Adora terbangun dari tidurnya, gadis itu memegang lehernya yang terasa akan terbakar sebentar lagi. Tapi first thing first, Adora harus tahu ini jam berapa.
2.12 Pagi.
"Holly cow ..." umpat Adora pelan.
Ia pikir ini sudah jam empat atau lebih. Ia rasa ia sudah tertidur lama, kenapa faktanya jadi melawan perasaannya seperti ini? Adora menghela napas panjang, sepertinya hal itu sering terjadi, baiklah.
Adora memutuskan untuk keluar dari kamarnya, berjalan pelan menuju dapur di mana kulkas berada. Jika hal ini terus terjadi—Adora yang selalu terbangun setiap malam—sepertinya sebaiknya ia harus membeli kulkas kecil untuk ia letakkan di kamarnya.
Adora membuka kulkas besar berwarna hitam itu, ia kemudian mengernyit saat tidak mendapati kaleng sodanya di tempat ia meletakkannya.
"Perasaan tadi gue letakin di sini, deh," gumam Adora pelan.
Apa lagi-lagi perasaannya salah? Tapi kali ini ia yakin, seratus persen yakin bahwa tadi ia meletakkannya di sana. Adora memutuskan untuk mencarinya di sisi lain, sayangnya nihil.
Ke mana sodanya berada?
Tiit ... Adora terlonjak kaget saat alarm kulkas itu berbunyi—tanda ia sudah terlalu lama membukanya, dengan cepat Adora menutupnya sebelum suara itu membangunkan seluruh penghuni bangunan ini.
Adora menghela napas, ia sedang ingin minum soda .... Ia lalu memutuskan untuk mendudukkan dirinya di sofa kecil yang terletak tepat di hadapan kulkas itu.
Adora akan berdiam diri, berdiam diri sampai ia tahu ia harus minum apa untuk mengatasi kerongkongannya yang kering ini.
"Lo ngapain?"
Adora menoleh saat mendengar pertanyaan itu, "AKH!" pekiknya kaget.
Laki-laki itu mengernyit, menatap Adora aneh. Sedangkan Adora dengan cepat menutup mulutnya sendiri, ia benar-benar terkejut melihat laki-laki berambut basah yang entah datang dari mana.
"Sorry, sorry ..." cicit Adora pelan, merasa bersalah.
Adora benar-benar tidak menyangka ada orang lain yang bangun di jam seperti ini selain dirinya.
"Lo ngapain jam segini di dapur?" tanya laki-laki itu—anak pemilik kosnya—seraya membuka kulkas, mengambil sekaleng soda.
Adora menatap kaleng soda yang ada di genggaman laki-laki itu dengan penuh minat. Tetapi kemudian Adora tersadar, ada pertanyaan yang harus ia jawab dan—shit ... tadi laki-laki itu bertanya apa? Adora benar-benar lupa.
"Hah?" Is the most perfect response if you didn't listen.
Laki-laki itu menggeleng, memilih meneguk sodanya dengan rakus.
"Barang yang ada sticky note atau namanya itu punya orang?" tanya laki-laki itu setelah berhasil menghabiskan soda itu dalam satu tegukan—tidak satu tegukan juga sebenarnya.
Dan Adora tidak tahu kenapa laki-laki ini terus menerus melemparkan pertanyaan padanya. Adora lebih senang jika ia menganggap Adora tidak ada.
"Iya, punya orang. Takutnya ketukar, jadinya ditandain," jelas Adora, berharap laki-laki itu tidak menanyakan hal lain padanya.
Adora baru saja bangun dari tidurnya, mana bisa ia langsung menjawab macam-macam pertanyaan dari laki-laki itu?
Laki-laki itu membuang kaleng sodanya ke tempat sampah, "Lo tahu Rara?" tanyanya kemudian.
Adora mengerjap sejenak, "Kenapa si Rara?" tanya Adora curiga.
Awas saja laki-laki itu yang ternyata mencuri—atau bagaimanapun bahasanya—sodanya itu. Karena hanya satu Rara di kos-kosan ini dan itu Adora, tidak ada yang lain.
"Tadi gue gak sengaja minum soda dia."
Sudah Adora duga.
"Terus?" tanya Adora sinis, ternyata makhluk ini yang mengambil soda kesayangannya.
Laki-laki itu menggeleng, "Lo punya sticky note?" tanyanya kemudian, mengambil satu kaleng lagi dari kulkas.
Adora menaikkan alisnya, "Mau lo ganti sodanya?" tanya Adora.
Laki-laki itu mengangguk.
Adora tersenyum semringah, gadis itu menengadahkan tangannya, "Sini," titahnya.
"Lain kali jangan ambil barang orang," ingat Adora. Walau begitu, ia masih kesal dengan anak bu Wina ini.
Bagaimana jika laki-laki itu tidak bangun di malam hari? Bisa-bisa Adora tersiksa kehausan hingga pagi. Air mineral memang ada, tapi Adora ingin soda.
Laki-laki itu hanya menurut, memberikan kaleng soda itu pada Adora lalu meninggalkan gadis itu.
Problem solved.
Setelah beberapa saat kemudian, Adora memutuskan untuk kembali ke kamarnya, sepertinya ia sudah mengantuk. Lagipula apa juga yang akan ia lakukan di luar kamarnya di jam seperti ini?
Adora merebahkan badannya ke atas tempat tidur, tak lama kemudian alunan piano terdengar entah dari mana. Tapi alunan itu terdengar sangat menenangkan, dan anehnya rasa kantuknya semakin kuat. Dan tidak lama setelahnya ia tertidur pulas.
***
Piano, alat musik yang satu itu sebenarnya tidak terlalu menarik bagi Kaiden. Tidak sampai ia akhirnya mempelajari bagaimana cara memainkannya. Lalu saat ia sudah mahir, setiap pikirannya sedang kacau, alat musik itu selalu menenangkannya.
Untung saja kos-an Mamanya ini luas. Dan ada satu kamar paling luas yang belum disewakan karena harga sewanya yang terlalu tinggi. Jadi ia bisa meletakkan upright pianonya di sana.
"Balik aja ke tempat Mama, sayang. Ada ruangan gede, tuh, kosong. Bisa dijadiin studio musik kalau kamu mau." Begitu kata Mamanya sebelum akhirnya Kaiden tergiur lalu pulang kembali ke kota di mana ia dilahirkan.
"Mama yakin gak apa kalau Kai main musik di sini? Ruangannya kan gak kedap suara." Itu yang pertama kali Kaiden khawatirkan.
Padahal bisa di rumah mereka, sayangnya Mamanya berniat untuk mengontrakkan rumah mereka itu sejak ia lebih sering tinggal di kos dibanding di rumah besar itu.
Kai masih ingat, Mamanya malah menepuk pundaknya dengan santai, "Ah ... gak ganggu, kamu kan main musiknya udah jago, gak bakalan ganggu, kok." Begitu kata Wina.
"Kalau ada yang merasa terganggu, Mama kick aja dia dari sini, nanti Mama balikin uangnya, deh," lanjut Wina saat itu.
Kaiden menutup matanya, menikmati alunan musik yang dihasilkan dari pianonya itu. Ia ingat betapa bahagianya Wina saat Kaiden mengatakan bahwa ia akan menemani Wina.
"Tapi kalau emang kamu khawatir ganggu, renovasi aja ruangannya biar kedap suara, nanti Mama biayain."
Jadi selama ini Wina kesepian saat Kaiden memilih untuk berkuliah di luar kota?
"Intinya, ruangan itu punya kamu." Wina kemudian menegaskan.
Kenapa Mamanya tidak mengatakan hal itu?
Ting ... Kaiden mengepalkan kedua tangannya dengan erat, menghentikan jarinya yang masih ingin menari di atas piano kesayangannya itu. Mungkin ia akan merenovasinya besok agar ia bisa memainkannya kapan saja dan selama yang ia mau.
Kaiden terdiam, laki-laki itu lalu mendudukkan dirinya di atas kasurnya—studio musik memang, tetapi kasurnya juga ada di sana, jadi seperti ... studio musik sekaligus kamarnya. Kaiden lalu membuka jendela dan menatap ke luar. Pikirannya sedang tidak baik-baik saja.
Entah mengapa—
***
KAMU SEDANG MEMBACA
night
Romans"Kita putus." Adora menatap lurus mata Juan, tidak ada keraguan di dalam kalimat yang baru saja ia ucapkan. Juan terdiam sejenak, "Are you sure?" Tentu saja Adora yakin. Apa yang membuatnya tidak yakin untuk memutuskan laki-laki yang dengan mudahnya...