2. Trauma

14 4 2
                                    

"Nyatanya hidup memang untuk bertahan dan mempersiapkan."

—whitesyl

1 tahun kemudian....

Keluarga Bibinya pindah sebulan setelah mendiang papa-nya meninggal, karena Dafa dipindah tugaskan ke pusat kota. Gadis itu dipindahkan ke SMP Bina Nusantara yang merupakan sekolah swasta ternama di kota itu. Sejak pindah ke SMP Bina Nusantara, Nuri mulai membiasakan diri dengan bahasa kekinian yang sering digunakan temannya. Walau nada bicaranya masih perlu latihan.


“OMAYGAATTTT DEMI APA GERALD GANTENG BANGETTTTTT!!!”

Suara melengking milik gadis blasteran bernama Kayla seketika mendapat toyoran renyah dari Nuri. Pasalnya lelaki idaman bocah ingusan itu berhasil mematikan bola di daerah lawan. Ya, kali ini mereka tengah menyaksikan pertandingan voli di acara classmeeting usai ujian kenaikan kelas.


“Bahkan pukulan Nuri ga ada apa-apanya dibanding pukulan ketampanan Gerald. Secinta itu gue sama Gerald,” ucap Kayla penuh obsesi.

Sementara Nuri dan Gio yang ada di sampingnya kegelian dengan tingkah gadis itu.

“Manusia kayak Kayla enaknya direndang apa di Tumis aja, Nur?” Bisik Gio, namun masih terdengar jelas oleh Kayla.


“gue bukan kanibal,” jawab Nuri dengan polosnya.

Kayla sontak tertawa mendengar jawaban Nuri yang tidak sejalan dengan Gio, “Good, you are genius!”


“Eh, kobrakadabra, nenek lampir bersuara kunti! Gausah sok inggris kalau gaya lo masih kayak jamet jaman batu!” Sarkas Gio.


“Iw, boti kok bangga?”

“LO BILANG APA? BOTI?!”

Plakkk
Plakkk

Satu pukulan untuk satu orang, adil. Terpaksa Nuri mengambil keputusan tegas bagai hakim agung. Dengan bangganya ia berdecak pinggang dan memandangi dua orang yang ada di sampingnya satu persatu. Jujur saja, lehernya terasa pegal karna harus mendongak diantara dua gapura kabupaten itu. Dirinya hanya setinggi leher Kayla dan bahu Gio.


“Badan aja yang gede tapi malu-maluin!” Ketus Nuri.

“Kalau mau gulat, bukan di sini. Jangan ganggu penonton lain!”

Sebenarnya lucu melihat gadis sekecil itu mengomel bagai nyai ratu, namun Kayla dan Gio memilih patuh agar temannya tidak semakin cerewet.


“Siap, saya akan menjadi penonton yang bijaksana!” Gio dengan posisi tegapnya.

“Gue akan menemani Gerald sampai kapanpun di sini,” Kayla dengan tingkah noraknya.

Namun, omongan gadis itu hanya sekedar bualan, tepatnya rayuan buaya betina. Lima belas menit berjalan, cacing di perutnya menggila melebihi kegilaannya terhadap Gerald. Dengan manjanya ia berbisik lembut pada teman sebayanya itu, “Nuu, ke kantin yuks!”


Giyi ikin minimini girild simpiy kipinpin dicini,” cibir Nuri, mengutip omong kosong Kayla.

“Ehehe, kalau gue kelaparan sampai mati kan ga cakep endingnya. Gue kan mau satu pelaminan sama babang Gerald,” Ucap Kayla dengan penuh manjalita.


Gio yang mendengarnya refleks menoyor jidatnya, “Sadar! kita masih SMP, MASIH ES EM PE! Malah mikir nikah-nikahan, lu pikir bangun rumah tangga kaya nyusun lego-lego? Nyusun lego aja lu kaga bisa apalagi rumah tangga, dongo!”

“Emosian amat! PMS lo?”

Laki-laki jangkung itu menghela napas dalam-dalam, “ga nyangka 9 tahun kehidupan gue dibumbui manusia kayak lo.”

Nuri yang berada di antara mereka sudah lelah dengan drama harian itu.


Sementara Kayla dengan cibirannya masih menunggu sahabat kecilnya menenangkan diri. Ia tahun betul watak Gio, karna mereka memang sudah akrab dari kecil.


“Yok, kita makan,” ajak Gio. Ia melenggang pergi lalu disusul dengan Kayla dan Nuri.

Interaksi - Sesaat yang Abadi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang