11. Jesselyn Erndle

17 7 28
                                    

"Selain sejarah mitologi, lo suka apa lagi?" tanya Zen basa-basi.

WHAT?! ZEN BERBASA-BASI?!
Keajaiban dunia!

Minggu pagi mereka awali dengan maraton disekitar pusat kota. Berjalan ditepi taman dekat alun-alun Weslionza, Ibukota Roesland.

Jangan tanya teman-temannya. Pagi-pagi buta, mereka semua sudah memulai kesibukan masing-masing. Itung-itung refreshing sebelum kembali berperang otak besok Senin.

Herin berpikir sejenak, entah jawaban yang mana yang akan ia keluarkan. Gadis itu tidak ingin mengakhiri interaksi ini dengan cepat.

"Puisi" alhasil, itulah jawaban yang ia kemukakan.

Zen menatap wajah ayu milik Herin, seutas senyum tipis terbit di bibirnya.
"Puisi?" si gadis mengangguk.

"Gue juga suka puisi"

Herin terkekeh.
"Sama kayak Justin. Dia jago bikin puisi, loh" celetuknya dengan pandangan menerawang, membayangkan Justin dan puisinya yang selalu menjadi candu bagi Herin.

Zen tidak mengubah reaksinya, tatapannya masih sama, teduh dan menenangkan. Senyum tipisnya tidak luntur sejak tadi.

"Rin, jangan bahas orang lain kalau lagi sama gue, ya?" pintanya.

Gadis itu terdiam.
"K-kenapa?"

Lagi, Zen tersenyum hangat.
"Karena disini cuma ada kita. Bukan Justin atau siapapun"

"Jadi cukup bahas tentang kita aja, ya?"

Ada sesuatu aneh yang menjalar di hatinya. Herin merasa tatapan Zen saat ini sangat intimidatif, tetapi disaat yang bersamaan juga terlalu hangat, teduh dan menenangkan baginya.

Tetapi, sebenarnya apa yang Herin lihat dari Zen saat ini? Sebatas rasa simpati kah? Sedangkan pikirannya saja masih tentang Justin dan semua yang ada pada diri lelaki itu.

"Maaf..." sesalnya.

"Tapi Justin itu bukan orang lain buat gue, Zen..."

"Gak papa, kok. Manusia tidak luput dari salah dan dosa, kan? Gak ada salahnya untuk meminta maaf, gak akan rugi juga" cerocos Zen santai.

Langkah keduanya beriringan, iramanya teratur di sepanjang susunan paping blox yang tertata indah di Taman Kota.

"Manusia juga harus menerima maaf, kan? Gak rugi juga" kini giliran Herin yang membalas, senyum kecil kini juga terbit di bibir ranumnya.

"Gue mau ngasih lo puisi untuk hari ini, boleh?" tawar Zen mengalihkan pembicaraan.

Si gadis mengangguk tanpa ragu.

Zen baik selama itu. Tetapi Justin seolah memancarkan medan magnet yang selalu menarik pikiran Herin meski kini gadis itu ada disamping orang lain.

"Jangan ragu..."

"Seperti mega yang mengikhlaskan hujan melenyapkannya."

"Jangan takut..."

"Seperti air yang mengalir deras, menghantam apa yang ditemuinya."

"Jangan bimbang..."

"Karena aku hanya terlahir satu di muka bumi ini."

"Aku adalah aku. Kamu adalah kamu."

"Dan kita adalah kita."

Cukup lama Herin terdiam begitu Zen selesai membacakan puisinya. Mengapa cowok itu membacakan puisi seperti itu padanya?

Herin... Ragu juga bimbang.

Seolah semua puisi yang ia dengar, adalah Justin penciptanya. Lelaki Kanada itu terlalu istimewa sampai Herin tidak menyadari bahwa Zen juga tidak kalah sempurna dari Justin.

BELLEROPHONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang