi
"Gak, gue baru aja nyampe, kenapa?" kali ini Bumi yang balik nanya. Rembulan tampak cemberut. Bumi tersenyum tipis.
"Gak apa-apa," jawab gak niat Rembulan
Bumi mengalihkan pembicaraan.
"Udah ada yang kirim karya puisinya?" tanya Bumi
"Belom ada." Bulan tampak khawatir
"Ya udah, kamu bacain lagi aja karya puisi yang lain, jangan kosong terlalu lama."
Rembulan mengangguk dan masuk kembali keruang siarannya. Rembulan sekarang membacakan puisi karya Marianne Williamson, Our Deepest Fear.

Selesai, Bumi memanggil Rembulan untuk keluar dengan isyarat gerakan tangannya.
"Kamu udah sarapan?" tanya Bumi
"Udah."
"Sarapan apa?" tanya Bumi bingung, tak ada aroma makanan distasiun radio, tak ada pula sisa bungkus makanan.
"Roti."
"Kapan?"
"Dirumah tadi."
Hati Bumi berdenting.
"Gue lapar, temenin gue sarapan." Bumi bangkit dari duduknya dan berjalan kearah pintu. "Ayo Bulan, gue beneran lapar." Dengan setengah terpaksa Rembulan mengikuti Bumi dari belakang.

Dikantin, Bumi memilih bubur ayam sebagai sarapannya. Rembulan duduk saja dikursi kantin, sedang main game dihandphonenya. Bumi menghampiri dengan dua mangkuk bubur.
"Banyak bener lo makan," ujar Rembulan
"Buat lo satu." Bumi meletakkan semangkuk bubur didepan Rembulan.
"Gue gak pesan."
"Gak suka?"
"Bukan gak suka, tapikan gue gak mesan."
"Udah makan aja, repot banget."

Rembulan pasrah menyendokkan bubur masuk kemulutnya. Bubur yang dijual disekolah elit emang beda. Apa ini buatan chef ternama, kenapa rasanya lebih mantap dari pada bubur pinggir jalan, ucapnya dalam hati. Bumi puas dengan pilihan menu sarapannya pagi itu. Mata Rembulan tampak berbinar-binar saat memakannya.

"Waktu masuk kelas udah mau tiba, lo kembali aja kelas."
"Baik."
"Yang matikan siaran?" tanya Rembulan
"Biar gue."

Rembulan berdiri sambil membawa nampan kotornya kebagian nampan kotor, begitu namanya tertera. Dan ia pun berniat membayar sarapannya pagi itu. Ibu penjual bubur menolaknya dan mengungkapkan semua yang dimakan tadi sudah dibayarkan Bumi. Rembulan menghampiri Bumi yang masih duduk dimejanya.

"Bumi, lo tadi yang..."
Bumi tiba-tiba berdiri, berjalan menaruh nampan kotornya. Rembulan mengikutinya dari belakang.
"Bumi, Lo ya yang tadi sudah.."
"Aah.. ayo Bulan, ini sudah jam berapa, cepet dikit." Bumi mempercepat langkahnya dan sudah sampai kedepan pintu kantin.

Bumi berjalan didepan Rembulan. Langkah kaki Bumi lebar dan cepat, Rembulan susah payah mengimbanginya. Bumi merasa ada yang salah dengan itu. Ia mulai melambatkan langkah kakinya dan sekarang Rembulan berada disampingnya.
"Bumi, ke stasiun radio sebelah sana." Rembulan menunjukkan arah ke stasiun radio.
"Ada yang mau gue ambil dikelas."
Rembulan mengangguk mengerti.

Jam istirahat siang. Bumi terus berada disamping Rembulan. Bahkan dengan berbagai alasan, Bumi seperti mengantarkan Rembulan dan Lidya ke perpustakaan. Namun Bumi lebih memilih untuk kembali ke stasiun radio, karena kewajibannya sebagai produser. Namun saat keluar dari perpustakaan pun, Bumi juga sudah berdiri diluar sana.

"Udah kelar?" tanya Bumi sambil memainkan handphonenya.
"Udah."
Bumi melihat buku yang dipinjam Rembulan kali ini. Buku bertuliskan tentang Anatomi Fisiologi Manusia menjadi pilihannya.
"Lo suka ya buku-buku tema biologi kayak gitu."
"Iya,"
"Kalo lo mau, kerumah gue aja, dirumah gue banyak buku kayak gitu."
"Waahh.." Rembulan tak menjawab
Lidya berdehem
"Mau atau nggak?"
Rembulan terkejut, Bumi suka sekali memaksa.
"Gak hari ini, mungkin hari Minggu."
"Oke."
Bumi memberikan senyum simpul kecilnya.
"Lidya, lo juga gue undang."
"Terima kasih," jawab Lidya dengan senyum mencemooh Bumi.

RembulanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang